pelayanan publik. Selamat berjumpa di siang hari sahabat Kompasianer dan Readers~ Saya mau mengeluarkan uneg-uneg saya di dunia
Sudah Bukan Zamannya Ekslusivitas di Dunia Pelayanan! Itulah rasa kecewa saya terhadap dunia pelayanan publik.
Saya yang menderita sakit gigi menggunakan layanan BPJS, serasa dipermainkan, tambalan gigi yang bermasalah dan bahkan rasa ngilu yang masih tetap ada walau sudah ditambal.
Padahal saya sudah komitmen dan mempraktikkan untuk berpuasa seumur hidup saya (kecuali pada hari-hari tasyrik yang dilarang berpuasa dalam ajaran Islam) di masa krisis ini karena salah satunya sarat urgensi keuangan saya pribadi sebagai tirakat hidup saya mengabdi untuk bangsa dan negeri melalui hasil tirakat yakni buah pikir dengan karya-karya tulisan saya yang mudah-mudahan memberikan manfaat bagi seluruh. Walau tidak seberapa materi yang didapatkan dan bahkan terkadang saya tidak mendapat materi apa-apa pada prosesnya.
Saya harus bolak balik ke klinik dengan layanan BPJS seminggu sekali karena selalu ada yang tidak beres di gigi saya, padahal konsumsi makanan dan minuman sudah sangat dibatasi, rajin kumur-kumur dan sikat gigi, eh tambalannya ternyata bermasalah.
Saat di klinik saya duduk dengan seorang kakek, ia pun mengeluhkan kok setelah dicabut giginya, ternyata malah semakin parah, ternyata ada gigi yang patah karena proses pencabutan gigi, akibatnya gigi yang patah itu menggesek-gesek ke sekitaran wilayah mulut yang menyebabkan sariawan yang amat perih. Kok gini amat yah layanan BPJS? Dimanakah kompetensi seorang pelayan publik negeri ini?
Kemudian disaat antrian masih panjang, tiba tiba ada seorang wanita dengan seragam dinas diperbolehkan masuk dengan serobot antrian BPJS. Bahkan kami pengguna BPJS harus rela menunggu seorang berseragam dinas tersebut satu jam lebih. Sementara kami yang menggunakan layanan BPJS, 10 menit juga nggak karena diperiksanya hanya satu masalah, misal ada 5 gigi berlubang, nah ini yang dieksekusi untuk penambalan gigi hanya 1 gigi saja, kami harus datang pada hari atau minggu berikutnya untuk melanjutkan perawatan lubang gigi berikutnya. Apa-apaan ini? Kok bisa begitu? Kenapa ada ekslusifitas dalam pelayanan publik? Apa kami rakyat jelata ini tidak berharga dimata para abdi pelayanan publik?
Saya kemudian berpindah pelayanan kesehatan dari klinik ke puskesmas kota saya tinggal. Namun saya harus membayar sejumlah uang karena kartu BPJS saya tidak relevan rujukannya seperti yang tertera di kartu. Saya ikuti aturan antrian dan ketentuan lainnya. Menunggu berjam-jam hingga giliran saya tiba. Dan saya pun pulang kerumah setelah mendapat perawatan. Eh apa ternyata yang terjadi? Tambalan gigi yang tidak sesuai harapan, saya harus mengalami rasa ngilu yang semakin parah. Padahal ini saya bayar loh!
Saya mengalami sakit gigi karena dimasa lalu saya sakit psikis selama bertahun-tahun, akibatnya saya tidak pandai merawat diri karena ketidaksadaran melanda pada saya. Sampai-sampai ibunda saya harus mengejar-ngejar saya membawakan sikat gigi dan odol untuk menyikat gigi saya yang sudah banyak berlubang, karena kerjaan saya hanya jalan-jalan kaki di ruangan seperti orang linglung. Saya sempat cuti dari masa pendidikan di sekolah saya pada masa itu karena peristiwa menyedihkan ini.
***
Pertanyaan liar bergulir di kepala saya... Jangan-jangan Uanglah alat ukur semua fenomena ini? Ngaku ideologi Pancasila, tereak-tereak anti-kapitalis, nyatanya negeri ini masih menerapkan budaya kapitalisme. Segala diukur oleh uang. Segala diukur oleh kedudukan-pangkat-jabatan di mata publik. Apa sekerdil itukah pemikiran para pemangku kebijakan publik dalam menerapkan kebijakannya sehingga kami rakyat menanggung semua derita ini?