"Ehhhhh, kowe melu ibuk wae yo. Nggawe kembang sing dinggo kranda ne" meraih tangan si Ndhuk
"E..e..e nggih Buk. Kula tak nggangge sepatu riyen"
"Halahhhh, ora usah rapi-rapi Ndhuk. Gek rene wae"
Suasananya terlihat ramai orang dari berbagai kalangan datang melayat. Pak Didit ini seorang anggota TNI AD yang hampir pensiun dini, memiliki riwayat penyakit jantung, Pak Didit meninggalkan seorang istri dan ketiga anaknya yang keberadaannya sekarang sudah dengan pekerjaannya masing-masing, hanya sibungsu laki-lakinya yang sekarang masih duduk dibangku perguruan tinggi disalah satu universitas terbaik di Indonesia menempuh jurusan psikologi. Si anak tengah seorang perempuan yang bekerja sebagai pramugari disalah satu maskapai penerbangan Indonesia. Si anak sulung yang sekarang menjadi dokter gigi di Los Angeles, Amerika Serikat. Kabarnya, si anak tengah nanti akan datang, disusul si bungsu, kemudian si sulung baru bisa sampai Indonesia besok lusa karena tiket penerbangan sedang sulit didapatkan. Si anak tengah kabarnya sekarang sedang melakukan penerbangan Surabaya-Bandung, take-off dari bandar udara Husein Sastranegara menuju bandar udara Adi Sutjipto.
"Koe wes tau ngerti anak e wedok hurung?" tanya ibu sibuk membuat kembang
"Dereng, Buk"
"Nahh, anak e wedok kui memang jarang muleh, wong yo namanya pramugari wes terbang rono rene. Wong yo koe gedhe neng kutho"
"Oalah"
"Hilihhh, aku ki sengit karo anak e wedok. Wong jarene ki kerjo adoh-adoh yo main karo cah lanang-lanang kui kok" Sahut ibu-ibu rumpi
"Lhooo mungkin main sama teman kerjanya buk" Timpa si Ndhuk
"Bapak e ki mati tekne mikirke kui"