Mohon tunggu...
Intan Maulida F
Intan Maulida F Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

menonton film, mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tak Ada Rasa Malu : Korban Pelecehan Seksual Berhak Bersuara

13 Mei 2024   21:03 Diperbarui: 13 Mei 2024   21:36 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelecehan seksual di lingkungan kampus merupakan salah satu isu serius yang perlu ditangani secara kolektif dan berkelanjutan. Pelecehan seksual sendiri adalah bentuk perilaku yang mengarah kepada seksualitas seseorang, biasanya pelecehan seksual akan menyerang pada bagian anggota tubuh yang sensitif. Kejahatan ini sangat merugikan bagi orang lain bahkan dapat menimbulkan trauma bagi korban. Tindakan pelecehan seksual yang kadang sering masih dianggap orang sebelah mata. Namun jika ditelaah lebih mendalam sebetulnya cat calling juga sudah merupakan tindakan pelecehan seksual berkategori pelecehan verbal yang sering menghantui para kaum hawa.

Di lingkungan kampus hal tersebut saat ini sudah menjadi rahasia umum. Kaum hawa seperti mahasiswi di kampus tentu saat ini sedang senang-senangnya untuk mempercantik diri. Terkadang hal seperti itulah yang menimbulkan oknum-oknum berpikiran mesum dan berniat untuk melakukan suatu hal yang aneh-aneh. Sedangkan di lingkungan kampus merupakan salah satu ruang publik yang bersifat umum tent semakin membuka pintu selebar mungkin untuk timbulnya pelecehan seksual. Mulai dari sesame mahasiswa, dosen, hingga karyawan kampus. Hingga saat ini kejahatan pelecehan seksual masih menjadi salah satu tindakan kejahatan yang masih menyelimuti di lingkungan kampus. Berdasarkan catatan dari Kemendikbud per Juli tahun 2023 telah terjadi sebanyak 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Bahkan ironisnya pelaku pelecehan seksual tidak hanya dilakukan oleh antarmahasiswa saja akan tetapi juga didominasi oleh dosen kepada mahasiswanya sendiri.

Seperti kasus dugaan pelecehan seksual di IAIN Kediri pada akhir Agustus 2021, pelakunya adalah seorang dosen yang juga menjabat sebagai ketua program studi tempat korban berkuliah. Dari kesaksian korban mengungkapkan awal mula dari kasus ini ketika korban diminta untuk datang ke rumah pelaku dengan motif sebagai bimbingan skripsi. Awalnya korban tidak merasa curiga dan berfikir bahwa dirumah tersebut juga terdapat keluarga dari pelaku, namun kenyataannya rumah tersebut sepi dan hanya ada mereka berdua yakni korban dan pelaku. Dan disitulah korban dijebak oleh pelaku serta melakukan tindakan pelecehan terhadap korban. Kasus ini telah dilaporkan oleh dosen pembimbing kedua atas tindakan kejahatan pelecehan seksual ke Pusat Gender dan Anak (PGSA) IAIN Kediri.

Dari kasus diatas dapat diungkapkan bahwa tindakan pelecehan dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, umur, pendidikan, latar belakang maupun status sosial seseorang. Alasan pelaku melakukan pelecahan seksual dikarenakan pengaruh dari lingkungan disekitarnya, memiliki keinginan untuk dapat mendominasi orang lain memenuhi keinginannya, sebagai bentuk pelampiasan dengan mengeksploitasi orang lain secara seksual.

Sayangnya, kasus pelecehan seksual secara umum masih dianggap hanya sebatas tindakan asusila, bukan dipandang sebagai tindakan kejahatan yang melanggar hak dan kemanusiaan korban. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual diantaranya yakni faktor natural atau biologis, faktor sosial budaya. Sedangkan di lingkungan kampus adanya faktor relasi kuasa yang sangat banyak dijumpai dimana korban seksual merasa terpaksa tidak berani mengatakan “tidak” atau menolak bahkan diam ketika mengalami pelecehan seksual hanya karena pelaku adalah seorang yang memiliki kekuasaan di kampus, entah sebagai seorang dosen, staff karyawan maupun pemimpin organisasi tertentu dikampus.

Korban pelecehan seksual di kampus merasa bahwa dirinya tertekan dan takut hanya karena statusnya sebagai mahasiswa yang tentu saja masih akan berhubungan dengan pelaku dan pastinya adanya ancaman serta diskriminasi dalam penilaian akademik bahkan hingga tidak diluluskannya jika korban berani melaporkan tindakan pelaku. Selain itu, memiliki rasa ketakutan jika mendapat respon negatif dari teman-temannya dan masyarakat sekitar jika mendapat pelabelan yang buruk seperti bahwa korban yang telah menggodanya terlebih dahulu.

Walaupun upaya dalam menangani kasus pelecehan ini sudah banyak dilakukan baik dari lembaga sosial, pemerintah, hingga lembaga penegak hukum. Akan tetapi yang menjadi hambatan penyelesaian kasus ini adalah kesaksian korban untuk mengungkapkan pelecehan seksual yang telah dialaminya karena bagi sebagian orang masih memandang bahwa kasus ini dianggap sebagai aib. Sehingga menimbulkan ketakutan dari korban sendiri untuk mencoba speak up mengenai apa yang telah dirasakannya dan akhirnya kebanyakan korban tetap memilih untuk diam untuk menjaga nama baiknya.

Maka dari itu, pentingnya tindakan speak up sangat diperlukan untuk mendobrak budaya kebungkaman dan memberikan suara kepada para korban agar mereka memiliki keberanian untuk melapor dan menceritakan pengalamannya, speak up mendorong proses kelancaran pidana hukum bagi pelaku, speak up dapat meningkatkan kesadaran tentang isu pelecehan seksual di lingkungan kampus, mendorong upaya pencegahan dini, serta penanganan yang lebih baik.

Selain itu dari pihak kampus harus mampu menyediakan layanan pelaporan pelecehan seksual, melatih para mahasiswa, para pendidik, warga kampus terkait upaya pencegahan dan penanganan pelecehan seksual di lingkungan kampus. Setiap kampus juga dapat diminta untuk memasang tanda informasi yang berisi pencantuman layanan aduan pelecehan seksual, serta peringatan bahwa kampus tidak akan mentoleransi tindakah pelecehan seksual.

Kita semua dapat berperan dengan cara mendukung tindakan speak up dan membantu para korban pelecehan seksual di kampus. Cara yang dapat dilakukan ialah menciptakan lingkungan yang aman dan suportif, menyakinkan korban bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi permasalahannya, memberikan edukasi tentang pelecehan seksual dan bagaimana cara untuk dapat menanganinya, serta mendukung upaya pencegahan pelecehan seksual di kampus.

Dengan mendukung tindakan speak up merupakan langkah awal untuk membantu para korban mendapatkan keadilan dan perlindungan yang pantas mereka dapatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun