Mohon tunggu...
Intan Nurcahya
Intan Nurcahya Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertunjukan

28 Agustus 2017   11:35 Diperbarui: 28 Agustus 2017   11:48 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rumah di tengah perkebunan itu berdiri megah,  dari mulai pintu gerbang masuk terdapat halaman yang sangat luas dihiasi dengan tanaman-tanaman rindang. Terdapat sebuah bangunan kecil tampak seperti pendopo yang terbuat dari kayu  di pojok sebelah kanan. Jika kita masuk ke dalam rumah akan terlihat

semua perbabotan yang  terbuat dari kayu jati, mulai dari kursi, meja, pintu dan jendela.

Malam mulai merambat, sekeliling rumah dipagari lampu" obor yang membuat terang sampai ke kejauhan. Di depan rumah itu kini berdiri panggung berukuran kira" 30 meter persegi,  dihiasi kain beludru dan tanaman-tanaman hidup , untaian janur" kuning membuat suasana lebih meriah. Penonton yang sebagian besarnya adalah pegawai perkebunan telah memenuhi pelataran sejak sore. Para pedagang menambah kemeriahan malam yang sepertinya tak akan berujung itu.

Di sudut panggung telah tertata alat musik yg akan ditabuh,  gendang indung,  gendang anak, kulanter, terompet dan gong. Sementara di depan panggung berderet kursi peruntukkan para pembesar perkebunan dan beberapa undangan penting di antaranya dari kantor desa dan kecamatan. Tampak beberapa di antaranya telah hadir dan sedang asyik ngobrol, asap rokok mengepul di sela-sela gelak tawa mereka.

Rombongan yang dipimpin Engkus telah sampai ke tempat itu. Mereka menempati bangunan pendopo untuk bersiap-siap. Baju kebesaran telah mereka kenakan. Baju kampret warna hitam lengkap dengan ikat kepala dan sabuk. Tidak ada yang tahu asal-usul mereka mendapatkan seragam itu. Kandi mengenakan sabuk warna emas yang membuatnya lebih gagah daripada teman"nya. Dalam setiap pertunjukkan laki-laki muda itu adalah bintangnya, dia memperagakan jurus-jurus silat dan ilmu kanuragan dengan sangat sempurna. Satu jurus andalannya selalu menjadi penutup pertunjukan,  yaitu ketika ia dilempar pisau belati tepat di jantungnya. Ia mempercayakan pada Engkus sebagai pelempar pisaunya.

Malam makin larut, tarian ketuk tilu sebagai hiburan pembuka telah disajikan,   menghangatkan suasana. Para penarinya adalah undangan khusus dari kota kabupaten, sebanyak 6 orang perempuan cantik berkebaya merah berpadu kain sinjang rereng, ditambah seledang, aksesoris berupa gelang dan kalung membuat mereka makin bersinar dalam terangnya lampu. Liukan mereka tak urung membuat beberapa tamu undangan ikut ngibing di panggung.

"Kalian lihat kang Engkus?"

Kandi bertanya pada teman"nya setelah  sejak tadi ia tidak melihat Engkus.

"Tidak Kang" serempak yang ditanya menjawab.

Mereka baru menyadari sejak sampai ke tempat itu, Engkus seperti menghilang.

"Kang!" tiba-tiba seorang dari mereka menghampiri laki-laki muda itu. Kandi menatap heran sebab ia melihat kekhawatiran di mata laki" yang merupakan anak buahnya tersebut.

"Ada apa?"

Anak buahnya membisikkan sesuatu di telinga Kandi.

"Ada keperluan apa dia memanggil Engkus..." gumamnya dalam hati. Kecurigaannya menyeruak, orang yang memanggil Engkus adalah musuhnya, anak Tuan kawasa yang telah ia kalahkan.

...

Semua orang tahu Kandi dan anak Tuan kawasa pernah berduel hebat. Adalah Asnah, perempuan desa yang menjadi biang perseteruan mereka. Jansen adalah anak laki" Tuan kawasa yang mewarisi darah Belanda dari kakeknya. Dia mencintai Asnah, gadis desa yang memikat hatinya. Terjadi cinta segitiga antara ia, asnah, dan kandi. Asnah, gadis lugu dan sederhana tak sanggup jika ia harus menerima cinta Jansen. Taqdir ibarat langit dan bumi membuatnya lebih memilih Kandi, laki" bersahaja yang sepadan dengannya.

Tak terima dengan kekalahan, Jansen menantang Kandi menyelesaikan secara jantan. Duel satu lawan satu menjadi pilihan keduanya. Di arena pertunjukkan seperti sekarang inilah mereka bertarung. Jansen kalah telak, dan menepati janjinya pergi dari desa itu.

...

"Kang!" Kandi berseru melihat kedatangan Engkus. "Apa yang terjadi?", lanjutnya setelah ia melihat Engkus begitu pucat, bahkan tanpa ia sadari sebenarnya badan Engkus bergetar hebat, tangannya memegang sesuatu dibalik baju silatnya. Kandi kembali menyelidik

"Apa yang dilakukan laki" itu???"

Engkus hanya menggeleng, ia menuangkan air ke dalam gelas tempurung kelapa yang sudah tersedia di situ, meminumnya dengan sekali teguk. Kerisauan tergambar jelas di wajahnya.

Waktunya tiba mereka tampil di panggung, pembawa acara sudah memperingatkan mereka untuk bersiap".

Seluruh anak buahnya telah mengambil posisi masing"

"Kang, tidak apa-apa yakin?", sekali lagi ia memastikan. Lagi" Engkus hanya mengangguk.

"Ini pisaunya" Kandi merogoh pinggangnya dan mencabut belati yang terselip, kemudian memberikannya pada Engkus.

Engkus menerima pisau itu dan menyelipkan di pinggangnya

"Mari kita keluar!" ajak Kandi, tak ia perhatikan wajah Engkus yang lebih pucat lagi. Mereka melangkah menuju panggung. Kandi tak menyadari seseorang di tempat duduk depan panggung mengawasi mereka dengan buas, tangannya mengepit sesuatu di balik bajunya. Engkus menoleh ke arahnya dan kemudian menunduk sambil mengambil posisi di panggung.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun