Mohon tunggu...
Intan KarismaningPertiwi
Intan KarismaningPertiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbedaan Instrumen Keuangan Syariah dan Konvensional serta Contoh Isu Kontemporernya

20 Maret 2024   20:47 Diperbarui: 20 Maret 2024   20:47 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum merupakan hal yang sangat menarik dan fundamental untuk dibahas di berbagai lini kehidupan, banyak hal yang membuat hukum menjadi menarik untuk dibahas terutama pada hukum islam. Pada era ini kita banyak mengenal konsep-konsep Syariah yang mulai bermunculan, hal itu membuat kita melihat suatu permasalahan atau sebuah kejadian dari sudut pandang islam, yang berdasarkan pada Al- Qur'an dan Hadist. Konsep Syariah ini menimbulkan perdebatan antar kalangan dengan berbagai sudut pandang yang dipaparkan, terutama dalam hal keuangan. Kali ini kita akan membahas mengenai hukum instrumen keuangan yang derivatif dari sudut padang Syariah.

Instrumen keuangan merupakan suatu asset yang dapat diperjualbelikan atau kontrak yang dapat menambah nilai aset finansial. Instrumen keuangan dapat dikelompokkan menjadi instrumen berbasis bank dan instrumen berbasis pasar modal. Sedangkan instrumen derivatif ini merupakan instrumen keuangan dalam bidang investasi yang terdiri atas beberapa produk keuangan yang telah diawasi oleh BEI (Bursa Efek Indonesia) atau juga dapat diartikan sebagai kontrak yang nilai atau peluang keuntungannya terkait dengan asset lain, dikatakan sebagai underlying assets yaitu asset yang mendasari investasi.

Jadi instrumen derivatif ini erat sekali hubungannya dengan investasi, karena dia dapat menjadi pelindung nilai terhadap fluktuasi harga atau perubahan kondisi pasar. Para pelaku pasar dapat menggunakannya untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul akibat perubahan nilai aset dasar seperti saham, mata uang, komoditas, atau suku bunga.

Jika kita berbicara tentang Syariah, terdapat prinsip-prinsip dasar yang harus kita ketahui yaitu

  • Adanya Larangan Bunga atau tidak boleh adanya Riba
  • Harus merupakan transaksi yang adil
  • Zakat
  • Pencegahan monopoli

Namun pertanyaan besar yang sering muncul adalah apakah konsep instrumen derivatif ini melanggar syariat islam atau tidak, sebagai contoh dari instrumen derivatif adalah jual beli saham, obligasi, tingkat suku bunga, indeks saham, indeks obligasi dan lain sebagainya yang masuk dalam kategori instrument derivative.

Sebelum membahas tentang apakah instrumen derivatif ini melanggar syariat atau tidak kita perlu mengetahui faktor apa saja yang membedakan antara instrument keuangan berbasis konvensional dan Syariah.

  • Diantara keduanya terdapat perbedaan pada sifat asset yang ynag mendukung instrumen tersebut, pada instrumen konvensional asset yang digunakan hanyalah asset kertas, dimana asset tersebut didasarkan pada nilai intrinsiknya saja. Sedangkan pada instrumen Syariah tidak menganggap uang sebagai komoditas sehingga asset kertas disini tidak memiliki nilai intrinsik.
  • Pada instrumen konvensional menganggap hubungan investor dan penerbit instrumen seperti hubungan penjual dan pembeli atau peminjam dengan pemberi pinjaman, sedangkan pada instrumen syariah menganggap hubungan investor dengan penerbit instrumen sebagai sebuah hubungan ynag saling menguntungkan seperti kerjasama atau kemitraan.
  • Pada aspek pengambilan resiko instrumen konvensional cenderung tidak membagikan resiko yang dia dapatkan, sedangkan pada instrumen syariah membagi rata resiko yang ada.
  • Pada instrumen syariah diatur dengan hukum ilahi seperti Al- Qur'an, hadist, ijma', dan Qiyas, sedangkan pada instrumen konvensional hanya berdasarkan pada hukum yang berlaku pada suatu negara atau yang sudah ditetapkan secara internasional.

Derivatif syariah adalah produk keuangan yang sama dengan produk konvensional namun berlandaskan syariah, berdasarkan syariah semua instrumen dan transaksi harus terhindar dari riba (bunga), gharar (resiko yang tidak perlu atau ketidakpastian), risywah (korupsi), maysir (perjudian), dan jahl (ketidaktauan).

Sebagai contoh trading, banyak perdebatan antara konvensional dengan Syariah mengenai trading yang sedang marak terjadi, ada yag mengatakan boleh dan ada juga yang mengatakan tidak boleh atau haram, dalam trading ada berbagai jenis trading, namun beda sistematika cara kerjanya, disini yang membuat trading itu dikatakan boleh atau haram dilihat dari cara kerja atau sistematikanya. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 40 Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berdasarkan fatwa tersebut, hukum dari transaksi jual-beli saham adalah boleh. 

Dengan catatan, saham yang diperjualbelikan merupakan saham perusahaan dagang atau manufaktur yang ketentuannya benar ada tidak mengandung gharar (ketidakpastian) dan tidak mengandung maysir (perjuadian) didalamnya. Trading saham tidak menunjukkan adanya spekulasi.  Sedangkan disisi lain ada Trading forex, bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa MUI No. 28/DSN-MUI/IX/2000 tentang Hukum Pertukaran Valuta Asing. 

Dalam fatwa tersebut, MUI menyatakan bahwa trading forex adalah haram karena mengandung unsur perjudian dan spekulasi. Trading forex yg dibolehkan adalah dengan sistem Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan forex untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari (karena dianggap sebagai proses penyelesaian yg tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. Sedangkan trading forex dengan sistem Forward, Swap dan Option hukumnya Haram. Untuk lebih detail, merujuk Fatwa DSN-MUI No.28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang.

Jadi dari contoh dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa instrumen derivatif pada instrumen keuangan dapat dikatakan halah atau haram dilihat dari sisi syariah ataupun konvensional, tergantung dari sistematika dan cara kerjanya, bagaimana intrumen derivatif tersebut bekerja, jika dalam proses cara kerja intrumen tersebut mengandung unsur riba (bunga), gharar (resiko yang tidak perlu atau ketidakpastian), risywah (korupsi), maysir (perjudian), dan jahl (ketidaktauan), maka jelas dapat dikatakan haram, akan tetapi jika instumen tersebut walaupun diterbitkan oleh konvensional dan tidak mengandung unsur-unsur tersebut maka dikatakan boleh atau halal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun