Jika mengalami penurunan penghasilan selama pandemi Covid-19, kalian tidak sendiri. Ada banyak orang yang mengalaminya, termasuk saya. Bekerja dari rumah telah membuat keuntungan perusahaan anjlok, atau kalau boleh dikata nyaris merugi.
Beruntung manajemen perusahaan tidak memberlakukan pemutusan hubungan kerja alias PHK terhadap saya dan juga karyawan lainnya. Hanya saja, ada kesepakatan gaji bulanan dibayar sebesar 60 persen dari besaran gaji semestinya. Alhamdulillah, saya masih beruntung.
Kondisi serupa juga dialami suami saya. Gajinya dipotong hampir 30 persen dari nilai yang seharusnya. Padahal dia masih wajib menyambangi kantor tiga hari dalam sepekan.
Awalnya saya memang bingung, bagaimana menutup segala kebutuhan keluarga dengan penghasilan yang menurun drastis? Membayangkan tagihan listrik yang cukup besar setiap bulannya, tagihan wifi, belanja bulanan, tabungan pendidikan, bayaran sekolah dan biaya-biaya rutin lainnya.
Tetapi sebulan menjalani kebijakan kerja dari rumah, saya mulai dapat menyesuaikan diri. Caranya, pertama, semua pengeluaran saya catat dengan baik atas dasar skala prioritas. Kedua, belanja produk yang tidak penting, meski sedang promo besar-besaran, harus saya tinggalkan. Dan ketiga, kebiasaan mengintip iklan di media sosial pun saya kurangi untuk melawan godaan belanja. Intinya saya harus Cerdas Berperilaku agar stabilitas keuangan keluarga tetap terjaga.
Hasilnya, sebulan pandemi Covid-19 berlalu, kondisi keuangan saya tetap survive tanpa gejolak berarti. Bahkan saya tidak perlu mengutak-atik tabungan di bank. Selama ini saya mendisiplinkan diri menyisihkan 30 persen dari total penghasilan keluarga untuk tabungan masa depan.
Memasuki masa Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB bulan kedua, nilai tabungan saya tidak berkurang, malah sebagian dari gaji masih bisa disisihkan untuk menambah saldo tabungan. Tak seberapa memang, tetapi itu sesuatu yang patut di syukuri.
Meski aman melewati bulan pertama, saya mulai berhitung akan segala kemungkinan jika kebijakan PSBB terus berlanjut. Terutama ketersediaan anggaran belanja rumah tangga. Jangan sampai besar pasak dari pada tiang. Bisa ambruk saya.
Memang perusahaan saya hanya menggaji 60 persen dari total gaji pokok yang harus saya terima setiap bulan, ditambah 70 persen gaji suami. Jadi ada 35 persen penghasilan yang hilang selama pandemi Covid-19. Tetapi dengan penghasilan yang menurun drastis tersebut, ternyata saya bisa hidup. Tidak mengalami resesi keuangan keluarga.
Bisa jadi, karena pemberlakuan kebijakan bekerja dari rumah, di sisi lain juga dibarengi kebijakan anak belajar dari rumah, saya bisa melakukan berbagai penghematan. Kok bisa berhemat?
Pertama, bekerja dari rumah membuat saya tidak perlu mengeluarkan anggaran untuk transportasi menuju kantor yang rata-rata dalam sebulan bisa mencapai Rp500.000 hingga Rp750.000. Tidak perlu anggaran untuk makan siang yang rata-rata bisa mencapai Rp400.000 hingga Rp500.000.