"Kamu punya mata untuk melihat penindasan. Kamu punya suara untuk menyuarakan ketidakadilan. Tetapi, kamu tertidur lelap karena berada di zona nyaman." Hamka Pakka
Keseharian menjadi editor di salah satu perusahan media, sudah tidak asing lagi, jika kita sering mendapatkan tulisan, baik itu dari awak media yang tergabung di perusahan tersebut, maupun kontributor lainnya yang ingin menuangkan gagasannya melalui media.
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini saya mendapatkan rilisan tulisan dari salah satu teman yang memang aktif memberikan kontribusi pemikriannya melalui media tempat saya bekerja saat ini. Melalui tulisannya, dia menuangkan unek-uneknya terkait isu yang saat ini hangat menjadi perbincangan khlayak publik.
Apa itu? Kelangkaan minyak goreng, wacana penundaan pemilu, dan juga ungkapan Menteri Agama RI tentang penganalogian suara azan dengan suara anjing, khusus tulisan tersebut, dia lebih banyak mengulas isu kelangkaan minyak goreng dan matinya gerakan kaum intelektual (mahasiswa).
Teman saya ini juga menilai, mereka yang saat ini pemegang palu sidang di gedung parlamen lebih fokus mendiskusikan wacana penundaan pemilu ketimbang isu kelangkaan minyak goreng. Mengapa? Karena, faktanya saat ini para elite politik ramai berpendapat tentang wacana penundaan pemilu ketimbang isu kelangkaan minyak goreng.
Asumsi saya, bagi para elite politik lebih senang mendiskusikan isu wacana penundaan pemilu ketimbang isu kelangkaan minyak goreng, mengapa? Karena isu penundaan pemilu bisa saja memberikan ekstra time (penambahan waktu) untuk mempersiapkan dirinya atau public figure yang hendak di persiapkan untuk memimpin negeri ini.
Sedangkan isu kelangkaan minyak goreng tidak terlalu menjadi bahan diskusi bagi mereka, mengapa? karena, mereka jarang bersentuhan dengan namanya minyak goreng. Toh, minyak goreng sering bersentuhan dengan emak-emak di dapur ketimbang para elite politik di parlemen.
Seandainya, minyak goreng ini, juga bersentuhan dengan para istri elite politik dan membuat istri mereka ngomel, bisa saja mereka akan peduli mendiskusikan isu ini. Benar tidak teman-teman?
Kembali ke tulisan teman saya itu, selain dia menyoroti ketidak pekaan para elite politik (Anggota DPR), dia juga menyoroti ketidak pekaan kaum intelektual (Mahasiswa). Menurutnya, pembangunan sejarah bangsa ini tidak terlepas dari peranan Mahasiswa. Alasannya? Karena Mahasiswa memiliki peranan sebagai agent of change maupun social of control, berawal dari peranan itulah sejarah mencatat hadirnya reformasi karena gerakan mahasiswa yang menyoroti isu kebijakan public yang tidak pro terhadap rakyat.
Nah, sekarang gi mana potret mahasiswa masa kini? Meminjam kata teman saya, mungkin mereka lagi bergadget ria di teras warung kopi. Hehehe.
Ketika wakil rakyat tidak peka, mahasiswa juga ikutan, lantas ke mana lagi rakyat mesti mengadu?
Hari ini emak-emak lagi membutuhkan minyak goreng, emak saya, emak Anda, emak kita semua. Sampai kapan isu ini di goreng, sedangkan emak-emak sekarang lagi butuh minyak untuk menggoreng.
Sudahlah! Toh, kita semua punya mata untuk melihat kenyataan yang ada, punya suara untuk menyuarakan keresahan yang ada, atau mungkin kita lagi berada di zona nyaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H