Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Intani
Dwi Wahyu Intani Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer - content writer

"The pen is the tongue of the mind" -- Miguel de Cervantes

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Optimisme Kurikulum Merdeka Melahirkan Generasi Emas yang Berakhlakul Karimah

29 Maret 2023   21:53 Diperbarui: 29 Maret 2023   22:28 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


September 2015, adalah saat-saat paling membahagiakan selama perjalanan pendidikan saya. "Akhirnya lulus kuliah juga!!!", jerit batin yang terdengar sangat nyaring.


Bagaimana saya tidak bahagia, jika setelah Iulus saya tak perlu lagi begadang untuk mengerjakan laporan-laporan praktikum, menyiapkan tugas-tugas kuliah dan presentasi, bahkan menamatkan hafalan materi-materi pelajaran dari awal hingga akhir pertemuan kelas semalaman suntuk menjelang ujian. Maklum, belajar dengan sistem kebut semalam tak ubahnya menjadi kebiasaan yang tak bisa dihindari.


Perayaan kelulusan ini seolah memberi rasa lega yang tak terbendung. Di waktu bersamaan, saya juga baru menyadari adanya perasaan lelah yang teramat sangat. Bukan, saya tidak lelah untuk menuntut atau mencari ilmu. Hanya saja, merasa kurang pas dengan sistem pendidikan  kala itu.


Kalau boleh diringkas, pengalaman belajar yang saya peroleh di sekolah tak jauh dari menghafal dan menyalin. Pendekatan untuk kreativitas, berpikir kritis, pola pikir mandiri, bahkan terkait pembentukan karakter rasanya sangat minim.


Setiap hari datang masuk kelas, duduk menerima materi, kemudian pulang dengan entah apa yang telah dipelajari (beberapa anak mungkin sudah paham dengan pelajaran hari ini, beberapa lain mungkin seperti saya, hehe). Saat ada tugas, sibuk kesana kemari mencari 'bala bantuan'. "Yang penting selesai, yang penting ngumpulin", secara tak sengaja menjadi prinsip hidup yang kental di masa-masa sekolah.


Bagaimana saat ujian? Saya sibuk merapal semua materi-materi dari awal hingga akhir, mirip mbah dukun baca mantra. Tentu saja, ini bukanlah cara belajar yang efektif, namun cukup membantu mengisi kekosongan materi di kepala saya.


Jika menengok lebih jauh ke masa-masa SD, SMP, SMA, cara belajar ini juga tak jauh berbeda. Apalagi menjelang ujian nasional, kebut 3 malam untuk 3 tahun.


Hmm, lagi-lagi saya merasa pembelajaran yang saya terima terlalu teoritis dan cukup jauh dari kebutuhan dunia nyata, apalagi di era yang semakin modern ini. Sistem belajar-mengajar tak ubahnya cara klasik yang disampaikan secara searah, silabus menjadi patokan utama pembelajaran tanpa menengok kebutuhan siswa secara utuh, hingga tuntutan-tuntutan belajar yang hanya mengacu pada angka bukan kompetensi secara nyata.


Masa-masa setelah lulus kuliah


Masa-masa bahagia itu saya nikmati dengan membuat dan mengirimkan banyak sekali surat Iamaran kerja ke berbagai instansi. Berharap segera mendapatkan pekerjaan yang bagus sesuai harapan setelah lulus dari kampus yang bergengsi.


Namun nyatanya, tak semudah itu. Melamar kerja bagi freshgraduate ternyata sangat menantang.  Pengalaman adalah salah satu batu sandungan yang kerap kali menjadi alasan. Sementara saat itu, magang (beberapa bulan) adalah satu-satunya pengalaman kerja yang paling bisa diandalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun