Indonesia adalah negara hukum, Â yang artinya Indonesia harus menegakkan kebenaran dan keadilan serta tidak ada kekuasaan yang tidak dapat di pertanggungjawabkan. Menjadi Negara Hukum tentu sangat baik untuk didukung dan dijunjung tinggi guna menghargai hak asasi dan martabat manusia.
Sebagai warga negara hukum harus menyadari bahwa negara yang berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan sehingga harus dilakukan berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Seperti kasus pada kekerasan wartawan di Surabaya, perlu adanya keadilan yang harus ditegakkan dalam kasus tersebut untuk menemukan keadilan.
Bagaimana sistem peradilan?
Peradilan biasa disebut sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum, namun sering kali ditrobos atas pihak berperkara, kepentingan pribadi oknum yang bersangkutan serta masyarakat umum.Â
Sebagai terdakwa dan masyarakat berhak mengajukan hak dalam persidangan. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, sebagaimana hukum dan pasalnya yang berlaku itu harus dilaksanakan tidak boleh menyimpang.
Mengapa harus dipersulit dalam persidangan?
Persidangan dilakukan untuk mengambil keputusan dalam membahas sebuah masalah yang berbentuk musyawarah. Namun persidangan tidak hanya diputuskan begitu saja, terdapat beberapa alur yang harus dilewati.Â
Diantaranya, Persidangan dibuka oleh Hakim Ketua, Pemeriksaan identitas terdakwa, Pembacaan dakwaan, Eksepsi, Pembuktian, Pembacaan surat tuntutan dan yang terakhir adalah keputusan hakim.Â
Persidangan terbuka untuk umum biasanya adalah hak terdakwa yang diadili di persidang dengan terbuka di depan umum, sedangkan Persidangan tertutup untuk umum yang lebih dikenal persidangan ini tidak boleh di publik.
Pada kasus Nurhadi seorang Jurnalis Tempo yang hendak wawancara malah dianiaya saat melakukan penugasannya. Mantan Direktur pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji pernah dinyatakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka penyuapan pajak, hal itu membuat Nurhadi mendapatkan tugas untuk mewawancarinya.
Namun penugasan itu tidak berjalan dengan lancer, saat Nurhadi hendak masuk untuk mengambil gambar Angin Prayitno untuk memastikan posisi karena ingin melakukan wawancara. Tiba-tiba dua pria berpakaian batik yang di sebut sebagai petugas dalam resepsi telah menahan dan mengintrogasi Nurhadi, padahal Nurhadi telah berkata jujur bahwa ia adalah wartawan Tempo yang tengah bertugas namun dua pria itu tetap memiting leher dan merampas hp Nurhadi.
Penganiayaan itu tidak hanya berhenti disitu saja, Nurhadi sempat dibawa ke Polres Tanjung Perak dengan membawa Mobil, namun setengah perjalanan dua Pria tersebut di hubungi untuk Kembali ke tempat resepsi.
Dalam penganiayaan tersebut, Nurhadi melaporkan kepada Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Daerah Jawa Timur dengan didampingi oleh tim Hukum dari Lembaga LBH Lentera serta Komisi untuk orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan Surabaya.Â
Laporan diterima oleh polisi dengan nomor TBL-B/176/III/RES.1.6./2021/UM/SPKT Polda Jatim. Pada laporan tersebut terlapor kasus ini adalah oknum Polisi Bernama Purwanto dkk, ia di laporkan melanggar Pasal 170 KUHP dan atau Pasal 351 KUHP dan atau Pasal 335 KUHP dan atau Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Beryl Cholif Arrachman, salah satu kuasa Hukum LBH Lentera mengatakan bahwa kasus ini harus di usut tuntas agar tidak menjadi preseden buruk dan tidak membuat Polisi arogan.Â
Pada tanggal 12 Januari 2022 telah dilakukan persidangan kembali setelah persidangan yang pertama dilakukan sejak 2021 lalu, dalam persidangan ini pengadilan Surabaya membawa dua terdakwa yang merupakan anggota kepolisian.
Namun pada persidangan kasus penganiayaan Jurnalis Nurhadi ini, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudi mengatakan terdapat beberapa kejanggalan, kejanggalan pertama, yaitu pada kode atau proses etik terdakwa yang seharusnya etik para terdakwa bisa berjalan tidak harus menunggu keputusan yang inkrah.
Pada kejanggalan yang kedua, yaitu melibatkan banyak pelaku yang dimana jaksa kurang mengupayakan untuk menelusuri dalam pembuktian,saksi para pelaku lain dan melebarkan perkara dalam prosses persidangan.
Kejanggalan yang terakhir yaitu ketiga, para hadirin sulit untuk mendengar suara pertimbanga Hakim karena mikrofon Majelis Hakim yang kecil dan kurang memadahi.
Dalam hal ini, membuat beberapa masyarakat memutuskan stigma nya masing-masing dalam melihat keadilan di Indonesia. Apakah dalam kasus seperti itu tidak bisa di usut dengan tuntas? Dan harus kasus seperti apa yang diberikan keadilan dengan seadil-adilnya.
Karena masih banyak kasus kasus di Indonesia ini yang dikesampingkan dalam persidangan, terutama pada stigma "Tajam Kebawah dan Tumpul Ke Atas". Dalam fenomena ketidakadilan hukum di Indonesia ini terus terjadi dalam praktik Hukum.Â
Padahal dalam sebuah proses Hukum harus dilihat secara matematis. Seperti perbuatannya apa, bagaiaman prosesnya, bagaimana proses pembuktiannya, serta bagaimana keputusannya. Dalam hal itu jika diterapkan, maka proses hukum akan berjalan dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H