Mohon tunggu...
Indrian Safka Fauzi
Indrian Safka Fauzi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Praktisi Kesadaran Berketuhanan, Kritikus Fenomena Publik dan Pelayanan Publik. Sang pembelajar dan pemerhati abadi. The Next Leader of Generation.

🌏 Akun Pertama 🌏 My Knowledge is Yours 🌏 The Power of Word can change The World, The Highest Power of Yours is changing Your Character to be The Magnificient. 🌏 Sekarang aktif menulis di Akun Kedua, Link: kompasiana.com/rian94168 🌏

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara "Merasa" dan "Berlogika"

7 Juni 2022   10:00 Diperbarui: 7 Juni 2022   10:06 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umat manusia di muka bumi kini didominasi oleh potensi kecerdasan akal dengan di tandai kemajuan kemampuan berlogika.

Kemampuan berlogika mengikuti kaidah-kaidah ilmiah, yang sistematis, terukur, rasional, terstruktur, dan mendalam.

Sehingga wajar saja jika pengetahuan Ruhani yang ada di kitab suci mesti dikonversi menjadi pengetahuan filsafat sehingga terjadi pendekatan yang mudah dipahami manusia yang selalu mengasah potensi akalnya dibanding potensi kecerdasan hati.

Potensi kecerdasan hati itu melibatkan perasaan dan merasakan perasaan juga pengalaman seorang. Seorang akan terhubung dengan sifat welas asih dan cinta, apabila satu rasa dan satu perjalanan hidup (memiliki pengalaman satu jalur).

Sehingga wajar saja jika kita disebut "Gila" oleh orang-orang tak berperasaan nurani, atas seorang yang mengungkapkan pengalaman spiritualnya seperti pernah merasakan euforia kehidupan surgawi saat ia "mati suri" ataupun merasakan kengerian siksa neraka saat ia "mati suri" juga. 

Bahkan sekelas Baginda Rasul Muhammad S.A.W dicap "gila" oleh kaum kafirin Quraisy Mekah saat beliau menjelaskan pengalamannya di-Miraj-kan Allah menembus langit ke-7 dalam satu malam, karena memang kondisi penduduk mekah di zaman yang dikenal jahiliyah sangat merosot kecerdasan spiritual dan moralitasnya. 

Oleh karena itu perlu diimbangi pendekatan kecerdasan akal bagi para penjelajah pengetahuan ruhani, agar dapat menjelaskan secara lebih sistematis, terukur, rasional, terstruktur dan mendalam, atas pengalaman ruhani/spiritual yang ia rasakan agar masyarakat seluruhnya dapat menerima apa yang dirasakan para penjelajah pengetahuan ruhani. Tentunya pendekatan Filsafat (melalui perumpamaan sederhana dan relevan dengan realitas) sangatlah relevan untuk membantu pemahaman masyarakat akan pengetahuan spiritual yang didermakannya.

Antara "Merasa" dan "Berlogika". Merasa bisa diasah dengan berempati dan meluaskan asa dan pengalaman hidup dunia dan spiritual, berlogika bisa diasah dengan berliterasi dan selalu melatih kemampuan berkalkulasi.

Salam literasi!

Tertanda.
Rian.
Cimahi, 7 Juni 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun