Mohon tunggu...
Intan Zulfiana
Intan Zulfiana Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga

Seorang introvert yang di dalam kepalanya ramai akan ide, gagasan, dan kata-kata, sesekali menuangkannya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Cerita Sinusitisku, Pengalaman Operasi Hypertrophy Concha Bulan Oktober Lalu

1 Januari 2024   12:26 Diperbarui: 1 Januari 2024   12:41 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang menderita sinusitis (Sumber: health.kompas.com)

Beberapa waktu terakhir saya sering menemui video yang melintas di fyp saya di sebuah halaman sosial media. Video tersebut berupa trend tulisan pernyataan dari si pembuatnya, yang mengatakan jika 2023 adalah tahun terberatnya. Spesifik dengan bulan yang juga mereka sebutkan. Tanpa penjelasan lebih lanjut apa yang sebenarnya merek alami, intinya, di bulan tersebut mereka mengalami fase atau gejolak hidup paling berat atau bahasa kekiniannya 'ugal-ugalan'.

Sayapun kemudian teringat dengan diri saya sendiri. Tentang apa yang sudah saya alami di tahun 2023 ini yang akan menjadi salah satu pengalaman dan catatan penting dalam hidup saya.

Bulan Oktober lalu adalah bulan dimana menjadi catatan bersejarah dalam hidup saya. Ada satu kejadian yang tidak pernah terpikirkan dan sangka sebelumnya akan terjadi. Yaitu masuk rumah sakit demi menjalani sebuah operasi atau pembedahan. Ya, buat saya ini adalah pengalaman yang begitu amazing. Mengingat dalam sejarah hidup saya yang sudah menginjak usia kepala tiga ini, tak pernah sekalipun saya dirawat di rumah sakit. Bahkan untuk melakukan pemeriksaan di rumah sakit pun terbilang sangat jarang. Mentok saya biasanya hanya periksa ke bidan yang buka praktik di dekat rumah, atau ke klinik faskes I dengan memakai layanan BPJS. Atau bahkan membeli obat bebas di apotek terdekat.

Sampai akhirnya di awal bulan Oktober lalu saya mulai mengalami sakit yang berlarut-larut dan tak kunjung sembuh. Tak biasanya saya mengalami sakit separah itu. Memang sih, gejalanya mungkin dirasa tak seberapa dan cukup familiar. 'Hanya' berupa sakit kepala, namun tak berkesudahan. Tapi sungguh itu sangat amat mengganggu hari-hari saya. Tak cuma untuk melakukan aktivitas harian, bahkan selama hampir sebulan itu untuk tidurpun saya mengalami kesulitan.

Jadi begini kronologinya...

Minggu pertama Oktober, anak saya sakit berupa demam 3 hari lalu berlanjut batuk pilek. Di hari ke-4 sejak anak saya pertama demam, saya pun ikutan ambruk dengan gejala pusing, pilek, dan radang tenggorokan. Awalnya saya pikir saya cuma ketularan anak saya dan hanya meminum paracetamol yang ada di kotak P3K di rumah. Sampai hari kedua saya sakit, gejalanya makin membuat tidak enak di badan saya. Demam tak terlalu tinggi (sekitar 38,-), pusing, dan hidung meler yang paling terasa. Saya memutuskan untuk ke klinik dan memeriksakan kondisi yang saya alami. Di situ dokter jaga memberikan resep berupa obat radang tenggorokan, batuk pilek, dan vitamin c untuk 3 hari.

Hari berlalu, hingga obat dari klinik habis, sakit saya tak kunjung sembuh. Rasa sakit yang paling menyiksa saat itu adalah sakit di kepala. Terasa seperti ditekan, berat, dan nyut-nyutan terutama di dahi. Oh ya, saat itu juga ada ingus berwarna kuning kental yang cukup sering mengalir dan harus dikeluarkan berkali-kali dalam sehari. Saya pikir dengan adanya tanda tersebut, apakah ada infeksi di tubuh saya.  Sempat juga saya mengalami anosmia atau tidak mampu mencium aroma atau bau apapun sama sekali selama 3 hari. Tapi feeling saya pada saat itu kurang saya indahkan dan masih berpikir positif jika saya cuma mengalami flu biasa. Saya kembali ke klinik dan kembali mendapatkan resep. Kali ini saya meminta untuk diberi obat sakit kepala karena hal tersebut yang paling mengganggu. Setelah 3 hari dan obat habis, hasilnya sama saja. Saya masih mengalami sakit kepala yang begitu menyiksa.

Sempat beberapa hari setelah obat dari klinik habis, saya terpaksa membeli obat pereda sakit kepala yang dijual bebas di apotek. Dari mulai yang mereknya sangat familiar, hingga yang kurang dikenal. Saya tidak meminumnya setiap hari. Dan dalam sehari, maksimal saya hanya mengkonsumsinya maksimal 2 kali atau dua butir saja. Saya sudah was-was kalau harus terus terusan minum obat, apalagi tanpa resep dokter.

Hasil dari obat pereda sakit kepala tersebut hanya meringankan sakit kepala dalam kurun waktu tak lebih dari 24 jam. Jadi hari-hari itu tak pernah saya lalui dengan benar-benar sehat dan terbebas dari sakit kepala. Badan masih terasa kliyengan, makan tidak enak, sempat pandangan kabur dan seperti mau pingsan. Termasuk tidurpun masih terganggu dengan rasa sakitnya. Untuk lendir atau ingus kuning kental sudah hilang dan berganti dengan ingus cair bening yang tidak perlu terlalu sering untuk dikeluarkan. Sepertinya berkat ramuan rimpang yang saya buat sendiri. Jadi setiap pagi saya membuat minuman dari potongan jahe, kencur, sereh, dan madu yang diseduh dengan air panas. 

Di minggu ke 3 bulan Oktober, akhirnya saya mulai beraktivitas kembali. Setelah sebelumnya terpaksa harus meliburkan anak saya dari sekolahnya selama hampir 2 minggu. Hari senin saya mulai mengantarkan anak saya kembali ke sekolah. Sejalan dengan tekad saya yang akhirnya mantap ke rumah sakit untuk menemui dokter spesialis THT. Kenapa spesialis THT? Ya, karena saya sebetulnya sudah punya feeling dan kecurigaan bahwa apa yang saya alami beberapa minggu belakangan adalah sinusitis. Tentu saja dengan bekal ilmu dari mbah Google dan berdasar tanda-tanda dan pengalaman rhinitis alergi yang saya miliki.

Berbekal rasa penasaran, ingin kepastian, dan sudah lelah dengan gangguan rasa sakit yang saya alami, bertemulah saya dengan dokter spesialis THT di poli di rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan endoscopy rhinoscopy, dengan santai dokter langsung menyebut kata 'sinusitis'. Dengan pembengkakan konka di kedua lubang hidung. Jeng jeng... Kenapa nggak dari kemarin-kemarin saja ya saya kesini?! Batin saya menuding diri sendiri .

Ilustrasi tentang konka (Sumber: www.liputan6.com)
Ilustrasi tentang konka (Sumber: www.liputan6.com)

Setelah itu, saya diresepkan beberapa obat termasuk antibiotik oleh dokter untuk 5 hari ke depan. Ditambah dengan pesan untuk kontrol di tanggal yang dokter tentukan, yaitu saat obat habis. Lima hari berlalu, saya kembali ke dokter di hari yang sudah ditentukan. Yang saya rasakan di badan masih belum benar-benar enak. Masih belum merasa kalau saya sudah sembuh. Dokter memeriksa kembali kondisi konka saya dengan memasukkan alat yang memproyeksikan hasil gambarnya dalam layar komputer, dan ternyata konka saya belum kempes alias obat-obatan tadi tidak berefek signifikan.

Saya langsung ditawari untuk operasi. Yang saya sambut dengan bengong karena 'masa sih harus operasi?' Langsung terbayang kalau badan saya bakal ditusuk jarum di sana sini, berkali-kali, bahkan sampai harus disayat dan dibedah. Horror sekali rasanya. Tapi seperti hanya itu pilihannya untuk menuju kesembuhan paripurna yang saya idamkan selama hampir sebulan, saya akhirnya langsung menyanggupi saran dokter tersebut. Dijadwalkanlah hari dan tanggal operasi saya satu minggu kemudian. Tak lupa saya juga diberi surat rekomendasi dari dokter untuk ke IGD, dengan keterangan pasien BPJS. Meski sebelumnya saya periksa ke dokter dengan biaya pribadi atau istilahnya pasien umum.

Tiba hari H jadwal yang sudah ditentukan dokter, sayapun berangkat ke IGD. Syukur Alhamdulillah semua proses yang saya jalani dari mulai masuk IGD, registrasi data pasien, ambil darah, dan lain-lain berjalan dengan lancar dan tidak ribet. Saya masuk IGD sore hari dan malamnya ba'da Isya tangan saya sudah dipasang infus. Lalu saya diminta puasa sejak jam 12 malam, dan besoknya jam 8 pagi operasi akan dimulai. 

Singkat cerita, pagi sekitar jam 8 pagi saya sudah dibawa ke instalasi bedah. Sempat menunggu giliran hingga sekitar jam 9 pagi baru saya benar-benar masuk ruang operasi. Tak lama beberapa petugas menemui saya, diantaranya adalah dokter anastesi. Saya mulai diberi obat bius total melalui suntikan di infus saya, sembari diajak ngobrol tipis-tipis oleh dokter yang bertugas. Tak sampai 5 menit, saya sudah merasakan berat di kepala lalu pandangan mulai kabur. 

Setelah itu saya benar-benar tidak merasakan apapun dan tidak ingat apa yang terjadi hingga 2 jam kemudian saya bangun dalam kondisi hangover atau seperti orang mabok. Berat sekali untuk membuka mata, sedikit sakit di tenggorokan akibat alat bantu pernapasan yang dipasang lewat sana, dan tubuh rasanya lemah tak berdaya.Selama satu jam saya di ruang recovery. Dan di situ pulalah sempat ada pengambilan tampon berupa kain kasa yang cukup panjang dari kedua lubang hidung saya. Rasanya seperti apa? Perih, geli, ngilu, tapi karena saat itu kondisi saya masih lemas akibat obat bius, saya cuma bisa pasrah sampai reflek menitikkan air mata. Tidak ada sayatan, luka, atau perban sama sekali di luar tubuh saya, atau dengan kata lain operasinya tidak dilakukan dengan cara pembedahan dari luar kulit.

Setelah satu jam, saya dikembalikan ke kamar dan perlahan kondisi saya pasca operasi makin membaik. Masih ada rembesan darah yang mengalir dari lubang hidung saya tapi tak terlalu banyak. Badan juga sudah mulai enakan dan segar. Hasil dari operasi tersebut yang pertama saya rasakan adalah, nafas yang lebih lega dan tak tersumbat lagi.Tentu ini akibat konka yang sudah dipotong tadi. Oh ya, potongan jaringan konka tersebut sempat diperlihatkan pada suami saya untuk ditawarkan mau dibawa pulang atau dikelola pihak rumah sakit saja. Tentu suami saya menjawab supaya disimpan pihak rumah sakit saja. Ngapain juga dibawa pulang kan??

Keesokan harinya saya sudah diperbolehkan pulang. Tepatnya siang hari setelah dokter THT yang menangani saya visit satu kali. Dibekali dengan beberapa obat seperti obat penenang pasca operasi, antibiotik, dan obat alergi. Seminggu pertama di rumah pasca operasi saya lalui dengan badan yang berasa teler, kelelahan, dan mudah sekali untuk tidur. Saya rasa ini akibat efek obat penenang berwarna hijau yang memang diberikan untuk pasien pasca operasi, gunanya untuk mendukung kuantitas dan kualitas istirahat. Saya juga diberi jadwal kontrol total hingga 3 kali. Dan yang terakhir adalah untuk mengambil sisa kotoran bekas luka akibat pembedahan di dalam lubang hidung. FYI, jatah kontrol saya hanya satu kali yang free atau dibiayai BPJS, yang kedua dan ketiga saya bayar dengan biaya sendiri. Ini karena saya sedari awal datang langsung ke faskes tipe B tanpa melalui rujukan bertahap dari faskes I.

Tuntas dan tidak ada lagi obat. Tidak ada lagi sakit kepala yang saya rasakan, nafas juga terasa lega. Perlahan tubuh saya juga kembali ke kondisi terbaiknya seperti semula kira-kira di minggu ke 4 pasca operasi. Benar-benar pengalaman yang luar biasa tapi cukup sekali saja, deh. 

Banyak hikmah dan pesan yang bisa saya ambil dari sini. Pertama, bahwa sehat memang mutlak nikmat yang paling utama. Dengan sehat, kita bisa melakukan apapun yang kita mau. Makan enak, tidurpun nyaman. Kedua, jangan pernah sepelekan alarm tubuh kita jika terjadi sesuatu yang tidak beres. Beranilah untuk mengambil keputusan dengan mendatangi ahli yang kompeten di bidangnya. Terkadang kita enggan melakukan cek kesehatan hanya karena merasa kita masih bisa menahan rasa sakitnya. Padahal, jika diketahui lebih cepat mungkin hasilnya akan lebih baik dan tertangani dengan segera.

Terakhir, selamat tahun baru untuk semuanya. Semoga kita semua senantiasa diberikan kesehatan, keselamatan, dan keberkahan dalam hidup. 

Salam :). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun