Mohon tunggu...
Inung Kurnia
Inung Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Ibu dari Key dan Rindang

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dear Tempe, Dengarkan Suara Makmak

21 Februari 2022   15:50 Diperbarui: 22 Februari 2022   14:30 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear tempe...

Hari ini kamu resmi menghilang dari warung dan gerobak tukang sayur bersama kolegamu, tahu. Baru sehari kamu menghilang, warung dan gerobak tukang sayur sudah berisik. 

Diskusi ala makmak terkait hilangnya kamu pun teramat meriah. Saling memberikan info-info terkini sebab musabab kamu menghilang. Tentu dengan bahasa yang sederhana ala makmak. Info-info yang pasti bukan diperoleh dari bangku sekolah, apalagi kelas pelatihan.

Info-info tersebut 100 persen diramu makmak dari group media sosial yang mereka ikuti. Ada yang memaki-maki membawa-bawa nama presiden, itu pasti. Ada yang memaki-maki membawa deretan konglomerat, nama menteri, itu juga muncul. 

Bahkan ada juga yang bikin analisa macem pengamat politik. Tempe mahal karena pemerintah mau naikin harga kedelai. Kedelai mahal karena stok dalam negeri kosong dan mau tak mau harus buka kran impor. Entah dari mana makmak berdaster itu pada belajar.

Tempe goreng (Dokpri)
Tempe goreng (Dokpri)

Wajarlah kalau makmak senewen. Mereka pun rela menghabiskan sekian banyak waktunya untuk kumpul di kios sayuran, dan di depan gerobak tukang sayur di pagi buta demi memenuhi syahwat keingintahuannya. 

Bagaimana tidak, sebelum kasus kamu dan kolega  menghilang, makmak baru kelelahan antre minyak goreng yang hingga kini masih langka. Mereka terpaksa antre agar mendapatkan harga minyak yang miring, eh harga semula.

Belum juga hilang lelah akibat mengantre minyak goreng, kini dihadapkan pada fakta bahwa kamu dan kolegamu si tahu pun menghilang. Lantas bagaimana makmak mau menghias meja makan? Mau pakai ayam goreng dan telur? 

Jangan salah, dua komoditi tersebut juga mahal. Apalagi telur, belum berselang lama harganya meroket sampai 30 ribu per kg. Entah apa sebab. Mungkin ayam-ayam cuti akhir dan awal tahun sehingga nggak sempat bertelur.

Mau ganti ikan asin, juga tidak mungkinlah. Makan ikan asin dari pagi, siang hingga sore selama tiga hari, bisa jadi darah tinggi, komorbid dadakan. 

Di tengah situasi pandemi yang belum jelas kapan berakhir, semua orang yang punya komorbid berjuang mengontrol sakitnya. So pasti yang masih sehat, nggak perlu mengorbankan diri jadi pasien komorbid gara-gara kamu dan kolegamu menghilang.

Tempe mendoan (Dokpri)
Tempe mendoan (Dokpri)

Dear tempe...

Kamu memang bukan cinta sejati para makmak. Tetapi dipaksa menahan rindu hingga Kamis, bisa jadi makmak bakal ada yang menangis. 

Bukan tangisan memendam rindu yang pasti. Tetapi karena tanpamu, anggaran dapur menanjak tak kira-kira. Padahal uang belanja dari para suami tidak lantas disesuaikan. 

Jadi bayangkan bagaimana makmak harus kembali belajar matematika, membagi angka pembilang yang sama dengan angka penyebut yang lebih besar dari biasanya. Pusing bukan? Sementara pusing urusan sekolah online juga belum sepenuhnya berakhir, sekolah masih on off digoda sang pandemi.

Karenanya, please jangan lama-lama kamu menghilang. Kasihan makmak, pasti mereka susah memicingkan mata dimalam hari gegara pusing atur uang belanja.

Jujur, ketika kamu dan kolegamu ada melimpah di pasaran, makmak tambah pinter dan kreatif. Ada saja cara makmak mendandani kamu hingga enak disantap di meja makan. Kamu tak harus selamanya tampil jadi tempe goreng. 

Makmak sering juga memasakmu jadi tempe bacem, orak-arik tempe, keripik tempe, oseng-oseng tempe, lodeh tempe. Pun dengan tahu, makmak malah banyak pakai untuk campuran sayuran oseng. 

Taoge, kacang panjang, daun so, melinjo, sawi putih, kol, labu siam, kangkung. Tanpa kamu dan kolegamu ikut campur, sayur oseng terasa kurang yahud.

Bahkan ketika kamu bersisa sedikit, malah sudah menuju busuk, makmak mana ada yang tega membuangmu. Makmak pasti cari akal bagaimana kondisi tubumu yang mulai membusuk jadi menu enak di meja makan. 

Buat campuran kacang panjang lantas dibenamkan di santan. Ingat kan, anak dan suami makmak langsung nafsu makan.

Tahu di meja makan (Dokpri)
Tahu di meja makan (Dokpri)

Dear tempe...

Kasus kamu menghilang dari pasaran bukan kali ini. Berulang kali seingatku. Ujung-ujungnya harga kamu naik, yang awalnya sepapan 4 ribu rupiah, jadi 6 ribu rupiah. Kamu memang unik dan lucu tempe. 

Mau naik harga saja mesti pakai acara ngambek hilang dari panggung. Padahal kalau mau naik harga, bilang saja. Toh alasannya tepat kok. Apa-apa sekarang mahal. Pasti makmak paham.

Tak perlu khawatir bakal nggak laku. Harga mahal pun pasti kamu tetap dicari makmak, tetap jadi primadona meja makan. Apa sebab? 

Sebab kamu adalah bagian dari legenda masa lalu para makmak, percayalah itu. Bukankah melupakan mantan itu tidak gampang? Lha kamu biar kata jadi bagian masa lalu, tetap belum pernah jadi mantan.

Jadi bagian masa lalu? Coba tanya ke makmak, dari mereka yang kaum dasteran sampai mereka yang pakai rok span dan pakai seragam gamis. Pernahkah mereka alergi tempe di masa kecilnya? Sebagai bagian dari makanan rakyat, dipastikan semua orang pernah menjadikanmu teman nasi harian.

Pengalaman masa lalu itu mereka bawa dan tularkan hingga kini. Makmak jika belanja ke tukang sayuran, di plastik kreseknya pasti ada kamu atau kolegamu. 

Meski hari itu, makmak karena lagi baru dapat uang belanja, tetiba ingin beli ayam atau ikan bandeng. Cek, di kresek belanjaan tetap tidak meninggalkan kamu.

Menggantimu dengan ayam (Dokpri)
Menggantimu dengan ayam (Dokpri)

Dear tempe....

Kamu dan kolegamu hidup di negeri bertanah subur. Tak berlebihan jika tanda tanya itu muncul ketika kamu hilang di pasaran. Kecuali memang negeri ini salah urus salah atur.

Karena itu sekali lagi, please, jangan lama-lama menghilang. Cobalah bersuara ke pemerintah, jangan suka memainkan harga pangan. Sebab pangan itu urusannya perut. Memainkan harga pangan itu artinya sama saja dzolim kepada rakyat. 

Dalam ilmu agama, dzolim itu urusannya sampai akherat. Bisa jadi urusan dunia selamat. Tetapi pengadilan akherat jauh lebih dasyat. 

Kelak dihadapan Sang Khalik, ratusan juta rakyat yang terdzolimi bakal datang meminta pertanggungjawaban. Jika sudah begitu, seberapa pun tingginya gunungan pahala yang dikoleksi bakal tak bersisa bahkan bisa jadi dapat limpahan dosa. Ngeri bukan?

Siapa tahu suaramu dan suara kolegamu bisa lebih didengar pemerintah. Sebab kamu dan kolegamu yang jadi salah satu penyebab pemerintah dzolim kepada rakyat. 

Ini saat yang tepat kamu dan kolegamu bersatu bantu makmak, biar suara makmak nggak cuma di depan abang tukang sayur, tapi bisa tembus gedung Senayan hingga gedung di Medan Merdeka Utara.  Makmak sangat berharap bantuanmu...

Mampang Prapatan 21 Februari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun