Nama Almira Bastari, beberapa tahun belakangan mencuat sebagai salah satu penulis novel yang diperhitungkan karya-karyanya dalam dunia buku fiksi di Indonesia. Memulai tulisannya dari Wattpad, penulis kelahiran 1990 ini kemudian sukses menembus dunia percetakan dengan karya pertamanya yaitu Melbourne Wedding Marathon yang pertama kali cetak di tahun 2017. Sukses di pasaran, ia kembali melahirkan karya-karya berikutnya yaitu Resign (2018), lalu Ganjil Genap (2020), dan yang terbaru adalah Home Sweet Loan (2022).
Keempat novel Almira Bastari atau setelah ini saya singkat saja dengan AB, meskipun ceritanya tidak berkesinambungan atau memiliki benang merah, akan tetapi memiliki kemiripan. Diantaranya adalah tokoh utama yang kesemuanya adalah perempuan muda rentang usia 25-30 tahun, berprofesi sebagai karyawan kantoran, dan tinggal di daerah perkotaan. Lengkap dengan dinamika kehidupan karyawan kantor yang kondisi finansialnya berada di tengah-tengah. Tidak bisa disebut kaya raya, akan tetapi juga cukup tergambarkan mentereng dengan pilihan fashion, tempat makan, ataupun hobi liburan ke luar negeri.Â
Konflik yang diciptakan juga senada. Masalah kehidupan asmara pastinya. Dengan bumbu konflik pekerjaan, hubungan pertemanan, dan keluarga dari tingkatan yang paling kecil hingga yang rasanya paling berat. Ketiga novel pertamanya yaitu Melbourne Wedding Marathon, Resign, dan Ganjil Genap terasa lebih 'ringan' dalam hal konflik karena sebagian besar 'hanya' berkutat pada urusan asmara. Maka beruntunglah (atau justru sebaliknya?) mereka yang membaca bukunya secara urut dari yang terbit terlebih dahulu hingga yang paling baru. Tidak seperti saya yang membaca justru mulai dari buku terakhirnya yaitu Home Sweet Loan yang terasa paling gloomy diantara ketiga 'kakaknya'.
Kaluna, sebagai tokoh utama di buku ini adalah seorang karyawati di sebuah bank di Jakarta yang berposisi di bagian umum. Sebuah posisi yang digambarkan sebagai staf (harus) serba bisa dengan job desc yang menjalar kemana-mana. Di usianya yang hampir menginjak 30 tahun, Kaluna merasa terteror dengan tuntutan sosial termasuk keluarga, untuk segera mengakhiri masa lajang atau menikah. Bukan hanya itu, ia juga merasa di usia segitu sudah harus punya hunian sendiri dan keluar dari rumah orang tuanya, yang surprisingly, dihuni oleh tiga kepala keluarga. Ya, selain kedua orang tua Kaluna dan ia sendiri yang masih single tinggal di rumah itu, kedua kakak yang sudah berkeluarga dan punya anakpun masih tinggal di sana. Hal klasik yang lumrah kita temukan pada masyarakat kita.
Novel yang dari judulnya saja sudah menggelitik dengan berupa plesetan dari idiom "home sweet home", plus ilustrasi yang menggambarkan kenjelimetan dalam mengelola uang, ternyata memang mewakili isi bukunya. Home Sweet Loan seakan menyindir telak kehidupan orang dewasa terutama pekerja kantoran di zaman sekarang. Terutama dalam perjuangan mereka untuk bisa mendapatkan rumah impian. Atau paling tidak, jika kata impian terlalu muluk-muluk, maka bisa diganti dengan kata 'rumah yang nyaman'. Yang juga sialnya, sekarang ini cenderung sulit untuk didapatkan dengan pembelian tunai. Ya, kata loan dalam judul buku ini menyatakan secara sinis tapi nyata, kalau memang itulah realita yang kerap terjadi bagi kaum menengah yang kondisi keuangannya nanggung. Dibilang miskin kok bisa bergaya, dibilang kaya kok buat beli rumah saja sulit.
Yang menarik dari novel ini adalah bahwa buku ini sangat berisi dengan disisipi pengetahuan-pengetahuan seputar banyak hal. Seperti motivasi dan ajakan agar tidak boros dan tentang bagaimana caranya mengatur penghasilan agar tercapai tujuan keuangan. Tips memilih rumah sebelum memutuskan untuk membeli. Hingga pengetahuan tentang pekerjaan seorang banker, yang mungkin tidak punya manfaat significant pada pembaca, namun berhasil menunjukkan bahwa penulis benar-benar niat melakukan observasi dalam menciptakan novel ini. Sehingga isinya tak hanya khayalan fiktif belaka, tapi banyak mengandung hal-hal yang relate dengan kehidupan di dunia nyata.
Sisi pahit dan gloomy dari Home Sweet Loan terlihat pada kompleksitas masalah sang tokoh utama yang tidak kita temukan di tiga novel AB sebelumnya. Setelah berhasil membaca semua novel AB, saya baru menyadari betapa ia berani keluar dari zona nyamannya untuk menciptakan kehidupan tokoh utama yang bisa saya sebut nyaris tragis dan malang. Seperti yang sudah saya sebut di atas, permasalahan yang dihadapi Kaluna bukan hanya soal relasi romantis yang njelimet, tapi juga masalah keluarga yang bikin pusing.Â
Hidup co living bersama banyak kepala orang dewasa di dalam satu rumah saja sudah terdengar cukup ngeri. Ditambah dengan segala drama orang tua dan kakak-adik yang menyangkut uang. Ya, di novel terbarunya ini Almira juga mengusung tema tentang sandwich generation. Dan agaknya bagian ini yang paling bikin saya nyesek dan bersimpati penuh pada Kaluna sang pemeran utama.Â
Masalah klasik lain adalah tekanan orang tua pada anak untuk segera menikah karena menganggap umur sudah waktunya, atau bahkan sudah kasep. Atas nama 'apa kata orang-orang kalau umur segini belum nikah?', dan ketakutan-ketakutan lain. Yang sialnya berpotensi untuk membuat seseorang menikah ketika belum siap, atau meski ada yang salah dengan pasangan atau dirinya sendiri, tetap dipaksakan dengan harapan semua akan membaik pada waktunya.
Seperti ciri khas Almira dalam bercerita, Home Sweet Loan dibawakan dengan bahasa sehari-hari ala anak Jakarta yang ringan, renyah, dan to the point. Bumbu pertemanan yang tak asing dalam buku-buku AB sebelumnya kembali dibawakan di sini. Dengan Kaluna yang kali ini berjuang bersama tiga sahabatnya yaitu Tanisha, Kamamiya, dan Danan. Selalu menciptakan suasana yang seru, ramai, dan kocak. Jadi tidak usah khawatir dengan bagian suramnya, nuansa komedi lewat interaksi antar tokohnya dapat memberi kesegaran di tengah-tengah pusingnya perjuangan mencari rumah impian.
Meskipun sebagian isi dari buku ini sudah saya jabarkan poin-poin ringkasnya, tetapi saya jamin hal ini tidak akan mengurangi keseruan saat membaca novel ini. Kisahnya masih tetap bisa untuk dinikmati dengan menyenangkan. Juga akan tetap bisa merasakan setiap emosi yang muncul melalui berbagai karakter di novel ini. Gaya bahasa yang dibawakan Almira begitu luwes dan natural, dengan kreativitas bumbu-bumbu dan detil cerita yang informatif sekaligus menyentuh. Jadi, saya akan tetap merekomendasikan novel ini sebagai buku bacaan yang ringan tapi sarat akan pesan yang bermakna.
So, selamat membaca ;).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H