Mohon tunggu...
Intan Rifiwanti
Intan Rifiwanti Mohon Tunggu... Guru - Human-ist

Menulis adalah salah satu cara yang baik untuk bicara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Inspirator

1 Juni 2020   10:20 Diperbarui: 1 Juni 2020   10:45 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Oleh: Intan Rifiwanti*)

Kesunyian malam nyaris lenyap. Tiba saatnya sang Surya yang berkuasa.  Pun mentari pagi mulai menembus celah-celah jendela di ruang tidurku dan memaksaku untuk bangun. Kali ini aku tak bisa menghindar, aku menyerah. Aku memang harus bangkit dari kasurku yang empuk. Terlihat remang-remang waktu menunjukan pukul lima pagi. Lekas aku beranjak mandi dan melaksanakan kewajiban. Ohya, nyaris terlupa. Kata orang tuaku, namaku Nadia. Aku merasa bahagia dikelilingi orang-orang yang baik selalu kepadaku. Aku sangat beruntung memiliki dua orang terkasihku, ialah ayah dan ibu yang aku yakini mereka tidak pernah lupa menghadirkan namaku dalam setiap doa mereka. Juga kakak yang selalu setia menemaniku berkelahi. Aku lebih kerap menyapanya dengan sebutan Mbak Nindy. Setiap waktu yang kami lewati selalu berujung perkelahian hebat laik perang dunia.

Aku mulai merasa kesepian ketika Mbak Nindy masuk kuliah. Tidak ada keramaian yang tercipta seperti biasanya. Setelah resmi menjadi mahasiswa, intensitas perkelahian antara aku dan Mbak Nindy sudah pasti berkurang drastis. Bahkan nyaris tidak pernah lagi kualami. Kecuali kalau gadis si pemilik nama Nindya Rahma itu mudik. Lain pula dengan sahabat. Aku punya sahabat yang baik banget terhadapku. Aku mengenalnya sejak aku duduk di bangku SMP. Dia baik dan setia. Selalu mengerti aku,  mendengarkan ceritaku, dan menyimpan rahasiaku. Dia selalu ada, walau sebenarnya nggak ada. Hehehe...  Dan bagian dari hidupku yang lainnya adalah teman hatiku. Azka namanya. Dia adalah sosok pemuda yang baik menurutku, manis, dan terutama saleh.

 Aku tidak bisa lagi disapa dengan sebutan anak kecil. Sudah dua lembar ijazah yang berhasil kukantongi saat ini. Aku baru saja menyelesaikan studiku di sekolah tempatku mengenyam pendidikan menengah pertama. Aku menanggalkan semua kenangan yang pernah terjadi di sana. Salah satu yang menyakitkan adalah perpisahan. Aku merasa sedih ketika harus berpisah dengan sahabat setiaku, juga guru-guru yang telah dengan sabar mengajariku bagaimana bisa mengetahui bahwa benda jatuh ke bumi adalah karena hukum gravitasi. Itu adalah contoh kecil dari begitu banyaknya ilmu yang kudapatkan dari pahlawan tanpa tanda jasa itu.

Kini aku melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Seragamku saja sudah berganti menjadi putih abu-abu. Sekolah Menengah Atas. Masa yang paling indah. Katanya. Faktanya, biasa saja menurutku. Teman baru, lingkungan baru, suasana baru. Semuanya biasa saja. Mungkin orang lain akan menganggapku tabu mengapa aku hanya merespon ini semua dengan dua kata yang cukup singkat, “biasa aja” tapi inilah aku. Setiap orang pasti berbeda. Hanya di mata Tuhan semuanya sama. Anak kembar identik sekalipun, pasti memiliki perbedaan. Begitu juga denganku. Aku lebih merasa nyaman dengan suasana yang biasa kujalani. Malah kadang nelangsa dengan suasana yang baru. Entahlah, aku sendiri tidak paham apa alasannya.

Gak betah!” Ya, mungkin ungkapan ini lebih tepat. Yang pasti, aku kahilangan banyak kenangan selama aku duduk di bangku SMP. Sahabat terbaikku, tak bisa kujumpai lagi setiap hari. Karena kami tidak berada di sekolah yang sama lagi. Kuharap, hubungan persahabatan yang baik ini tetap terjalin. Tidak merenggang, apalagi terputus.

Di kelas baruku, aku ditemani oleh gadis berkacamata miopy minus dua koma lima. Aulia namanya, yang kini duduk tepat di sampingku. Dengannya, kami bercerita tentang apa yang terjadi antara aku, dia, dan kelas kami. Hari pertamaku menjadi pelajar SMA cukup menegangkan. Setiap masuk SMP atau SMA, pasti siswa baru akan mengalami Masa Orientasi Siswa atau lebih kerap disapa dengan sebutan MOS. Berbagai tugas yang aneh-aneh diberikan oleh senior kepada junior.  Intinya MOS itu acara yang asyik.

“Perkenalkan, nama saya Nadia Rahma. Saya berasal dari SMP Putih Biru. Ada yang ingin ditanyakan?” ucapku saat perkenalan.

Mulanya semua diam. Aku sangat paham, mungkin karena mereka masih malu-malu. Sama sepertiku, belum terbiasa dengan lingkungan yang baru. Jadi, masih perlu adaptasi. Akan tetapi, karena senior-seniornya narsis, suasana sepi bisa seketika berubah menjadi ramai menyenangkan dan berhasil membuat salah seorang siswa mengangkat telunjuknya dan bertanya,

“Jumlah sodara?” hahaha... hampir setiap seorang yang memperkenalkan di mimbar kelas, tidak luput dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang singkat, dan mungkin tidak penting menurutku, tapi hal kecil itu mampu menciptakan tawa.

Senior-seniornya gokil. Sebagian ada yang galak. Sebagian lagi tegas. Tegasnya pake banget. Membuat suasana kelas menjadi tegang. Siapa lagi kalau bukan ketua OSIS. Hehehe... Selama tiga hari MOS, kelasku dibina oleh dua orang sebagai walikelas. Yang laki-laki Kak Fafa, yang perempuan Kak Iwan namanya. Eh, kebalik enggak yah. Hehehe... Kak Fafa itu banyak diamnya. Tapi kalau sekali nyeletuk ngena banget. Sedangkan Kak Iwan, kelihatannya sabar banget. Menurutku, dia senior yang baik, murah senyum, dan ramah. Aku merasa nyaman bisa di MOS sama kakak yang punya hobi menulis itu. Sayang sekali aku hanya bisa melewati dua hari MOS, karena hari ketiga sekaligus terakhir aku sakit.

Sedih, merana, perih, pilu, bercampur menjadi gado-gado. Lengkap dengan bumbunya yang dominan pahit. Sakit adalah kondisi yang menjengkelkan. Kondisi yang tidak pernah aku harapkan. Ini adalah kali pertamaku menyaksikan bahwa dokter memvonisku menderita  gejala jantung. Hatiku miris saat itu. Ditambah lagi dengan satu kenyataan meyakitkan bahwa aku mengidap lambung kronis.

Assalamu’alaykum Kak Iwan, maaf di hari terakhir saya tidak bisa hadir karena saya sakit. Makasih atas ilmu yang kakak berikan selama 2 hari MOS. Ini ada sedikit kenang-kenangan dari saya, semoga kaka mau menerimanya. Wassalamu’alaykum.” Itulah tugas terakhir dari senior, yaitu membuat surat kecil yang harus disampaikan di hari ketiga Masa Orientasi Peserta Didik Baru.

Aku juga menyelipkan nomor phone cellku di dalam suratku. Dan sesuai harapan, Kak Iwan membalas pesanku.

Wa’alaykumussalam, iya, gpapa. Syukron untuk kenang-kenangannya. Kakak suka. Nadia sakit apa? Semoga lekas membaik, ya..” Begitulah balasan dari Kak Iwan. Wah, senangnya.

Aku ceritakan semuanya sampai panjang dikalikan lebar sama dengan luas. Hehehe... Tentang sakitku. Tentang perasaanku. Aku malahan curhat sama kakak yang satu itu. Nyaman banget rasanya. Namun, sebenarnya aku takut kalau akan mengirim pesan singkat. Takut mengganggu aktivitasnya, karena aku tahu dia seorang yang sibuk karena dia bagian dari kepengurusan OSIS. Organisasi siswa tertinggi di sekolah.

Semenjak aku divonis sakit, aku mulai sering tidak masuk sekolah. Aku yakin, buku laporan hasil belajarku kelak pasti banyak coretan pena di kolom hadir siswa. Aku lebih sering mengunjungi dokter bersama ibuku atau sesekali bersama Mba Nindy. Tidak sedikit obat berhasil kutelan dan rasanya pahit. Setiap orang pasti akan mengeluh bila harus berhadapan dengan tablet dan kapsul yang menjengkelkan. Akulah yang setiap harinya memang suatu keharusan menelan obat-obat itu sampai habis dan aku sembuh. Beruntungnya, keluargaku terus memberiku semangat. Tak lekang mereka mengingatkanku untuk pandai bersyukur.

Assalamu’alaykum Nadia, gimana kabar?” nama Kak Iwan muncul di inbox ponselku sebagai pesan singkat.

La Tahzan, jangan bersedih. Meskipun sedang sakit harus tetap semangat. Mungkin ini cara Tuhan menunjukkan kasih sayang-Nya buat Nadia. Allah sangat sayang pada Nadia, makanya, Nadia juga harus sayang pada Allah dengan tetap menjaga iman Nadia. Okey?” begitulah salah satu bentuk perhatiannya terhadapku.

Banyak hal yang kami bicarakan. Intinya curahan hatiku semua. Hehehe.. sampai akhirnya, Kak Iwan tertarik dengan ceritaku dan berniat mengadopsi kisahku menjadi cerita pendek.

“Kakak terinspirasi dengan kisah Nadia. Sebenarnya pengin kakak buat cerita panjang atau novel, tapi kalau itu, kaka belum sanggup. Ilmu kakak masih cetek. Vocabsnya juga limit. Mwhehe...” guraunya yang mengasyikkan terhenti karena langit yang menghitam mulai berhiaskan kelap-kelip bintang. Alam menghentikan obrolan kami karena matahari telah sempurna tenggelam dan memberi isyarat untuk selekas mungkin melaksanakan kewajiban salat magrib.

Bulan yang hampir bulat berlatar langit di musim kemarau mengundang kesan yang dalam. Suasana Hari Raya masih terasa begitu hangat. Betapa bangganya aku, ketika aku menjadi objek cerita Kak Iwan yang pastinya akan menjadi bagian dari koleksi cerpen karyanya. Pun aku senang, ini adalah kali pertamaku menjadi salah satu inspirator. Angkasa kelam sepi membisu. Hawa dingin terasa menusuk melalui celah-celah di ariku dan menuntut mekanisme tubuhku untuk beristirahat. Aku menurut.

Cilacap, 14 Agustus 2013

*Penulis merupakan ketua OSIS jenjang SMA periode 2013/2014 di salah satu sekolah di sisi tersunyi Pulau Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun