Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai yang sangat panjang mencapai 95.000/km, itu artinya harapan akan sumber daya kelautannya dapat dioptimalkan dengan baik. Namun, pada kenyataannya sumber daya belum diolah dengan cara yang optimal sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara memyeluruh. Garam merupakan komoditis yang strategis id Inondeisa dimana digunakan bukan hnaya untuk kosusi melainkan untuk industri. Biasanya orang yang memproduksi garam adalah orang yang berapa didaerah pesisir pantai.
Pada tahun 1997, produksi garam dalam negeri telah mencapai 1.2 juta ton dan masih dapat dikatakan surplus dibandingkan dnegan kebutuhan. Akan tetapi tahun 1998, turun hanya mencapai 240 ton saja, sejak saat itulah Indonesia mulai mengimpor garam untuk kebutuhan konsumsi dan industri. Adanya impor ini dikarenakan kurangnya kesediaan garam untuk memenuhi konsumsi garam yang dibutuhkan.
Dalam melakukan impor diatur dalam Menteri Perdagangan nomor 58/M-DAG/PER/9/2012 yang kemudiaan dilakukan perubahan karena dianggap sudah tidak relevan. Peraturan tersebut diganti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 88/M-DAG/PER/10/2015. Seluruh kegiatan impor garam tersebut diatur mulai dari persetujuan impor hingga dengan kuota dari pengimporan tersebut. Ketersedian garam di Indonesia ini bukan hanya kuantitas yang harus diperhatikan, melainkan juga perlu adanya perhatian kepada mutu dan harga agar dapat bersaing dengan garam impor.
 Grafik diatas berasal dri Koalisi Rakyat untuk Keadilan Peikanan yang menunjukkan total kebutuhan garam nasional sejak tahun 2004-2010. Produksi pada tahun 2012 meningkat cukup drastis dikarenakan adanya pemberhentian impor dari manapun. Hal ini dapat mewuudan swasembada garam, hingga akhirnya untuk pertama kalinya Indonesia melakukan ekspor garam. Namun pada tahun selanjutnya. Perbandingan lainnya juga dapat dilakukan dengan perbandingan harga dari tahun ke tahun.Â
Harga pada atahun 2011 masih tergolong rendah, meskipun kenaikan harga garam tersebut dirasa cukup signifikan. Akan tetapi, pada tahun 2013 terdapat kenaikan harga sebesar 10,46% dari harga pada tahun 2012. Surplus garam yang terjadi tahun 2012 ada sekitar 1 juta ton sehingga dapat menurunkan harga dalam jumlah yang cukup banyak.Â
Analisis
Impor garam menjadi perhatian halayak ketika ada kisruh pada tahun 2011. Meledaknya jumlah impor garam dari China, Australia dan India pada tahun tersebut menyebabkan banyak yang bertanya-tanya mengapa garam saja diproduksi padahal sudah ada wacana untuk mengadakan swasembada garam.
Berdasarkan pada dari BPS menyebutkan bahwa untuk periode Januari hingga Juni 2011 saja, imporn garam dari Australia mencapai 1,04 juta ton. Selain itu impor garam dari India sebesar 741.120 ton, disusul dengan Jerman 1,8 juta ton dan sisanya diimpor dari Singapura.
Namun, kisruh yang terjadi pada impor garam pada tahun 2011, disebabkan ketika ditemukanadanya gudang penimbunan 11.600 ton garam impor asal India di Cwandan, Cilegon Banten serta 29.000 ton garam yang sama di Jawa timur pada hari Sabtu, 8 Agustus 2011 yang kemudian dilakukan penyegelan. Setelah disegel, garam yang berasal dari India tersebut akan dikembalikan.1Â Pengimporan tersebut juga menyalahi aturan, karena harusnya impor dapat dilakuakan setelah dua bulan panen raya.
Adanya impor tersebut tentu menjadikan petani di Indonesia tentu sengsara, itu artinya impor garam ini akan menjadi salah satu rapor merah pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Rapor merah yang terjadi ini juga karena adanya gagal koordinasi yang terjadi antara Menteri Kelautan yaitu pada Fadel Muhammad dengan Mari Elka Pangestu pada saat menjabat menjadi Menteri Perdagangan. Fadel menjelaskan pada saat itu menolak adanya impor garam untuk Indonesia, akan tetapo Mari elka meminta agar impor tersebut tetap dilaksanakan untuk pasar.Â
Perseteruan yang terjadi antara 2 orang yang sangat terkait pada impor garam tersebut membuat Presiden pada saat itu Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara. Beliau setuju dengan pendapat yang diberikan oleh Fadel, dengan adanya impor garam tentu akan membuat petani garam lokal akan mati.Â
Mari Elka yakin bahwa dengan adanya kegagalan yang terjadi akibat pada tahun 2010 lalu berdampak pada produksi garam nasional. Sehingga beliau yakin dengan melakukan impor sebanyak 900.000 MT untuk penyediaan kebutuhan garam negeri. Mendengar hal tersebut Fadel merasa agar tidak adanya kepentingan lain selain kepentingan petani garam, sehingga ia yakin bahwa petani lokal mampu untuk  memproduksi garam. Sebagaimana kita tahu, bahwa sebagai pembuat garam tentu tidak memiliki pendapatan yang cukup tinggi sehingga tidak banyak yang menginginkan menjadi pembuat garam.Â
Seperti dalam "The Role of Small Firms in Indonesia"Â yang ditulis oleh T. Tambunan menyebutkan bahwa lebih baik menjadi tenaga kerja permanen dibandingkan dengan menjadi pembuat garam atau produk kayu dengan pendapatan yang cukup rendah. Sehingga, Fadel terus memperjuangkan kepentingan bagi pekerja garam. Perbedaan tersebut yang terjadi pada tahun 2011 ini menjadi catatan buruk bagi pengimporan garam, karena perseteruan tersebut dimenangkan oleh Maria Elka yang sangat mendukun adanya impor.
