Mohon tunggu...
Intan Aulia Rahma
Intan Aulia Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Halo saya Intan. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial, Program Studi Pendidikan Sosiologi. Tertarik dalam bidang komunikasi media sosial dan marketing.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Beyond Gender Bias: Peran Pemuda Perempuan dalam Inklusivitas Politik melalui Lensa Feminisme

29 Maret 2024   23:17 Diperbarui: 30 Maret 2024   00:15 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Di saat ini, (kita) tidak lagi tertarik untuk memperluas lingkup inklusivitas. Melainkan, (kita) lebih tertarik untuk terus membangun ‘garis batas’ sebagai upaya primitif untuk menjauhkan diri dari ‘musuh’, ‘penyusup’, dan ‘orang asing’ – yakni, mereka yang bukan bagian dari kita. Dalam dunia yang semakin dicirikan oleh kesenjangan kemampuan untuk bergerak, dan (dunia) di mana kemampuan untuk bergerak adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup, brutalitas ‘garis batas’ adalah hal yang tak lagi bisa dihapuskan. ‘Garis batas’ bukan lagi sekadar rintangan yang harus dilalui, melainkan sebuah tembok yang memisahkan (antara kita dan mereka).” (Achille Mbembe, 2019).

Pemuda merupakan istilah yang kerap kali dikaitkan dengan metafora pejuang, aktivis, revolusioner, pergerakan dan istilah itu sering diperjual belikan pada momentum politik.
meminjam kutipan PRAMOEDYA Ananta Toer dalam wawancara dengan majalah Playboy Indonesia mengatakan, “Sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda. Angkatan tua itu jadi beban.” Menurut sastrawan besar Indonesia ini, hanya kalangan muda yang mampu menggerakkan sejarah, melakukan perubahan. Lihat saja tetralogi Buru yang mengisahkan tentang Minke, seorang murid sekolah menengah yang kemudian sadar akan posisi bangsanya lalu merintis pembangunan organisasi kebangsaan di Indonesia.

Tapi siapa, sih, pemuda Indonesia itu? Apakah pemuda sama dengan masa muda yang dibatasi umur? Apa dengan begitu politikus berusia muda lantas digolongkan sebagai wakil angkatan muda dalam politik nasional?

Menurut Undang-Undang Kepemudaan Nomor 40 tahun 2009, pemuda didefinisikan sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan, berusia antara 16 dan 30 tahun. Menurut konsep ini, masa muda adalah masa peralihan dari dunia kanak-kanak ke dunia dewasa.

Dalam pembahasan ini mengerucut kepada bagaimana sih peran pemuda khususnya bagi kaum mudi atau perempuan dalam perpolitikan? jika kita berbicara tentang perempuan dalam dunia politik tentu bersinggungan dengan teologi feminisme. Pertama, mari kita bahas tentang Feminisme. Feminisme seperti halnya nasionalisme dan kapitalisme, adalah istilah modern atau produk dari era modern. Kata itu sendiri mengacu pada suatu ideologi yang terdiri dari berbagai ide yang digunakan untuk mendukung transformasi sosial. Pada akhir tahun 60-an, istilah "feminisme" digunakan untuk menggambarkan gelombang kedua gerakan perempuan. Dalam gelombang pertama, yang terjadi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, isu-isu perjuangannya meliputi perubahan posisi perempuan di masyarakat, emansipasi, kemandirian ekonomi, dan kerja. Gelombang kedua membahas hal-hal seperti perjuangan untuk mengubah aturan dan budaya masyarakat yang dikuasai oleh patriarkisme; upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif atau berbahaya dari pemikiran dualisme; dan keinginan untuk mengadopsi prinsip-prinsip moral. Intinya bahwa teologi ini menggoncangkan pandangan konservatif yang ada selama ini karena merekonstruksi simbol-simbol patriarki dan memunculkan perjuangan perempuan secara sosial politik.

Dalam dunia perpolitikan khususnya di Indonesia sendiri rata-rata diisi oleh laki-laki yang memegang kuasa dan kontribusi atas negara dan bangsa. Jika kita menarik sejarah dari perjuangan Ibu kita Kartini bahwa beliau memperjuangkan emansipasi wanita. Dalam sejarah budaya Jawa menempatkan wanita dalam posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Seolah hakikat dan takdir wanita hanya berkutat di sekitar sumur, dapur dan kasur dan tidak perlu berpendidikan tinggi. Hal ini dirasakannya tidak adil ketika wanita hanya dipandang remeh. Dalam diskusi dengan tokoh feminis Belanda Stella Zeehandelaar bahwa ia memiliki tujuan agar hak perempuan untuk mengikuti pendidikan setara dengan hak pendidikan untuk laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa kita sebagai pemuda perempuan berhak untuk ikut terlibat dalam politik bangsa baik sebagai pemilih, pemimpin, atau aktivis.

Terinspirasi dari analisa Ien Ang tentang problematika inklusivitas dalam wacana feminisme poskolonial (Ang, 1995, in Lewis, 2003). Dalam tulisannya tentang politik perbedaan (politics of difference) dan feminisme poskolonial (1995), Ien Ang mengkritik konsep inklusivitas yang sebenarnya tidak serta merta dapat dipahami sebagai sesuatu yang positif bagi kelompok-kelompok marjinal. Ang menyatakan bahwa kelemahan terbesar dari konsep inklusivitas terletak pada ketidakmampuannya untuk mendekonstruksi struktur kekuasaan yang menyebabkan kelompok-kelompok marjinal terpinggirkan pada awalnya. Ini berarti bahwa, asumsi perluasan ruang penerimaan terhadap kaum marjinal dalam kerangka inklusivitas tetap berdiri di atas landasan legitimasi yang menyebabkan mereka teralienasi sebelumnya.

Meskipun banyak sekali tantangan yang dihadapi oleh wanita jika ingin menagih tentang kesetaraan gender khususnya dalam dunia perpolitikan ini, misalnya stereotip gender dan norma sosial seringkali menghalangi perempuan untuk memasuki dunia politik, dan bias gender dapat ditemui dalam pemilihan, kampanye, dan proses pengambilan keputusan politik. Pemberian dukungan finansial dan akses terhadap pendidikan politik juga menjadi faktor penting dalam mendorong partisipasi perempuan dalam politik. Oleh karena itu, mendukung narasi yang lebih inklusif dan positif terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan politik dapat membantu mengubah persepsi masyarakat terhadap perempuan di politik.

Dalam ranah politik, kedudukan perempuan seringkali dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan yang patriarki, di mana konstruksi sosial gender menempatkan mereka dalam posisi yang seringkali lebih rendah. Pemikiran Jacques Derrida, seorang filsuf postmodern, dapat dihubungkan dengan melihat bagaimana struktur kekuasaan dan bahasa memainkan peran dalam mengeksploitasi dan membatasi perempuan.
Jika laki-laki lebih dominan dalam proses perumusan kebijakan, ini dapat menggambarkan ketidakprofesionalan yang lebih dalam dalam hal pengaruh politik. Menjadi perhatian khusus bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan, karena implementasi yang adil dan inklusif juga menjadi faktor penting dalam mencapai kesetaraan gender. Setelah muncul banyak sekali tuntutan agar perempuan memiliki kuota tersendiri dalam keterlibatannya di dunia politik, Indonesia kemudian menjamin keterwakilan perempuan dalam sejumlah undang-undang.


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 dijelaskan mengenai keterwakilan perempuan di dalam pemilihan umum yang menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada urusan politik tingkat pusat dan pendaftaran calon legislatif. Terdapat beberapa negara yang saat ini keterwakilan perempuan dalam parlemen diatas 30%. Posisi pertama ditempati oleh Rwanda dengan total 61,3% keterwakilan perempuan, lalu diikuti oleh Kuba (53,2%) pada posisi kedua dan Bolivia (53,1%) di posisi ketiga. Untuk saat ini Indonesia berada pada posisi ke-104 dengan keterwakilan perempuan hanya 20,3% (IPU, 2020).


Ada perbedaan yang signifikan antara jumlah perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan di parlemen. Ini menunjukkan bahwa perempuan masih belum sepenuhnya diwakili dalam arena politik, meskipun ada peningkatan dalam partisipasi perempuan dalam politik. Contoh yang dapat kita ambil adalah peran Najwa Shihab atau akrab disebut "Mba Nana" menjadi panutan bahwa perempuan juga berhak setara dengan kebebasan berpendapat dan berpolitik, contoh lain seperti Menteri Era Pak Jokowi yaitu 1. Puan Maharani (Menko PMK); 2. Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan); 3. Siti Nurbaya (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan); 4. Nila F. Moeloek (Menteri Kesehatan); 5. Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan); 6. Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri); 7. Rini Soemarno (Menteri BUMN); 8. Yohana Yembise (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak); dan 9. Khofifah Indar Parawansa (Eks Menteri Sosial). Selain itu dapat kita lihat peran-peran pemuda khususnya mahasiswi dalam kegiatan aktivis politik revolusioner. Jika kita perhatikan pada penyelenggaran pemilu tahun ini pun banyak muda-mudi atau generasi milenial mendominasi pencalonan sebagai calon legislatif atau bahkan capres yaitu Gibran Rakabuming. Dilansir dari katadata.com 18 partai politik peserta pemilu nasional itu persentase [keterwakilan perempuan] adalah 37,13%. Ketentuan ini pun sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Pemilu bahwa komposisi penyelenggaraan pemilu harus melibatkan keterwakilan perempuan minimal 30%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun