Lamun urang sok ka Cianjur,
Mo poho olèh-olèh nu mashur,
rèncang sangu nu matak uruy, èta tauco Cianjur.
.......
(M.Yasin)
Kalau kita ke cianjur
Tak akan lupa oleh-oleh yang termashur
Teman nasi yang bikin ngiler, itu tauco cianjur (pen)J
Sebait lirik lagu lawas dari tembang sunda Cianjuran menggambarkan betapa nikmatnya tauco. Siapa yang tak kenal tauco, makanan tradisional ikon kota Cianjur ini tersedia hampir di setiap tempat oleh-oleh Cianjur, selain dijual di Toko-toko juga dijajakan oleh para pedagang asongan.Tauco adalah bumbu makanan yang terbuat dari biji kedelai (Glycine max) yang telah direbus, dihaluskan dan diaduk dengan tepung terigu kemudian dibiarkan sampai tumbuh jamur (fermentasi). Fermentasi tauco dengan direndam dengan air garam, kemudian dijemur pada terik matahari selama beberapa minggu sampai keluar aroma yang khas tauco atau rendaman berubah menjadi warna coklat kemerahan.
Siapa nyana jika tauco bisa menjadi sebuah jejak dari keberagaman masyarakat Cianjur, kota yang heterogen dengan pemahaman toleransi yang matang terhadap sebuah akulturasi adat dan budaya sejak generasi leluhur cikal bakal masyarakat Cianjur.
Dilihat dari namanya tauco bisa dipastikan bukan berasal dari sebuah istilah sunda. Di Nusantara, referensi pertama mengenai tauco, seperti ditulis William Shurtleff and Akiko Aoyagi dalam History of Miso and Soybean Chiang, dapat dirunut dari tulisan seorang ilmuwan Belanda, Prinsen Geerligs, pada 1895-1896.
Geerligs menyebutnya tao tsioe dalam artikel Belanda pada 1895 dan tao tjiung dalam artikel Jermannya pada 1896. Dalam tulisannya, William Shurtleff and Akiko Aoyagi juga mengatakan kalau tauco masih berhubungan dengan jiang, bumbu masak asal Tiongkok. Diperkirakan berasal sebelum Dinasti Chou (722-481 SM), jiang diklaim sebagai bumbu tertua yang diketahui manusia. Adalah Tan Ken Yan yang mempelopori pembuatan tauco di Cianjur, dia adalah salah satu pedagang yang datang dari Tiongkok ke nusantara ini (www.dicianjur.com). Salah satu varian olahan tauco yang menjadi khas Cianjur lainnya adalah Geco (tauge-tauco), hingga kini masih dapat di temukan di beberapa sudut jalan di Cianjur.
Tidak hanya itu, Cianjur memiliki pabrik roti legendaris dengan nama berbau etnis Tionghoa yaitu Tan Keng Cu. Pabrik ini didirikan keluarga Tan Keng Cu sejak tahun 1926. Bertahun-tahun pabrik itu ikut berkontribusi terhadap perekonomian warga setempat. Pemilik pabrik menjalin kerja sama dengan warga lewat sistem bagi hasil penjualan.
...........
Sejarah masuknya etnis Tionghoa ke Cianjur
Etnis Tionghoa tidak bisa terlepas dari sejarah perkembangan masyarakat kota Cianjur. Keberadaan warga keturunan etnis Tionghoa merupakan salah satu ragam heterogenitas penduduk kota ini. Ditengarai kehadiran etnis Tionghoa di Cianjur dimulai sekitar awal abad ke-19 pasca pembantaian etnis itu di Batavia oleh Belanda. Masyarakat Tionghoa di Batavia melakukan pemberontakan karena berkembang isu mereka akan dipindahkan ke Srilanka.
Daripada dipindahkan mereka memilih angkat senjata, dan akhirnya pilihan itu menyebabkan menyusutnya jumlah mereka. Konon dari 14.000 etnis Tionghoa yang ada tinggal 4.000 yang tersisa. Sejak saat itu, lanjutnya, etnis Tionghoa mulai menyebar dan masuk ke daerah-daerah tetangga Batavia seperti Bogor dan Cianjur. Di Cianjur sendiri, etnis Tionghoa masuk pada tahun 1800-an dipimpin oleh Kapitan dari Bogor bernama Oey Seng Kiat.
Semakin lama, perantauan Tionghoa semakin banyak datang ke Cianjur. Dari itu pulalah di Cianjur didirikan Kampung Cina berdasarkan besluit tanggal 9 Juni 1810. Pada saat itu Kabupaten Cianjur dipimpin oleh Raden Noh atau Raden Wiranagara, yang lebih dikenal dengan gelar Raden Adipati Wira Tanu Datar VI. Pendirian Kampung Cina di Cianjur, waktunya bersamaan dengan pendirian kampung Cina di tempat lain yang ada di wilayah Priangan
Jejak kebudayaan Tionghoa di Cianjur
Selain makanan, jika kita mengeksplor kota Cianjur maka kita akan menemukan peninggalan warga Tionghoa berupa bangunan-bangunan dengan arsitektur khas yaitu puncak atap yang berbentuk pelana kuda dengan ornamentasi khas Cina. Bangunan dengan arsitektur semacam ini masih dapat dilihat di Jl. HOS Cokroaminoto, Jl. Siti jenab, Jl. Suroso, Jl. Barisan Banteng, Jl. Taifur Yusuf, Jl. Sinar dan arsitektur serupa ditemukan pula di sekitar pasar Warungkondang.Dari perjalanan panjang sejarah kota Cianjur, warga keturunan Tionghoa memiliki jasa yang cukup besar dalam bidang perekonomian. Selain menjadi cikal bakal wirausaha berupa tauco dan roti, di sepanjang Jl. Mangun Sarkoro (Jalan Raya Cianjur) banyak ruko (rumah toko) yang dimiliki oleh warga Cianjur keturunan Tionghoa. Di Jl. Moh.
Ali yang bersimpangan dengan Jl. Mangun Sarkoro terdapat titik perekonomian yang paling terkenal dan lekat dengan sejarah pendudukan warga Cina di Cianjur. Pada masa lalu, jalan ini disebut Jalan Shanghai, namun kini telah berganti nama. Tapi meskipun demikian sebutan Jalan Shanghai hingga kini masih tetap dikenal oleh warga Cianjur untuk lokasi ini.
Makam-makam Tionghoa yang terdapat di kompleks ini kebanyakan berukuran besar dengan arsitektur megah khas Cina. Di Pemakaman Tionghoa ini ketahui ada batu nisan yang bertuliskan “Masa Pemerintahan Kaisar Guang Xu Dinasti Qing” dalam tulisan bahasa Mandarin. Ini menyatakan dengan jelas kalau sejak tahun 1800 di Cianjur sudah ada beberapa etnis Tionghoa. Saat ini, areal kompleks pemakaman Cina kuno ini dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Cianjur, dan masih digunakan hingga sekarang.
Peribadatan warga Tionghoa di Cianjur dipusatkan di Vihara Bhumi Parsija. Vihara ini merupakan tempat ibadah penganut agama Budha, tetapi menurut kepercayaan orang Cina, Budha adalah budaya China, jadi meskipun bukan pemeluk agama Budha, banyak warga Tionghoa ikut merayakan hari-hari besar yang dilakukan di vihara itu, salah satunya adalah imlek.
Vihara Bhumi Pharsjia terletak di Jalan Mangunsarkoro No. 60 yang secara administratif terletak di kampung Bojong Meron, Kelurahan Bojong Meron, Kecamatan Cianjur Kota. Vihara terletak di tengah pemukiman pada bagian baratnya, serta pada bagian utara, timur, dan selatan merupakan lingkungan kegiatan bisnis berupa pertokoan. Letaknya yang di tengah Kota Cianjur sangat mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua dan roda empat.
Vihara ini dibangun pada tahun 1880 dan sampai sekarang telah mengalami beberapa kali pemugaran. Secara umum bangunan vihara yang dimiliki dan dikelola oleh Yayasan Vihara Bhumi Pharsjia terawat dengan baik dan fungsinya sebagai tempat ibadah masih dilangsungkan di sini.
Bangunan vihara dikelilingi oleh tembok dan menghadap ke timur dengan pintu gerbang berada di sisi timur. Vihara terbagi menjadi dua bagian, yaitu halaman dan bangunan vihara. Halaman terletak di bagian depan vihara berupa area segi empat. Bagian kedua adalah bangunan vihara yang berisi perlengkapan peribadatan. Pengaruh arsitektur bangunan Cina yang ditunjukkan oleh konstruksi bangunan, ragam hias, dan warna mendominasi vihara ini. Atap berbentuk pelana kuda, hiasan naga dan fauna lainnya, serta hiasan floralnya kental sekali sentuhan gaya Cina. Di samping itu, warna yang mendominasi adalah warna merah dan kuning yang menyala.
Sejarah dibangunnya rumah peribadatan ini bermula pada awal kedatangan orang-orang Tionghoa ke Cianjur sekitar permulaan abad 18, pada saat itu dicianjur belum ada satu pun tempat ibadah / kelenteng untuk peribadatan mereka. Semakin lama perantauan tionghoa datang ke cianjur semakin banyak, umumnya mereka bermata pencaharian sebagai pedagang dan petani.
Seiring dengan perkembangan jumlah mereka, maka banyak masyarakat tionghoa dicianjur , mengusulkan untuk mendatangkan patung dewa untuk memenuhi sarana peribadatan mereka. Berhubung belum memiliki kelenteng, rupang/patung Dewa yang mereka sebut kimsin Y.M kongco hok tek ceng sin dan Y.M kongco co su kong ditempatkan dirumah perwakilan mereka yaitu oey seng kiat.
Selanjutnya dibentuk organisasi berupa locu atau kepala peribadatan yang memimpin sembahyang di kediamannya selama setahun. Ada sebuah kesepakatan unik dimana ketika usai kirab cap go meh ( gotong toa pek kong) rupang/kimsin kongco beserta altarnya berpindah kerumah locu yang terpilih dan peribadatan dilaksanakan di rumah locu tersebut. Jika masa jabatan seorang locu telah habis maka patung dewa beserta altar nya akan berpindah kerumah locu baru yang terpilih
Menurut sejarah locu pertama yang terpilih adalah tan kie bie yang bertempat tinggal di daerah pasar suuk (sekitar pertigaan jl.hos cokroaminoto dan jl.barisan banteng). Selain itu rupang / kimsin beserta altar nya juga pernah juga ditempatkan di kediaman orang tua dari gouw su gwee (sekitar salakopi) dan dikediaman tjia hon lan (daerah sayang jl.moch yamin) serta pernah juga ke banyak tempat lainnya. Rupang / kimsin kongco beserta altar nya sudah berpindah ke 4 penjuru kota cianjur
Sampai pada akhirnya lie pow sun yang merupakan seorang pedagang tionghoa mendanakan sepetak tanah dengan luas 30m2 untuk membangun sebuah kelenteng, di sinilah M kongco hok tek ceng sin dan Y.M kongco co su kong sebagai pendamping ditempatkan. Setelah kelenteng resmi berdiri lalu ditambahkan kimsin lai beserta altar nya sebagai pelengkap yaitu : altar thian , thay sui , thay yang , thay yin , buddha , kwam im , lung sen , chay sen kwan kong , siandjian kun poh ,
dan thian sang seng bo. Kelenteng ini merupakan keleteng tertua dan satu- satunya dikabupaten/kota Cianjur dan sekitarnya, dan seiring berjalannya waktu kelenteng ini diperbesar pada tahun 1960, dan bertahan sampai saat ini. Karena letaknya di area pertokoan pada awalnya vihara ini hanya terlihat pintu masuknya saja, bagian depan vihara tertutupi oleh banyaknya lapak pedagang kaki lima. Tetapi seiring dengan penertiban yang dilakukan oleh pemda sekarang vihara ini tampak secara keseluruhannya.
Pada perayaan ini berbagai atraksi barongsai ditampilkan. Mereka seperti ingin menunjukkan bahwa keberadaan kesenian barongsoai tidak hanya milik warga keturunan saja. Sejumlah warga lainnya juga larut memainkan kesenian barongsai yang sangat identik dengan ular naga itu. Bahkan ada pula barongsai dimainkan oleh sejumlah anggota TNI.
Meskipun arak-arakannya dimulai dari sore hari, biasanya waktu puncak atraksi barongsai digelar setelah isya, sehingga tidak mengganggu jalannya ibadah agama lain, sebuah kesantunan dari pemilik ritual. Di area dekat vihara biasanya disediakan panggung untuk tokoh masyarakat atau pejabat pemerintahan, simbol penerimaan yang sangat indah untuk kaum minoritas.
Tingginya rentang toleransi dan penerimaan warga cianjur terhadap heterogenitas diakui oleh salah-satu keturunan Tionghoa yang mempelopori pendirian usaha pembuatan Tauco, Harun Tasma (dikutip dari historia.id). Dia menyatakan bahwa kondisi keamanan di Cianjur cukup stabil, tidak pernah ada demo-demoan, atau bakaran-bakaran akibat persoalan rasis. Dari dulu Cianjur merupakan tempat untuk usaha yang aman, bahkan krisis ekonomi 1998 tidak memberi pengaruh yang signifikan.
(Diambil dari beberapa sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H