Ditengah kinerja seorang Fadel Muhammad yang sangat giat untuk memperjuangkan hak-hak petani, secara misterius pada bulan Oktober 2011 ia diberhentikan dari jabatannya sebagai Menteri Kelautan dan Peikanan oleh Presiden SBY. Hal ini sangat disayangkan, pasalnya tidak ada permasalahan yang terjadi sebelumnya, justru hubungannya terjalin baik dengan mendukung SBY untuk pro poor, pro growth dan pro job. Bahkan dalam melaksakan kepemimpinan dilakukan dengan baik. Setelah pencopotan Fadel, PT Cheetham Garam Indonesia dapat izin untuk mengimpor garam sebanyak 25.000 ton.
Namun, akhirnya pemerintah memutuskan untuk menghentikan impor garam sejak tanggal 30 Juni 2012. Hal tersebut disampaikan oleh Plh. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Gunaryo di kantor Kementerian Pergagangan.2 Pada pemberhentian impor tersebut terdapat banyak perubahan, petani sedikit merasa adanya kesenangan karena tidak ada lagi garam impor di Indonesia.
Sehingga pada tahun 2012 untuk pertama kalinya swasembada garam bagi konsumsi dengan menggunakan strategi intensifikasi dan revitalisasi lahan produktif, peningkatan produksi dan kualitas garam, pemberdayaan petambak garam dan inovasi teknologi produksi3. Dalam peningkatan produksi garam di Indonesia ini pernah dikaji oleh Martin D. Burkenroad dengan judul "The Development of Marine Resources in Indonesia" bahwa langkah utamanya adalah menyangkut pasokan garam itu sendiri. Karena masih ada keragunaan akan harga yang relatif tinggi namun dengan kualitas yang masih rendah.Â
Untuk melakukan penghentian impor garam tersebut, pada saat itu Fadel Muhammad memberikan bantuan berupa 50 rumah ramah bencana kepada warga miskin wilayah pesisr yang kemudian menjelaskan juga agar menggunakan lahan yang tersedia untuk garam sekitar 34.000 hektare digunakan dengan baik bukan hanya 20 hektare saja. Namun, ada juga perbincangan oleh pemerintah untuk meningkatkan harga garam Rp 325/kg tapi tidak terlaksana pada saat itu.
Namun menurut Alex selaku Menteri Perindustrian pada saat itu, swasembada garam yang dimaksud adalah swasembada garam beryodium, namun Indonesia juga dapat menciptakan produksi garam untuk industri.4Â Ketika adanya swasembada tersebut, pada awal tahun 2013 pun Indonesia untuk pertama kalinya mengekspor garam akibat dari swasembada tahun 2012 tersebut.Â
Produksi garam konsumsi sebesar 2,978 juta ton berasal dari petambak Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) sebesar 2,02 juta ton, petambak non-Pugar sebesar 453 ribu ton, PT Garam sebesar 385 ribu ton, dan sisa impor tahun 2012 sebesar 119.900 ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya sebesar 1,440 juta ton. Sehingga terdapat ekspor garam untuk pertama kalinya.
Perkembangan ekspor garam ini terus berjalan hingga tahun 2013, dimana keputusan untuk tidak melakukan impor garam konsumsi berdasarkan hasil rapat koordinasi pada Januari 2013 yang dihadari oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Perindustrian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.5Â Sehingga tidak adanya izin untuk melakukan impor garam dari negeri manapun.
Meskipun tidak adanya impor garam, namun masih banyak terdapat keluhan oleh para petani akibat dari tingkat harga pokok penjualan garam yang masih rendah. Pada tanggal 5 Desember 2013, SBY pun melakukan kunjungan ke Kalianget, Sumenep. Pulau Madura dan Jawa Timur dengan alasan ingin memberikan harga terbaik untuk produksi garam tersebut. Pada kenyataannya pun masih tidak sesuai dengan teori yang diucapkannya yang telah disepakati. Bukan hanya masalah harga garam, melainkan infrastruktur yang dibutuhkan agar produktivitas garam dapat meningkat.
Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh SBY cenderung masih lamban, pasalnya bukan hanya garam saja, beliau cenderung lebih mementingkan dan mendukung impor pangan diberbagai bahan pangan. Sehingga hal ini sangat disayangkan, karena kemungkinan adanya mafia garam dalam hal ini untuk mengatur dengan pembebasan bea masuk impor. Mafia-mafia tersebut diduga sama sekali tidak pernah tersentuh oleh hukum dan disinyalir berpesta diatas penderitaan rakyat.6
Bukan hanya itu saja, pemerintahan SBY juga memberikan sejarah buruk bagi pergaraman di Indonesia. Pasalnya hingga saat ini kemisteriusan mafia akan impor garam tersebut masih belum dapat ditemukan dan masih menjadi incaran polisi. Mafia tersebut diberi nama 7 samurai, yang hingga saat ini belum dapat diketahui siapa saja dibalik nama tersebut. Namun dipastikan mereka meruapan 7 importir yang diberikan izin untuk mengimpor garam konsumsi. Salah satunya adalah PT Unicemcandi Indonesia dan PT Garindo yang dipimpin oleh Lusi telah ditetapkan sebagai tersangka.
Masa kejayaan mafia tersebut telah menjadi masa kelam, pasalnya sejak pemerintah Jokowi banyak Godfather yang sudah lagi tidak berjaya. Mafia yang selalu meningkatkan jumlah impor setiap tahunnya pada jaman SBY. Sayangnya hal tersebut tidak lagi dapat dilakukan pada masa pemerintahan Joko Widodo.7Ma
Salah satu program pemerintahan Jokowi-JK adalah ingin menghnetikan impor garam dalam tiga tahun kedepan dengan cara melakukan revitalisasi tambak. Hal ini dilakukan dengan melakukan kerjasama PU dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin merevitalisasi yang luasnya mencapai 1000 hektare. Akan tetapi dengan revitalisasi tersebut, belum dikatakan dapat menghentikan impor garam. Hingga saat ini masih adanya impor garam. Lalu, mengapa kegiatan itu terus terjadi hingga saat ini?      Â
Jawabannya adalah pemerintah masih kurang optimal untuk meningkatkan produktivitas dalam segi kualitas dan kuantitas. Sehingga apabila ada garam impor masuk tentu akan membuat petani sengsara karena kualitas yang dimiliki pun masih rendah dan dari segi harga yang masih lebih tinggi dibanding impor.Â
Hingga saat ini, garam untuk industri memiliki kebutuhan yang tinggi untuk produk seperti pipa PVC, biji plastik, pengeboran minyak hingga kosmetik. Kebutuhan akan hal tersebut mencapai sekitar hingga 2 juta ton. Hal inilah yang terus menjadikan impor garam. Kebutuhan impor tersebut juga dikarenakan keadaan dari petani di Indonesia yang masih kurang tepat sasaran dan target, sehingga terkadang bantuan dari pemerintah tidak memberikan efek yang baik bagi petani.
Pada tahun 2016 ini, terdapat adanya kenaikkan pada impor garam sehingga perlu adanya langkah baik untuk menurunkan impor serta swasembada garam. Untuk menciptakan tersebut, perlu adanya dukungan dari tiap Kementerian untuk melakukan pembinaan pabrik garam oleh Kementerian Perindustrian, penyerapan besar-besar garam petani oleh PT. Garam selaku BUMN dan pengendalian harga oleh Kementerian Perdagangan.
Deputi II Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono optimistis Indonesia bisa swasembada garam pada 2017. "Indonesia memiliki banyak wilayah yang berpotensi mendorong program nasional ini," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 5 Oktober 2016. Akan tetapi pada kenyataannya, Indonesia masih memiliki masalah di hulu yang dampat menghambat produksi garam. Sehingga perlu adanya penerapan teknologi tepat guna.
Kesimpulan
Dalam menangapi impor garam tersebut, harus adanya kebijakan kuota impor pada garam yang tepat dan jelas sehingga tidak adanya penyalahgunaan kuota impor. Dengan menurunkan kuota impor juga tentu perlu diimbangi dengan adanya peningkatan produksi bagi garam agar tidak terjadinya kekurangan atau krisis garam di Indonesia. Hal ini berarti, petani garam harus mendapatkan perhatian lebih dalam infrastruktur serta adanya komunikasi yang baik terjalin antara Kementerian terkait agar tidak terjadi kesalahan komunikasi dan gagal paham.Â
Kemudian bukan hanya itu saja, pemerintah juga perlu dengan tegas menentukan HPP untuk garam rakyat agar sesama produksi lokal baik PT. Garam maupun produksi rakyat tidak mengalami kompetisi harga. Sehingga dalam hal ini petani garam sendiri tidak mendapatkan dukungan dari Indonesia sendiri. Dengan begitu Indonesia mungkin dapat melaksanakan swasembada garam di tahun 2017, apabila seluruh kebijakan dijalankan dengan jelas dan kegiatan impor bukan digunakan untuk kepentingan satu pihak saja, melainkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik untuk konsumsi maupun industri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H