Mohon tunggu...
Achmad Burhanuddin
Achmad Burhanuddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Arek Bangil... Tertarik akan dunia Literasi.. Motto: Syukuri, Jalani Temukan di in-oud.blogspot.com @inueds

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Engkau Tak Salah Ibu...

23 Desember 2013   22:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13878142191538912889

[Untukmu Ibu] Engkau Tak Salah Ibu...

Oleh : Achmad Burhanuddin

No. 387

Ibu...

Teringat olehku bahwa di bulan ini terdapat tanggal yang katanya menjadi tanggal  yang spesial untuk para wanita yang ada di Negara Indonesia. Tanggal 22 Desember, tanggal yang ditetapkan sebagai Hari Ibu oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959.

Semua orang berlomba-lomba menyiapkan untuk hari tersebut. Berkat kemajuan zaman, teknologi berkembang dengan pesat menyebabkan semua orang mengenal Hari Ibu. Mungkin bagi ibu tidak pernah terbayang dan mengerti apa itu Hari Ibu karena keterbatasan media waktu itu. Begitu juga dengan aku dan ketiga saudaraku, kami tidak pernah merayakan Hari Ibu dengan mengkhususkan satu hari untuk menyanjung dan membahagiakan ibu. Bagiku setiap hari adalah sama. Aku ingin setiap hari bisa membuat ibu bahagia. Melihat senyum yang terurai syahdu terukir di bibir ibu.

Sempat terlintas dalam benakku, ingin merasakan semarak Hari Ibu dengan mengungkapkannya secara langsung kepada ibu. Namun niat tersebut tak pernah tersampaikan. Aku takut Ibu akan merasa aneh dengan tingkahku yang tiba-tiba berubah seperti itu dan tidak pernah ada dalam tradisi keluarga. Selain itu aku tak kuasa membendung air mata ini yang tiba-tiba berontak ingin mengucur deras bagai tsunami saat kuingat semua tentang kasih sayang ibu. Aku takut ibu menjadi kuatir dengan tingkah yang terjadi padaku.

Ingin kurangkai aksara mengenai kebaikan ibu, namun itu tak sanggup jua kulakukan. Entah mengapa walaupun sebagai seorang lelaki, aku begitu cengeng ketika mengingat tentang Ibu. Maafkan aku ibu, jika selama ini aku masih belum bisa membuatmu bahagia dan banyak merepotkanmu. Aku selalu berusaha menjadi anak yang berbakti untuk ibu.

Ibu...

Hari ini, aku mencoba menguatkan kelopak mata untuk membendung air mata yang mulai berontak. Kucoba tetap menari-narikan jemari diatas keybord hingga tulisan ini usai. Jika mengingat kebaikan ibu niscaya butuh jutaan lembar untuk menuliskannya. Kasih sayang yang ibu berikan tanpa kenal lelah dari bayi hingga aku dewasa masih terekam kuat dalam memoriku. Bagaimana perjuangan dan pengorbanan ibu membantu kehidupan ekonomi keluarga. Berlalu dari pasar ke pasar dibawah terik matahari menjajakan mukenah menuju satu toko ke toko lain. Semua ibu lakukan dengan ikhlas dan tanpa keluh-kesah.

Pengorbanan ibu memang tak terhitung jumlahnya. Ibu rela melakukan apapun demi aku. Saat tiba waktu makan, ibu rela memberikan jatah lauk ibu kepadaku.

“Nak, itu lauknya makan aja, habiskan semua,” ucap ibu saat makan bersama dirumah

“Terus ibu makan pakai lauk apa?”

“Udah makan aja, ibu tadi sudah, kok,” jawab ibu sambil memberikan lauk tersebut kepadaku.

Aku tahu bahwa ibu berbohong mengatakan hal itu. Walau aku tidak mau menerimanya, namun ibu tetap bersikeras memberikan lauk tersebut kepadaku. Banyak lagi kejadian lain yang ibu lakukan. Hingga aku tak mampu merangkainya lewat kata-kata untuk menggambarkan pengorbanan yang ibu lakukan.

Ibu...

Memang benar lirik lagu yang selama ini kudengar “Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa...” Kasih yang ibu curahkan tetap kurasakan meskipun aku sudah menginjak usia remaja. Kejadian sore itu masih terngiang di benakku hingga saat ini.

“Bu, Inud mau ke warnet dulu, mau lihat hasil tes,” pamitku kepada ibu

“Iya Nak, hati-hati ya, semoga hasilnya sesuai dengan yang kamu harapkan.”

“Iya Bu, amiin,” kuhampiri dan kucium punggung tangan ibu lalu kulangkahkan  kaki mengambil sepeda yang sedari siang terparkir di depan rumah

“Bu, Inud berangkat dulu,” seruku kepada ibu yang ternyata ikut membuntutiku hingga depan rumah.

Terlihat dari wajah ibu yang penuh harap agar aku bisa masuk di salah satu BUMN terbesar yang ada di negeri ini. Tahap demi tahap telah kulalui dalam tes ini dengan sukses. Tak pernah terbayang olehku bisa sampai dalam tahap akhir tes ini. Aku mampu bersaing dengan bejibun peserta tes yang mencapai angka tak kurang dari 6000 orang. Keyakinan timbul dalam dada bahwa aku bisa melewati tes terakhir ini.

Kukayuh sepeda dengan semangat 45. Sampai di warnet segera kubuka website yang sudah kuhafal diluar kepala. Kupandangi satu persatu nama peserta yang ada. Namun sunguh tak kusangka namaku tidak ada disana. Kucoba sekali lagi membaca dengan lebih teliti berharap dari deretan nama tersebut terselip namaku. Hasilnya tetap saja namaku tidak terpampang dalam pengumuman tersebut.

Aku kembali menuju rumah dengan perasaan yang kacau dan kecewa. Saat sampai, kucoba menguatkan diri dan tetap terlihat tidak terjadi apa-apa. Aku takut membuat ibu kecewa dengan hasil ini.

“Bagaimana Nak hasilnya?” tanya ibu dari musholah rumah yang tengah bersiap untuk sholat asar.

“Masih belum rejekinya, Bu.”

“Sabar ya Nak, nanti pasti ada yang lebih baik,” suara ibu terdengar semakin mendekat ditelingaku.

“Ibu, Ngga tega, Nak, lihat perjuanganmu tes berkali-kali, Berpindah dari lokasi tes satu ke lokasi tes yang lain,” lanjut ibu.

Kulihat wajah ibu yang masih terbalut mukena putih. Tetesan air mata ibu telah jatuh dan membasahi pipi. Ibu memeluk dan mengelus lembut rambutku layaknya aku bocah SD walaupun nyatanya aku telah lulus SMA. Aku tak rela melihat ibu menangis di depanku karena kegegalan tersebut. Hatiku serasa tergores sembilu hingga kurasakan sangat pedih.

Ibu...

Kegagalanku dalam tes tersebut telah berlalu. Teman-teman yang beruntung bisa melanjutkan kuliah. Aku tak mampu meminta ibu untuk membiayaiku kuliah. Aku masih punya adik yang masih butuh biaya untuk meneruskan sekolah ke SMA. Aku memutuskan untuk mencari kerja sambil menunggu pendaftaran kuliah tahun depan. Tentunya dengan mencari beasiswa.

Tak lama berselang aku masuk di perusahaan tekstil yang ada di kotaku. Di perusahan tersebut ada 3 shift dan rotasi setiap 2 hari sekali. Jadi setiap minggu aku kebagian shift malam. Disini kurasakan kembali bagaimana besarnya kasih sayang ibu kepadaku. Masih teringat olehku akan perkataan ibu waktu itu “Ibu ngga tega Nak, lihat kamu kerja malam seperti ini, disaat orang tidur nyenyak, kamu harus kerja dan ngga tidur”

Kehangatan kasih ibu benar-benar kurasakan. Malam hari sebelum aku berangkat kerja, secangkir kopi selalu siap ibu sediakan mengantarku sebelum berangkat kerja. Setiap aku akan berangkat kerja ibu selalu mengikutiku hingga sampai depan rumah. Ibu seakan tidak rela melepasku berangkat kerja. Pagi saat aku pulang kerja, tak lupa ibu sambut kedatanganku dengan secangkir teh hangat sebagai pelepas lelahku. Tak jarang pula tangan lembut ibu memijit tubuhku yang terlihat sangat letih. Semua ibu lakukan dengan ikhlas tanpa ada aba-aba dariku yang meminta ibu untuk melakuakan itu semua.

Ibu...

Waktu terus bergulir dengan cepat dan kontrak kerjaku telah habis. Melihat kondisi yang seperti ini semakin menguatkanku untuk mengejar cita-cita memperbaiki kehidupan. Tidak hanya menjadi sekedar buruh yang dengan seenaknya bisa dikeluarkan oleh menajemen perusahaan ketika kontrak telah habis. Berbekal keinginan kuat, mulailah aku menjelma menjadi pemburu beasiswa. Alhamdulillah... dengan doa restu ibu akhirnya aku bisa kuliah dengan beasiswa sehingga tidak terlalu memberatkan ibu. Segala biaya kuliah sampai lulus ditanggung dan aku berkesempatan mendapat uang saku perbulan.

Waktu terus melesat kencang, tak terasa sudah setahun aku mengenyam bangku kuliah. Sistem kuliahku tidak sama dengan kuliah pada umumnya. Liburan semseter genap di kampusku dijadikan jadwal untuk magang ke industri. Lebaran Idul Fitri yang bertepatan dengan jadwal magang menyebabkan aku tidak ada kesempatan pulang ke kampung halaman dan berkumpul dengan ibu. Ini menjadi kali pertama aku harus merayakan lebaran di rantau.

Ibu...

Dua bulan waktu magang telah usai, aku kembali lagi ke kampus. Kulihat kalender akademik yang ada menyisakan waktu sekitar satu minggu sebelum semester ganjil dimulai kembali. Tak kulewatkan kesempatan ini untuk bercengkerama dengan ibu. Aku berniat pulang ke kampung halaman.

Kupilih kereta api yang akan mengantarku dari Jakarta menuju Surabaya. Dalam perjalanan menuju rumah, kusempatkan menelepon ibu memberi kabar bahwa aku akan pulang hari itu.

“Assalamualaiakum,” ucapku setelah telepon tersambung.

“Waalaikumussalam Wr. Wb,” jawab ibu.

“Bu, Inud hari ini perjalanan pulang kerumah. Oiya Bu, katanya adek Ulul diterima kuliah di Surabaya ya, Bu.”

“Iya Nak. Kemarin Pak Lekmu dari Surabaya untuk daftar ulang. Nak, maafkan Ibu ya, Ibu tak punya uang sebanyak itu. Kamu kuliahnya harus jauh dan harus merantau sendiri.” Suara ibu terdengar serak dan bergetar mengucapkan kalimat tersebut.

“Iya Bu, ngga apa-apa,” jawabku singkat

“Bu, udah dulu ya, lagi dijalan ngga enak, besok pagi insyaallah Inud sudah sampai di Rumah. Assalamualaikum.”

“Tut..tut..tut...” suara telepon terputus.

Tak kusanga ibu mengatakan hal tersebut. Air mataku langsung mengucur deras mendengarnya. Kuakhiri telepon tersebut karena aku tak mau ibu semakin sedih mendengar suaraku yang juga terdengar bergetar. Aku merenung sepanjang perjananan memikirkan apa yang diucapkan ibu. Tak hentinya aku tersedu, entah apa sebabnya. Aku tak pernah mengira, ibu bisa merasa bersalah akan hal tersebut. Ibu tidak salah, perjuangan ibu selama ini sudah lebih dari cukup. Jika aku bisa memilih terlahir dari keluarga lain yang kaya raya. Niscaya aku akan tetap memilih lahir dari dari rahim ibu.

Seharusnya bukan ibu yang meminta maaf, tapi aku, Bu. aku masih belum bisa membuat ibu bahagia hingga detik ini. Aku masih belum bisa memberikan apa-apa. Semua yang telah ibu berikan tak akan mampu kubalas dengan apapun di dunia ini. Terima kasih ibu.

Deltamas, 23 Desember 2013

Inueds Al Faqih

***

NB :

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

serta

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun