Kemudian pada akhirnya ia memposisikan diri sebagai korban, menyalahkan sesamanya yang ia anggap berlaku tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keduniawian menurutnya. Semakin tidak bahagia, semakin rentan ia menyalahkan sesamanya, selalu memposisikan dirinya adalah korban. Padahal sebenar-benarnya Sang Ego telah berhasil menaklukkan dirinya membuat dirinya penuh penderitaan dan kesengsaraan.
Ketidakpuasan meraja padahal ia memiliki segala yang dibutuhkannya melalui Karunia Tuhan. Ia menjadi seorang yang ingkar atas segala pemberian Tuhan, karena apa yang diinginkannya tidak terpenuhi, Ia menjadi sering mendikte Tuhan lewat doa-doanya. Inilah yang membuatnya semakin tidak berdaya (powerless) dalam menghadapi segala situasi yang rumit, maka ada kecenderungan frustasi, minder dan tidak percaya diri.
Ia merasa percaya diri jika seorang sedang meninggikannya, namun ia semakin menderita jika tak ada seorangpun yang tak meninggikannya. Maka ia memiliki potensi untuk menghalalkan cara-cara yang tidak dibenarkan hukum dan agama, ia tabrak aturan tersebut demi pemuasan egonya yang tak pernah puas, demi menunjukkan dirinya lebih luhur dari siapapun. Orientasi hidupnya menjadi tak terkendali terhadap pemenuhan materi dan kenikmatan semu.
Akhirnya ia melakukan pembenaran atas pemikiran dirinya, menyalahkan situasi, dan menyalahkan orang lain atas ketidakbahagiaan dirinya. Dirinya begitu tak berdaya (powerless) karena merasa diri tak berharga.
Kecenderungan mendengki bisa saja terjadi. Hidupnya dihantui oleh masalah demi masalah karena ketidakberdayaannya, yang padahal disebabkan oleh perilaku dan kata-katanya yang ia sering ucapkan kepada sesama (yang bersumber dari pemikirannya).
Kita begitu mudahnya tidak bahagia sekian usia bertambah. Padahal saat sudah dilahirkan kita dikala balita dan anak-anak, kita begitu bahagia, lihat saja para balita dan anak-anak yang penuh keceriaan dan kebahagiaan, selalu tertawa dan ceria.
Sang balita dan anak-anak akan menangis, jika kita menghalangi berbagai bentuk kebahagiaannya, tentu sebagai orang yang lebih dewasa lebih paham, apakah sang balita dan anak-anak itu sedang membahayakan dirinya sendiri atau tidak? Maka peran kita mencegah agar dampak buruk tak terjadi.
Kebahagiaan itu sifatnya bersyarat, yakni berada di jalan kebenaran bukan di jalan syetan. Tanyakah pada diri ini jika aku berlaku kriminal demi memuaskan egoku, apakah aku bahagia?
Maka Rumus ketidakbahagiaan dimulai dari:
- Ingin diluhurkan tanpa meluhurkan
- Egonya (keakuannya) membesar
- Kesadarannya menjadi rendah
- Kecenderungan abai menjadi tinggi
- Berpotensi mengingkari dirinya yang sejati
- Menjadi Tidak bahagia
- Menjadi korban (powerless) dari perkataaan dan perilakunya sendiri (yang bersumber dari pemikirannya)
Bagaimana kita bisa meluhurkan Keagungan Tuhan Yang Maha Esa? Jika semasa hidup di dunia tidak meluhurkan yang hidup?
Tertanda.
Rian.
16 Maret 2022.