Berdasarkan data terbaru hingga Desember 2024, kasus korupsi yang melibatkan aparat pemerintahan tingkat tinggi di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Menurut laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus korupsi terus meningkat setiap tahun, dengan 791 kasus tercatat pada tahun 2023, hingga hampir tiga kali ipat dibandingkan 271 kasus tercatat pada tahun 2019. Peningkatan ini turut berdampak pada lonjakan kerugian negara, yang mencapai Rp 28,4 triliun pada tahun 2023, setelah sebelumnya mencapai puncaknya sebesar Rp 42,7 triliun pada tahun 2022. Meskipun berbagaii upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 34 sejak tahun 2022, menempatkan negara ini pada peringkat 115 dari 180 negara. Kondisi ini mengindikasikan bahwa langkah-langkah untuk menekan korupsi, terutama di kalangan pejabat tingkat tinggi, masih belum efektif.Â
Banyak kasus korupsi yang diungkap oleh media massa, baik cetak maupun televisi, sering kali "menghilang" dan tidak pernah terdengar kelanjutannya. Fenomena ini terjadi karena adanya keterkaitan erat antara pemilik media dan penguasa. Para pemilik modal di berbagai media bekerja sama dengan pemerintah untuk menjaga eksistensi bisnis mereka, yang pada akhirnya memengaruhi independensi media dalam menjalankan fungsi pengawasan publik (Daulay, 2023). Dalam kondisi ini, media tidak lagi menjadi pilar demokrasi yang bebas, melainkan berubah menjadi alat hegemoni kekuasaan yang mendukung agenda pemerintah, bahkan jika itu berarti menyembunyikan penyimpangan dan korupsi.
Selain itu, hegemoni penguasa yang kuat membelanggu kebebasan pers. Media seringkali hanya berfungsi sebagai "papan advertensi" bagi pemerintah, terbatas pada menguntip pernyataan resmi para pemegang otoritas tanpa melakukan investigasi mendalam terhadap fakta-fakta lapangan (Daulay, 2023). Ketakutan terhadap ancaman ekonomi, tekanan politik, atau bahkan ancaman hukum membuat media memilih jalan aman, yaitu mengabaikan isu-isu korupsi yang dapat merugikan hubungan mereka dengan pemerintah atau elit politik.
Fenomena "hilangnya" pemberitaan kasus korupsi oleh media massa juga erat kaitannya dengan realisasi janji-janji para calon kepala daerah. Dalam praktiknya, banyak calon kepala daerah yang menggunakan janji-janji manis untuk menarik simpati masyarakat selama masa kampanye. Namun, setelah mereka terpilih, realisasi janji tersebut seringkali tidak sesuai dengan harapan. Â Kondisi ini menciptakan siklus di mana janji-janji politik hanya menjadi alat kampanye tanpa konsekuensi nyata bagi para pemimpin yang tidak menepatinya. Ketika masyarakat kehilangan akses ke informasi yang jujur dan kritis melalui media, pengawasan terhadap kepala daerah melemah. Akibatnya, ruang bagi penyalahgunaan wewenang dan korupsi semakin terbuka, sementara janji-janji yang tidak ditepati terkubur di bawah narasi positif yang dikendalikan oleh media yang berpihak pada kekuasaan.
Sumber literatur:
Daulay, F. S. (2023). Konstruksi Pemberitaan Kasus Korupsi Pejabat Publik Pada Kompas. com (Bachelor's thesis, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H