Kulihat jaket yang sudah cukup lusuh masih tergantung di belakang pintu. Benar. Itu adalah jaket yang sama dengan yang kuberi untuknya. Dia memakainya. Bahkan sampai pudar warnanya.
"Kalau habis makan, harus minum. Tapi tunggu 30 menit ya. Itu baik untuk kesehatan. Kalau tidak mau pakai gelas ini, jual saja di tukang rongsokan. Lumayan kan?"
"Ini kemeja buat kamu. Sengaja kuberi warna biru. Sekali-kali kenakan warna lain. Warna itu nggak cuma hitam. Begitu pula kehidupan, nggak selalu gelap. Pasti ada cerahnya juga. Jika bukan aku, setidaknnya kamu harus menemukan orang lain untuk mencerahkan hari-harimu."
"Nih coklat. Ada termosnya juga. Coklat enaknya kalau pas panas. Kemarin katanya mau nyoklat bareng. Meski nggak di tempat yang sama, gapapa yaa. Yang penting waktunya bareng. Ketika kamu menikmati coklat ini dimana pun, saat itu juga aku menikmatinya disini."
"Buat yang suka dengerin musik, nih ada earphone. Kemarin speakernya rusak kan? kalau nggak suka, jangan dibuang yaa. Agak mahal soalnya, sayang, ehhe." Sepasang earphone tanpa kabel tergeletak di bawah lampu belajar.
Kertas-kertas itu tersimpan dalam buku kecuali satu kertas yang ditempel disampul buku. Pada setiap halaman, ada satu kertas dan beberapa baris kalimat tulisanmu. Halaman pertama hanya tulisanmu. Tak ada tempelan kertasnya.
"Terima kasih sudah menjadi tempat berkeluh. Jika tidak, kepalaku akan penuh. Buku ini akan kusimpan sendiri. Lagipula adikku sudah punya banyak buku. Apalagi tetangga. Dan menurutku, hanya aku yang dapat memanfaatkan buku ini dengan paling baik."
"Disini dingin. Aku pakai terus kok jaketnya. Walaupun di rumah aja."
"Sampe tak setting alarm 30 menit tiap abis makan. Kamu jauh sih, jadi ngga bisa mengingatkan kan? Dan ini adalah gelas minum favoritku."
"Ternyata hidup ini kaya pelangi. Warna-warni. Pengen banget menikmati pelangi ini sama kamu, nanti."
"Termos ini yang akan menjadi saksi bahwa aku hampir selalu menikmati coklat setiap hari."