Mohon tunggu...
Inung Kurnia
Inung Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Ibu dari Key dan Rindang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Godaan Rengginang, Picu Jarum Timbangan Terus ke Kanan

16 Februari 2022   17:23 Diperbarui: 16 Februari 2022   17:32 1722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tersenyum jengkel melihat tumpukan rengginang di toples. Sudah empat hari ini, dari balik kaca toples berbentuk panjang menjulang, makanan terbuat dari ketan itu menggodaku. Tepatnya meminta aku untuk memakannya.

"Makan dikit aja, nggak bakal nambah berat badanmu," bisik secuil rengginang yang duduk paling pojok bawah toples.

"Udah ambil aja aku, renyah dan baru digoreng. Ntar nyesel lho," rajuk rengginang yang duduk di posisi paling atas. Masih utuh berbentuk lingkaran.

Suara berisik para rengginang ku abaikan. Aku mencoba fokus pada pekerjaan di layar laptop. Meski sesekali mataku mencuri pandang pada toples rengginang. Deretan gigi rengginang menyeringai.

"Aih seriusan nggak mau cobain kami?" rajuk rengginang lagi. Seperti koor, suara bersamaan menyeruap dari dalam toples kaca.

Kepalaku menggeleng. Bersikeras untuk tidak mencicipi rengginang barang sepotong pun. Hari ini adalah permulaan tobatku untuk tidak lagi ngemil disembarang jam. "Harus bisa, harus konsisten, harus istiqomah," aku membatin.

Keputusanku jaga jarak dengan rengginang dan kawan-kawan ku lakukan setelah timbangan badan yang ku letakkan di kolong tempat tidur jarumnya cenderung bergerak ke kanan setiap aku berdiri di atasnya. Entah karena badanku memang sekarang melar entah karena timbangan sedang eror. Harapanku sih kondisi kedua, timbangan eror sehingga laporannya tidak valid.

Tetapi terus terang, sejak jarum timbangan ke kanan nggak pakai kira-kira, sampai 10 kg dibanding setahun lalu, aku memilih berhati-hati. Waspada sejak dini sebelum semuanya terlambat. Lebih baik jaga jarak dengan rengginang si penggoda iman termasuk camilan lain yang berderet di meja makan.

Ku buang? Oh amat sayang. Rengginang baru ku goreng belum genap sepekan, atau dua hari menjelang aku memulai diet gorengan. Selain itu rengginang jadi pengganti kerupuk yang memang enak untuk teman makan nasi. "No ngemil, tapi boleh untuk teman nasi," bisikku dalam hati melindungi sang rengginang dari amukan sang tangan. Padahal nasi dan rengginang sama-sama penyumbang karbo tinggi. Begitulah.

Bisa jadi menyalahkan rengginang menjadi perilaku kejam yang pernah kulakukan terhadap makanan sepanjang aku berumah tangga. Biasanya, apalagi sejak banyak beraktivitas di rumah, segala jenis makanan cenderung ku sayang. Sayang untuk dibuang, sehingga aku rela menjadi 'tong sampah' ketika anak-anak tak habis makan. Atau makanan yang banyaknya 'tanggung' untuk disimpan.

Sifat sayangku pada makanan ini pernah berakibat fatal. Aku keracunan gara-gara menyantap makanan sisa pagi yang sayang untuk dibuang. Rupanya makanan sudah ditumbuhi bakteri dan diambang batas basi. 

Alhasil, satu jam menyantap, perut seperti digeruduk pasukan bakteri. Diare, muntah silih berganti, hingga aku mengalami dehidrasi. Setelah tak mempan obat warung, aku dilarikan ke rumah sakit. Sempat diinfus meski akhirnya diperbolehkan rawat jalan. Tiga hari rasa lemas, rasa mual dan rasa nggak enak di perut terus menggangguku.

Kapok? Tidaklah ya. Hanya sejak itu aku lebih jeli dan hati-hati merawat segala jenis makanan. Setiap makanan pasti aku hangatkan sebelum melewati 6 jam. Atau masuk ke kulkas jika belum berminat untuk memakannya.

Gorengan/dokpri
Gorengan/dokpri

"Dietnya besok aja, mumpung masih renyah nih," suara rengginang dari balik tolpes membuyarkan lamunanku. Mataku melotot, melihat muka rengginang penuh senyum macem tak punya dosa.

Mulanya hanya sepotong yang bersuara. Lalu disambung rengginang berikutnya. Lalu berikutnya. Hingga suara riuh memenuhi ruang toples kaca.

Aku menjulurkan lidah, mencibir. Tekadku sudah kuat untuk tidak mempan godaan rengginang, dengan segala daya upaya ku kuatkan tekad dan semangat juang. Ku tutup toples kaca dengan sepotong selampai corak kotak, meski suara rengginang masih juga terdengar renyah.

Ah, akhirnya aku memilih pindah tempat mengetik di kamar tidur, membebaskan diri dari godaan sang rengginang. Satu jam dua jam memang masih tahan godaan, tetapi siapa yang bisa menjamin pada jam ke-3, ke-4 dan seterusnya?

Kini, barulah aku tahu mengapa banyak ibu-ibu rumah tangga yang gagal mempertahankan bentuk tubuh idealnya. Padahal logikanya, dengan pekerjaan yang seabreg banyaknya, ibu rumah tangga akan jauh kelelahan dibanding perempuan kantoran. Dengan fisik yang lelah dan pekerjaan yang tak ada habisnya, mestinya ibu-ibu rumah tangga tidak gampang naik timbangannya.

Tetapi fakta berbicara lain. Kebanyakan dan menjadi lumrah ketika seorang perempuan memasuki magligai rumah tangga, kemudian memilih menjadi ibu rumah tangga, maka kenaikan berat badan menjadi ancaman di depan mata. Tak semua sih, tetapi sebagian besar mengalami.

Mengapa bisa demikian? Inilah beberapa sumber masalah yang sempat jadi bahan renunganku. Pertama, sifat sayang buang makanan yang dianut oleh ibu-ibu menyebabkan makanan apa saja tak segan masuk ke perut tanpa jadwal yang jelas. Bahkan makanan sisa yang menjelang basi, terkadang kalau mau membuang pakai ritual tutup mata karena tidak tega.

Kedua, aktivitas pekerjaan di rumah amat dekat dengan makanan. Mau baca koran, di dekat tumpukan koran ada camilan. Mau mencuci baju, dekat mesin cuci ada gorengan. Mau menyapu, mengepel lantai, mondar mandir melewati meja makan.

Mau belanja ke warung, si penjual menawarkan jajanan. Mau mengasuh anak di taman, ada abang-abang tukang baso, siomai, gado-gado dan lainnya.

Dokpri
Dokpri

Mau membersihkan kulkas? Ada sisa es krim anak kemarinan, ada sisa rujak suami yang belum habis dimakan, ada otak-otak siap goreng, ada kentang, dimsum, brullee boom makanan kekinian yang sulit diabaikan.

Ketiga, bekerja di rumah tidak kenal seragam. Jadi tidak perlu tersiksa menjaga bentuk pinggang. Berbeda ketika di kantoran, dengan seragam rok span tentu tidak nyaman untuk berat badan yang berlebihan. Barangkali memang ibu-ibu jika sedang mengerjakan pekerjaan rumahan dilarang dasteran.

Keempat, bekerja di kantoran mengenal jam makan siang, jam istirahat. Jadi tidak sembarang waktu bisa mengecap makanan. Kecuali mau dapat surat peringatan dari atasan. Coba bandingkan dengan pekerjaan di rumah, nyaris tak kenal jam istirahat, apalagi jam makan siang. Sembarang waktu ibu-ibu bisa makan, bisa mengecap makanan.

Lantas bagaimana mengendalikan timbangan badan supaya tidak terus ke kanan? Coba terapkan aturan kerja kantoran ke dalam rumah tangga. Ibu-ibu bekerja pakai seragam rok span, makan dan nyemil pada jam istirahat saja, membeli belanjaan sesuai daftar kebutuhan, jauhkan gorengan dari meja makan, dari mesin cuci, dan tempat strategis lainnya.

Ganti camilan gorengan dengan potongan buah. Lalu jangan lupa hilangkan sifat sayang pada makanan. So silakan mencoba. Tapi olahraga secara rutin perlu dibiasakan ya. Apalagi zaman pandemi begini...

 

Mampang Prapatan 16 Februari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun