Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Intani
Dwi Wahyu Intani Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer - content writer

"The pen is the tongue of the mind" -- Miguel de Cervantes

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Memaknai Ramadan sebagai Momentum Memupuk Rasa Syukur

1 April 2023   13:31 Diperbarui: 1 April 2023   13:50 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pexels.com/Thirdman https://www.pexels.com/id-id/foto/makanan-perempuan-duduk-perayaan-8489272/

Siapalah aku,,, seorang hamba yang hanya pandai sambat dan mengeluh. Dibuatin minuman kemanisan, udah gondok. Disiapkan makanan yang gak sesuai selera udah enggan makan. Dihidangkan makanan dingin, udah gak mau makan.

---

Perihal makan, daridulu saya orangnya cukup picky, pemilih. Jika ada makanan yang tidak cocok, lebih memilih untuk tidak makan daripada harus menelannya dengan rasa ngedumel. Waktu kecil, bahkan setiap mau makan lauk pauk harus hangat. Jadi, selalu merepotkan orang rumah untuk memasak setiap mau makan. Ya, meskipun hanya tempe goreng.

Tak cukup disitu, kadang juga menuntut untuk selalu ada item pendamping. Misal, mau makan tempe goreng harus ada kecap manis. Kalau gak ada? Lagi-lagi malas makan.

Waktu Ramadan di rumah, selalu request menu ini-itu. Apalagi takjilnya, harus ada es dan blablabla.

Waktu berlalu, hingga akhirnya saya dimasukkan pesantren oleh orangtua. Disini, saya banyak belajar, terutama tentang ilmu legowo. Makan makanan yang rasanya 'gak ngalor gak ngidul' akhirnya dijabani juga. Yang dulunya tidak suka lauk A, terpaksa harus melahapnya dengan full senyum.

Apalagi ketika memasuki bulan-bulan Ramadan. Makan satu wadah untuk banyak orang. Kadang kebagian lauk kadang juga tidak. Belum lagi kondisi nasi saat sahur yang sudah dingin seperti dikirim dari kutub utara. 

Jangankan berharap untuk mendapatkan hidangan hangat, kebagian lauk saja sudah alhamdulillah. 

Berlanjut ketika saya mulai tinggal di kos. Tak selamanya bisa membeli makanan enak karena harus berhemat. Apalagi harus memenuhi ekspektasi kalau makan A harus ada B. Hmm, buyar!

Saat memasuki dunia kerja, saya harus tinggal di kos yang lokasinya cukup jauh dari keramaian. Mau beli apa-apa susah, apalagi makanan jadi. Adanya hanya bakul-bakul sayur yang akhirnya mau tidak mau saya harus belajar memasak. 

Pengalaman masak pertama rasanya alhamdulillah aja bisa buat bertahan hidup. Tak semenyedihkan itu sebenarnya, tapi jika dibandingkan masakan ibu di rumah, tentu jauh berbeza. 

Pernah suatu ketika, saya harus berpuasa untuk berhemat saat masih tinggal di kos. Makan hanya satu kali untuk berbuka puasa. Sahurnya hanya minum air putih.

Niat awalnya memang niat ingsun berpuasa untuk hemat, namun lama-kelamaan akhirnya saya terbiasa puasa di luar-luar bulan Ramadan. Awalnya puasa senin-kamis, kemudian lanjut puasa daud. 

Ternyata kebiasaan ini, membawa saya jauh banyak menyadari nikmat yang telah Allah kasih. "Oh begini ya rasa lapar", "oh begini ya rasa tidak ada makanan", "oh begini ya, nikmatnya makan ditengah keterbatasan", dan banyak lagi. Saya ingat, berbuka dengan sepaket makanan cepat saji saja makannya sambil nangis.

Dari sini mulai mengerti, betapa banyak dulu nikmat yang disia-siakan. Akhirnya, mulai belajar membiasakan diri dengan ketidaksesuaian hidup, belajar menerima apa-apa yang sebelumnya tidak bisa diterima, belajar legowo untuk segala apa yang terjadi, dan belajar membangun rasa syukur atas nikmat yang sudah dipunya.

Memang, membangun rasa syukur tak semudah yang diucapkan. Kadang, malah hanya terasa "anget-anget tai ayam".

Astaghfirullah, manusia memang bukan tempatnya puas. Ada saja celah untuk dikritisi dan disambati. Padahal jika dirasa, nikmat sudah begitu luas hingga tak terbatas.

---

Setiap datang bulan Ramadan, saya selalu berdoa "Ya Allah sampaikanlah aku pada ramadan-ramadan selanjutnya". Berharap untuk terus bisa mengambil hikmah di setiap detiknya. Ya, meskipun masih belum bisa memaknai secara utuh bulan penuh Rahmat ini. 

Bagi saya, menjalankan puasa adalah momen-momen paling ideal untuk membangun dan memupuk rasa syukur. Seperti kata asalnya, "Shaum" yang berarti menahan diri. Tak hanya menahan diri dari rasa haus dan lapar, tetapi juga dari hawa nafsu sifat-sifat yang berlebihan dan melebih-lebihkan. 

Semoga di Ramadan kali ini, bisa memupuk lagi rasa syukur, rasa legowo, yang sudah dibentuk sebelum-sebelumnya. Tidak melebih-lebihkan diri, pun dalam mengistimewakannya.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun