Hingar bingar orang mondar-mandir di pasar kala itu, becek genangan air di mana-mana, semerbak bau amis, bau selokan, dan seorang gadis berambut tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang membawa banyak belanjaan sayur mayor untuk dimasak. Sesampainya ia di parkiran tiba-tiba dering suara telfon menggebu di dalam saku celananya. Secepatnya ia raih gawai itu, karena terlalu repot sampai-sampai kacamatanya yang berembun sedikit merosot menjauhi tulang hidungnya untuk kemudian ia benahi.
"Ndhuk, Pak Didit sedho"
"Innalillahi wainnailaihi raji'un, nggih buk mangke kulo layat. Niki nembe ten pasar pun ajeng mantuk"
"Yo. Engko rasah keburu yo Ndhuk. Sing penting ati-ati. Udane ora karuan ki Nduk"
 "Nggih, Buk"
Ibuk agaknya khawatir dengan kondisi anaknya yang sedang menempuh pendidikan S2 Jurusan Kajian Pariwisata di salah satu Universitas terkemuka di Indonesia katanya sih sampe dibela-belain jual sapi sama sawah "Demi gelar Sarjana!" kata ibuk.
***
Jas hitam, celana hitam, rambut yang diikat hitam, kacamata yang gagangnya hitam menghiasi tubuhnya yang hampir basah kuyup terguyur hujan. Di depan cermin ramai orang mondar-mandir dan terdengar suara speaker besar berlantunkan ayat suci Al-Qur'an, ia membenahi penampilannya. Menyisir perlahan rambutnya dan mengibat-ngibatkan jasnya yang terkena air hujan. Sepatunya selamat terbuntal plastik, karena ia berangkat pakai sandal.
"Ndhukk, kowe wes tekan to? YaAllah ibuk ki mondar-mandir gek nggolek kembang" Memeluk sejenak, melihat keadaan anaknya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Nggih, Buk. Niki kulo nembe mawon sampe, njenengan nek ajeng lanjut monggo"