Mohon tunggu...
Intifada
Intifada Mohon Tunggu... Pegawai - Amtenar

Curhat pakai tulisan itu asyik

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Memaafkan untuk Melepaskan Rasa Sakit

23 Mei 2020   00:06 Diperbarui: 23 Mei 2020   00:04 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Tulisan ini dibuat hasil refleksi dari salah satu rekaman suara (podcast) yang ada di aplikasi inspigo. Inspigo adalah aplikasi yang berisi rekaman suara yang berasal dari berbagai narasumber ahli di bidangnya.

Narasumber ini diundang kemudian dibuatlah rekaman suaranya. Rekaman yang saya jadikan referensi adalah rekaman mengenai tema "belajar memaafkan" oleh dr. Jiemi Ardian.

Dokter Jiemi ini adalah seorang psikiatris dan hipnoterapis. Dia membahas mengenai topik MAAF ini dari sudut pandang penelitian.

Maaf ini mungkin terdengar mudah untuk dilakukan. Apalagi menjelang idul fitri. Berlomba lomba semua orang meminta maaf. Bahkan orang yang tidak begitu kita kenal saja, minta maaf. Maaf lahir bathin, katanya.

Padahal maaf ini bentuknya lebih personal. Permintaan maaf ini kalau mengutip dari podcast "pemaafan itu tidak butuh orang lain untuk memaafkan"

Maksud dari kata kata tersebut ialah pemaafan adalah proses melepaskan rasa sakit. Rasa sakit itu ada di dalam diri sendiri. Jadi membebaskan diri dari perasaan negatif atau rasa "sakit" (dendam, iri, dengki, marah) adalah arti dari memaafkan.

Jika dikaitkan dengan idul fitri. Idul fitri adalah momen untuk saling memaafkan. Setelah berpuasa kita menjadi kembali "manusia baru" yang katanya harus saling memaafkan. Budaya itu yang dibangun.

Padahal kalau berkaca, mungkin saja pada saat idul fitri sebenarnya masih ada hal yang memicu kemarahan.

Omongan dari keluarga mengenai "kabar". Omongan basa basi seperti:

"Gimana skripsinya, kok lama banget gak selesai selesai?"

"Udah selesai kuliah, udah kerja. Nunggu apalagi"

"Mana nih calonnya, gak mau dikenalin"

"Gimana udah 'isi' belum?"

Pertanyaan basa basi yang dilontarkan ketika silaturahmi. Basa basi yang biasanya akan memicu kembali kepada diri kita untuk bereaksi negatif.

Di hari idul fitri, ditanya hal seperti itu kok respon kitanya negatif ya? Kok masih sensitif yang rasanya?
Sebenernya salah siapa?

Kembali lagi ke topik bahasan sebelumnya. Memaafkan adalah melepaskan rasa sakit. Jangan biarkan  karena omongan orang, kita malah terpicu mengingat rasa sakit tersebut.

Memang bukan hal yang mudah proses memaafkan. Kata kata "forgive but not forget" seringkali berkumandang.

Hanya sajaaa...
Sudahkah kita melepaskan rasa sakitnya?

Sudah selesaikah kita dengan perasaan bersalah itu?

Ketika kita sudah tidak merasakan perasaan negatif (marah, kesal, sedih, dendam, dan lainnya), maka artinya kita sudah memaafkan.

Ketika kita masih mengingat rasa negatif itu berarti kita belum melepaskan rasa sakitnya. Kita belum memaafkan sepenuhnya.

Jadi,

Sudahkah kita bermaafan dengan diri sendiri?

Kalau saya, saya saat ini sedang berusaha. Berusaha memaafkan agar terlepas dari rasa 'sakit'. Mengurangi ingatan yang tidak perlu diingat. Menuju ke arah Forgive and forget (memaafkan dan melupakan)

Semoga kita semua juga, karena memang memaafkan itu butuh proses dan waktu.

Selamat Idul Fitri, mohon maaf dari hati yang terdalam

Referensi:
1. Inspigo - Belajar Memaafkan (https://sc6d7.app.goo.gl/sCEx)

samber 2020 hari 26
samber thr
pengalamansalingbermafan
maaf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun