Mohon tunggu...
Indrian Safka Fauzi
Indrian Safka Fauzi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Praktisi Kesadaran Berketuhanan, Kritikus Fenomena Publik dan Pelayanan Publik. Sang pembelajar dan pemerhati abadi. The Next Leader of Generation.

🌏 Akun Pertama 🌏 My Knowledge is Yours 🌏 The Power of Word can change The World, The Highest Power of Yours is changing Your Character to be The Magnificient. 🌏 Sekarang aktif menulis di Akun Kedua, Link: kompasiana.com/rian94168 🌏

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Need or Desire?

10 Maret 2022   16:30 Diperbarui: 10 Maret 2022   16:50 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat berjumpa kembali Sahabat Kompasiana.

Rian ingin membahas tema Need or Desire melalui tulisan ini.

Selamat membaca!

Tulisan ini Rian dedikasikan kepada publik, sebagai sarana mengembangkan potensi diri dalam rangka menghadapi situasi, kondisi dan masa-masa pembuka krisis.

Rian melakukan studi behavioral science, neurosemantic dan teori motivasi Abraham Maslow, yang tidak terlegitimasi selama beberapa bulan (hampir 5 bulan lebih) untuk keilmuan behavioral science dan neurosemantic (pada keilimuan ini Rian mendapatkan bimbingan secara daring oleh Guru Publik diluar ranah akademisi namun keilmuannya sudah diapprove oleh jurnal-jurnal ilmiah akademisi yang mendukung), dan selama kurun waktu 3 tahun semenjak dicutikan pihak Kampus STIA Cimahi perihal teori motivasi Abraham Maslow (secara mandiri penuh). Sejatinya 3 ilmu tersebut saling erat berkaitan dan saling memperkuat statement Rian perihal tema kali ini "Need or Desire?".

Jika dijabarkan melalui hierarkis motivasi manusia, ada 5 level yang Rian golongkan yang mana masuk ranah Need, yang mana ranah pembatas atau peralihan Need and Desire, dan yang mana ranah Desire.

Dari yang bersifat desire hingga need:

5. Aktualisasi Diri (Desire)

4. Dihargai dan dihormati (Desire)

3. Sosial (Sometimes Need, Sometimes Desire)

2. Rasa Aman (Need)

1. Fisiologis (Need)

Berikut penjabaran sedikit mendalam dari Rian pribadi:

1. Ada faktor penggerak manusia yang membuatnya bergerak dalam melaksanakan kegiatan maupun aktivitas, yaitu pemenuhan Need/Kebutuhan yang mencakup kebutuhan Fisiologis seperti makan, minum, tidur, berpakaian, tinggal di kediaman tempat tinggal, pemenuhan hasrat biologis dengan pasangan hidup yang sah, dan lainnya yang mencakup kebutuhan inderawi. Kebutuhan ini bersifat mudah terpuaskan apabila sudah dipenuhi, namun kondisi dan perilaku tubuh untuk merespon need beraneka ragam. 

Contoh seperti seorang yang tinggal di gurun berbeda pola pemenuhan kebutuhan fisiologisnya dengan orang yang tinggal di daerah yang subur seperti di bumi Nusantara. Bahkan pembiasaan diri untuk survive di masa masa kritis atau krisis, juga mempengaruhi perilaku pemenuhan kebutuhan fisiologis seseorang. Contoh seorang yang biasa hidup terlantar dan tidur di bawah kolong jembatan, pola pemenuhan kebutuhan hidupnya berbeda dengan kalangan pejabat elit.

2. Kemudian kebutuhan akan rasa aman (Secure) adalah tahapan selanjutnya setelah kebutuhan fisiologis. Mengapa? Karena hasil pengamatan menunjukkan, seorang rela mempertaruhkan nyawanya demi memenuhi kebutuhan fisiologi seperti makan. Sampai ada yang rela berbuat tindak kriminal pencurian hanya demi memenuhi rasa lapar keluarganya, menjual rasa amannya dari hukuman yang kelak menerpanya. Maka dari itu kebutuhan rasa aman adalah next level dari kebutuhan fisiologis. 

Seorang tentu bisa merasakan diri terancam jika tinggal di suatu kediaman yang penuh konflik, daerah rawan wabah, dan sebagainya. Hal demikian mendorong hasrat seorang untuk mampu survive atau melarikan diri dari kondisi yang dipenuhi rasa ketakutan dan dipenuhi ancaman (Fear). Seperti fenomena panic buying yang marak terjadi saat masa-masa krisis di tahun 2022 kini, kelangkaan minyak goreng, mendorong hasrat Fear of Missing Out, ketakutan pasokan keluarga untuk kebutuhan minyak tidak terpenuhi. Sepertinya hal ini dijadikan sebagai ladang bisnis yang tidak memperdulikan kepentingan publik demi pemuasan hasrat pribadi atau golongan, dengan memanfaatkan rasa Fear of Missing Out yang sedang melanda di pemikiran publik saat ini.

Sementara untuk bahasan Manusia makhluk Sosial, Keinginan untuk dihargai dan dihormati, serta Aktualisasi diri Rian bahas sedikit mendalam karena hierarkis Teori Abraham Maslow diatas tidak dapat diukur secara pasti variablenya, karena mengandung unsur desire yang tidak seragam disetiap keinginan manusia.

3. Dalam bersosial, ada masyarakat yang gemar bersosial bahkan ada yang anti sosial, ada yang menjadikan kebutuhan sosial sebagai murni Need ada juga yang hanya menjadikan keinginan sementara, maka kebutuhan sosial ini dapat dikategorikan pembatas atau peralihan antara Need dan Desire

Dalam bersosialisasi ada keinginan-keinginan untuk saling mencintai dan mulai memendam perasaan bahkan mengungkapkannya. Maka prinsip saling mencintai dan sense of belonging (rasa memiliki) mulai hadir dalam kehidupan melalui hierarkis Teori Need and Desire ini. Namun tetaplah manusia yang menentukan hal ini apakah dijadikan sebagai kebutuhan (Need) next level dari rasa aman, atau sekadar permainan keinginan (Desire) pribadi dan golongan sahaja? 

Contoh seorang yang bermain main keinginan bersosialisasi yaitu, seorang pria yang mendekati wanita dengan hasrat mempermainkan cinta dan bermain perasaan dengan wanita tersebut. Setelah puas keinginannya (Desire) terpenuhi, ia meninggalkan wanita yang menjadi korban permainan cinta palsu itu begitu saja.

Cinta sejati itu hadir karena seorang pasangan atau kedua orang tua kepada anaknya memberikan kebebasan dan ketidakterikatan, untuk berpendapat, mengekspresikan diri, berkembang, dan menjadi pribadi yang mandiri dengan pemantauan dan perlindungan yang konsisten. Artinya bebas terkendali. Terkendali berarti keluarga menjamin kebutuhan fisiologis dan rasa aman (Secure), dan hal-hal yang memfasilitasi kemajuan anggota keluarga dari pemenuhan hidup dan pembentukan mental. Sehingga kebahagiaan bisa hadir dalam suatu keluarga. Prinsip cinta bahwa seorang pasangan dan anak hanya bisa bahagia jika keluarga memfasilitasi dengan penuh cinta yang tidak mengikat agar anggota keluarganya bisa menikmati hubungan kekal antara seorang hamba dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Namun cinta buta itu hadir karena seorang pasangan atau sesamanya ataupun kedua orang tua kepada anaknya yang berusaha mengambil kendali dan menguasai pasangannya atau anaknya secara dominan dan memaksa. Mendikte yang tidak dibenarkan secara moral dan etis, prinsip penjajahan kemanusiaan dalam skala terkecil lingkup sosial yaitu keluarga, tidaklah dibenarkan. Membuat keterikatan yang penuh penderitaan dan hubungan yang toxic, karena anggota keluarganya merasa terintimidasi atas dasar cinta (yang padahal cinta buta), menganggap peran dirinyalah yang satu-satunya membuat keluarga bahagia (yang secara tidak langsung menampik Kemahakuasaan Tuhan.)

Maka quotes yang Rian tulis muncul:

Cinta yang sejati tidaklah mengikat dan memberikan kebebasan yang terkendali. Dan Cinta yang sejati selalu menganggap pasangan dan anaknya bahagia karena mereka dapat bersandar kepada Kemahakuasaan-Nya. Sebuah keyakinan cinta bahwa baik pasangan dan anaknya hanyalah milik-Nya dan akan kembali kepada-Nya dalam kasih-Nya yang kekal.

Cinta yang buta sangatlah mengikat dan tidak memberikan kebebasan yang terus menerus mendominasi. Dan Cinta yang buta selalu menganggap pasangan dan anakku hanya bisa bahagia jika bersandar pada diriku semata. Sebuah keyakinan cinta yang mendakwakan pasangan dan anaknya mutlak milik diriku dan hanya akan kembali kepada kasihku yang fana.

Cinta tidak sekadar ucapan "I love you." Cinta perlu bukti. Maka apa bukti cintamu? yaitu Semangat!

Banyak fenomena rumah tangga, yang dinilai kurang harmonis dan kurang bergairah, karena salah satu pasangan hidupnya tidak ada semangat hidup untuk bangkit dari keterpurukan (akibat didominasi oleh pemikiran-pemikiran yang merugikan diri sendiri, seperti merasa diri tidak berharga). Akhirnya urusan rumah tangga hanya dipikul salah satu pasangan. Sungguh kehidupan rumah tangga yang membosankan, dan membuat diri mencari pelarian. 

Rumah tangga yang ideal bisa terwujud jika diwarnai kehidupan rumah tangga yang saling melayani dan saling memahami satu sama lain dengan penuh ketulusan dan semangat yang tanpa batas dan tak pernah padam.

4. Keinginan untuk dihargai dan dihormati seorang dan seorang lainnya tak dapat diukur secara pasti, karena syarat keinginan (Desire) yang beraneka ragam. Contoh seperti seorang tentara dan seorang pedagang keinginan untuk dihargainya tentu berbeda. Namun teori Abraham Maslow tentang hasrat dihargai dan dihormati ini kurang baik untuk budaya sosial masyarakat nusantara. Karena dapat mendorong hasrat gila hormat dan gila penghargaan. Rian pernah menuliskan quotes:

“Pengakuan dan Penghargaan yang diberikan manusia kepada seseorang adalah suatu tanggung jawab yang besar. Namun Keridhaan (Restu Suci) dari Tuhan Yang Maha Esa kepada Hamba-Nya adalah suatu Kemuliaan.” (Rian, 2021)

Penghormatan yang berupa pengakuan dan penghargaan yang diberikan adalah bentuk tanggung jawab yang kemudian hari dipikul berat oleh anak didik dunia perguruan tinggi. 

Mengapa? Karena penghormatan berupa pengakuan terlegitimasi secara hukum dan penghargaan yang diberikan kepada anak didik dimasa mendatang akan menumbuhkan ekspetasi dan harapan dari masyarakat? Maka dari itulah dengan sebenar-benarnya Pengakuan dan Penghargaan yang diberikan adalah Beban Moral yang sungguh besar karena harus memikul harapan masyarakat yang beraneka ragam.

Lihat fenomena sekarang para oknum pelanggar hukum dari kalangan pejabat publik administrasi dan pelayanan publik, tingkah polah seperti raja yang harus dihormati dengan penuh kemuliaan, namun saat menyalahgunakan legalitas jabatannya dengan tindak pidana korupsi apa yang mereka perbuat setelahnya? Cengar cengir tanpa dosa, bukan tunduk malu dan berusaha membayar kerugian yang diperbuatnya kepada masyarakat karena telah menghancurkan ekspetasi dan harapan masyarakat!

Sejatinya diri manusia memanglah berharga (memiliki self-esteem). Seperti yang pernah Rian bahas di tulisan sebelumnya (di tulisan ini) bahwa manusia memiliki keberlimpahan diri yaitu Pikiran yang Mulia, Keinginan Luhur, Ketajaman Hati, Kecerdasan Akal, Kepiawaian Gerak Tubuh dan Keindahan Karakter.

Pengakuan dan penghargaan tidak perlu dicari, melainkan itu semua akan datang kepada kita dengan sendirinya sesuai kualitas kontribusi yang bersifat "Call to Action" dan "Mutual Interest" yang secara konsisten dan terarah kita investasikan untuk kepentingan publik atau orang banyak.

Seorang memberikan apresiasi karena:

Apresiasi diberikan karena adanya kesamaan nilai-nilai (baik itu moralitas dan etisnya wawasan) yang dimilikinya pada seorang yang berkontribusi. Dari hal inilah terlahir sebuah ungkapan "Pengakuan dan Penghargaan."

Dari quotes diatas, maka kita dapat menyimpulkan melalui beragam fenomena "Like, Comment, and Share" di berbagai medsos. Hal ini terjadi karena seseorang menganggap postingan tersebut memiliki nilai-nilai yang relevan dengan prinsip dan nilai yang kita anut. Sehingga muncul respon untuk meninggalkan rekam jejak digital dengan menekan tombol "Like" bahkan jika mengaguminya karena fantastisme nilai yang hadir di postingan tersebut, ia rela membagikannya kepada teman-teman terdekat dan keluarganya untuk menikmati bersama postingan tersebut.

Kemudian hal yang relevan dengan keberhargaan diri (self-esteem) pada hierarkis ke-4 ini adalah, berperilaku agar kita berharga dalam kehidupan, ada yang harus kita lakukan yaitu:

Kita mesti berperilaku inside-out ketimbang outside-in.

Mengapa? karena internal diri kitalah yang memegang kendali diri, bukan diluar diri kita. Jika diluar diri (outside-in) yang memegang kendali kita, maka kita dengan mudah termakan informasi palsu, tidak valid, dan tidak terukur variablenya seperti hoax yang terus tersebar di publik melalui sebaran informasi media sosial. Sehingga kita berperilaku seperti robot yang diremot oleh segelintir orang melalui propaganda pemikiran dan ideologi-ideologi menyimpang.

5. Dan keinginan aktualisasi diri pun variablenya tak dapat diukur secara pasti, karena setiap orang memiliki keinginan untuk beraktualisasi yang berbeda beda sesuai motivasi yang mendorong seseorang untuk berkembang. 

Contoh ada yang ingin menjadi seorang pelajar yang tiada henti belajar, dan ada yang hanya ingin menjadi pengajar setelah belajar saat kelulusan sudah diraih, setelah kelulusan diraih malah pengajar tersebut berhenti belajar kembali (Re-learning) karena egonya, dan masih banyak aneka fenomena keragaman aktualisasi diri tiap manusia.

Ada sebuah kisah unik yang bisa mengarahkan keinginan aktualisasi menjadi semakin terarah, berikut kisahnya:

Dalam rangka mengaktualisasi diri, Seorang memulai tangga potensi aktualisasi dengan belajar berprofesi sebagai seorang pelamar kerja (employee) karena potensi kecerdasan hal bersifat material yang dimilikinya, setelah memiliki banyak modal dan memulai untuk berwirausaha, ia harus memiliki modal motivasi berjiwa pemimpin suatu lapangan pekerjaan, sampai akhirnya sukses dapat memberikan kehidupan layak kepada para pekerja yang bernaung dibawah kepemimpinannya. 

Karena ingin merasakan menjadi seorang pejabat pelayan publik dengan modal dimilikinya guna kepuasan bathin/rohani, ia mulai berusaha mendaftar sebagai salah satu pejabat pelayan publik guna mengabdikan diri kepada negara dengan jiwa ksatriya yang penuh semangat pelayanan tulus dan penuh kebaikan dan kebenaran. 

Setelah melalui 3 anak tangga aktualisasi diri dalam berprofesi. Ia merasa ingin menjadi guru untuk berbagi pengalaman indah dari petualangan profesi mulianya, hingga akhirnya ia menjadi seorang guru yang ahli dibidangnya guna memberikan pelajaran berharga kepada para anak didik untuk belajar menjadi seorang yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa dengan penuh dedikasi luhur. 

Kebutuhan (Need) mau tidak mau suka tidak suka haruslah terpenuhi, atau tubuh manusia kelak bermasalah, seperti rentan terkena penyakit, kelaparan (Pemenuhan Fisiologis) dan penderitaan badan lainnya seperti dampak peperangan atau konflik dan sebagainya (Pemenuhan Rasa Aman). 

Kecuali ada upaya untuk menjadikan diri semakin terlatih dan menerima suatu kondisi krisis yang mempengaruhi Need seorang dengan tirakat pengekangan diri seperti puasa Daud sepanjang tahun sesuai aturan agama yang ditetapkan para Ulama. 

Contoh akan hal ini bisa dilihat resilience/ketahanan warga yang terbiasa hidup dan tinggal di daerah gersang atau daerah konflik, sebagai pembeda dengan kita yang hidup dengan keberlimpahan sumber daya dan penuh perdamaian tanpa konflik bersenjata dan perpecahan kelompok separatis di daerah yang kita tinggali.

Sementara Desire sejatinya bisa dikendalikan, karena Desire terletak dari proses berfikir seseorang ketika merespon adanya peluang dan kesempatan untuk memenuhi Desirenya.

Contoh saya berkebutuhan untuk berangkat ke rumah saudara saya di Jakarta, tiba-tiba saya melihat banyak jaket sesuai selera terpandang di toko pakaian di Kota Cimahi. Akhirnya saya memutuskan untuk memenuhi keinginan saya yang baru saja terbesit di pikiran untuk membeli jaket sesuai selera. Proses tawar menawar terjadi, namun pedagang bersikukuh dengan harganya yang tinggi. 

Sayapun memutuskan untuk membatalkan keinginan saya, karena bisa menguras keuangan saya untuk kebutuhan finansial perjalanan saya ke kota Jakarta, karena saya sadar bahwa jaket bisa dibeli kapan saja dan saya tidak butuh-butuh amat, masih banyak kok jaket bagus di lemari pakaian saya.

Demikianlah pembeda Need dan Desire. Need harus dipenuhi saat itu juga dan bersifat urgensi, namun Desire dapat dikendalikan dan tidak terlalu urgent. Pertanyaannya apakah kita malah dikendalikan oleh Desire sehingga kita menjadi serakah akan keinginan yang tak terbatas itu, sehingga kebutuhan yang paling utama menjadi terbengkalai?

Ingatlah pepatah.

Hidup untuk makan? atau makan untuk hidup?

Sekian penjabaran tulisan tentang Need or Desire. Semoga sahabat kompasiana dapat mengkalkulasi dampak yang terjadi apabila kita disetir oleh Desire yang tak pernah puas, yang membuat kita merana di masa yang akan datang, karena sumber daya terkuras sehingga tidak mampu memenuhi Need yang harus dipenuhi. Sehingga kita lebih arif dan bijaksana dalam bertindak di masa masa pembuka krisis yang terjadi saat ini. 

Please, Satisfy your own desire with your own unique way.

Citasi e-book PDF: 

  • www.ejournal.org, ABRAHAM MASLOW’S HIERARCHY OF NEEDS AND ASSESSMENT OF NEEDS IN COMMUNITY DEVELOPMENT
    Dr. E. O. Aruma and Dr. Melvins Enwuvesi Hanachor
    Department of Adult and Non-Formal Education
    University of Port Harcourt, P.M.B 5323, Port Harcourt, Rivers State, Nigeria
  • www.researchgate.net, Maslow and the Motivation Hierarchy: Measuring Satisfaction of the Needs.
    ROBERT J. TAORMINA University of Macau
    JENNIFER H. GAO Macao Polytechnic Institute
  • www.ncbi.nlm.nih.gov, Renovating the Pyramid of Needs: Contemporary Extensions Built Upon Ancient Foundations.
    Douglas T. Kenrick, Vladas Griskevicius, Steven L. Neuberg, and Mark Schaller.

Episode Sebelumnya: Planning or Preparing?

Salam hormat.

Rian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun