Mohon tunggu...
intan kusuma cahyani putri
intan kusuma cahyani putri Mohon Tunggu... -

Bagian dari AVIKOM, Komunikasi UPN Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Minimnya Interaksi Anak Kost dengan Warga Sekitar

16 Januari 2012   09:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:49 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yogyakarta, kota berhati nyaman ini masih menjadi incaran para pelajar dari seluruh pelosok Indonesia. Oleh sebab itu perkembangan kehidupan anak kost kian lama kian berkembang dan dapat mudah kita jumpai di setiap sentra kampus-kampus di kota Yogyakarta. Tak jarang juga para warga setempat asli yogyakata yang bertempat tinggal dekat dengan kampus merubah kediamannya menjadi suatu kost-kostan. Bisnis kost-kostan ini memang sangat menjanjikan dan akan menjadi incaran para pelajar tiap tahunnya pada tahun ajaran baru.

Kampung-kampung dekat kampus kini memang sudah berkurang ditempati oleh keluarga asli kampung tersebut. Kebanyakan dari mereka pindah dan merubah rumahnya menjadi kost-kostan sehingga warganya berubah menjadi mayoritas anak kost. Keadaan itu mempengaruhi pola interaksi anak-anak kost tersebut. Para RT(Rukun Tetangga) tidak mewajibkan anak kost untuk mengikuti kegiatan kampung sehingga kebanyakan anak kost tidak memikirkan keadaan dan kegiatan kampung tersebut. Seperti yang dikatakan Vida mahasiswa asl Jakarta yang kost di daerah Pandega Marta(mayoritas anak UGM), “Saya berinteraksi hanya dengan teman-teman kost karena memang sekitar kost hanya ada kost-kostan dan perumahan elite”. Vida tidak mengetahui adanya kegiatan kampung seperti ronda atau sejenisnya, yang dia tahu memang sudah ada satpam yang menjaga. Kost yang dia tempati juga tidak ada pemiliknya yang tinggal disitu, tetapi pemilik membayar seorang untuk tinggal dan menjaga kost tersebut.

Kebanyakan mahasiswa yang hidup dalam kost jika ditanya mengenai interaksinya dengan warga setempat selalu menjawab bahwa mereka tidak berkomunikasi dengan warga sekitar karena memang kebanyakan dalam satu komplek perumahan tersebut hanya ditempati oleh anak-anak kost. Yang mereka ketahui hanya mematuhi peraturan dalam kost, dan tanggungan dengan warga setempat adalah pemilik kost. “Gimana mau berinteraksi, keluar gerbang kost cuma jalan sepi, tetangga samping kost juga cuma kost-kostan”, ungkap Puspa (19) mahasiswa UPN yang memilih kost didaerah Babarsari.

Hal tersebut sedikit berbeda dengan yang dialami Ajiz,(17) mahasiswa UPN asal Subang, Jawa Barat yang memilih kost di daerah Meguwoharjo. Daerah tersebut masih sedikit kost-kostan namun dia juga mengaku sangat jarang berinteraksi dengan warga setempat, namun sekali dia mengikuti acara 17 Agustusan di sekitar kostnya. “Setidaknya saya pernah meramaikan kegiatan kampung dan supaya serasa di kampung halaman”, ujar Ajiz.

Asrama Suharti memiliki cara tersendiri agar para anak kostnya tetap dapat berinteraksi, namun tetap hanya dalam lingkup asrama. Pengelola Asrama Suharti sering mengadakan perlombaan yang diikuti para penghuni kost dari Asrama Suharti 1 dengan lainnya. Seperti yang di ceritakan Novi (21) penghuni Asrama Suharti 2, dia mengaku tidak melakukan interaksi dengan warga setempat karena lokasi asrama tepat di pinggir jalan dan jauh dari kampung setempat.

Tak jarang para penghuni kost juga tidak tahu siapa ketua RT ataupun pengurus kampung tersebut. Terlebih juga banyak di antaranya yang tidak mengetahui siapa nama pemilik kost, yang mereka tahu hanya pada penjaga dimana mereka menyerahkan biaya kost. Sedikit interaksi mereka lakukan pada warga sekitar sesuai apa yang mereka butuhkan, seperti yang dilakukan Puspa, dia sering berinteraksi dengan pemilik jasa laundry depan kost sampai dia cukup mengenalnya dengan baik.

Kurangnya interaksi dengan warga sekitar memang menjadi fenomena dan telah menjadi hal biasa jika dilihat dari pendangan warga sekitar dan anak-anak kost sendiri. “Jika ada keluhan dari warga sekitar pasti saya yang ditegur dahulu”, ungkap Niko anak pemilik Kost di daerah Wahid Hasyim. Pemilik menjadi jembatan antara para penghuni kost dan warga setempat. Pemilik kost memang tidak menuntut ataupun melarang para penghuni kost untuk mengikuti kegiatan warga setempat karena menyadari bahwa tujuan para anak kost datang ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu. Kehidupan anak kost ditempat tersebut juga hanya bersifat sementara, sehingga sudah timbul saling pengertian dari kedua belah pihak. (INTS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun