Mohon tunggu...
Intania Yasmin
Intania Yasmin Mohon Tunggu... -

My Life is Responsibility

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesan Tuhan untuk Si Bungsu

11 Desember 2014   17:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:31 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jabaliya Refugee, 27 Oktober 2008

Surya enggan menampakkan binarnya hingga tampak gelap tetap membekap di sela-sela mega. Tak ada satu pun detik yang tega berdentang membangunkan surau-surau yang telah kehilangan algojonya. Seruan Tuhan hanya bisa didengar lewat kicauan burung pingai yang datang tak kenal jatah. Karena tak lagi beda antara hidup atau mati, sampai utusan Tuhan yang membawakan tembang kehancuran melaksanakan tugasnya pun, tak akan ada lagi tanda-tanda kehidupan baru yang layak dan pantas. Kegelapan yang abadi, suatu kepercayaan baru di mana kebenaran akan salah suatu saat nanti.

Gagak-gagak terbang berhamburan di langit, tak beraturan, dan berputar-putar sesekali membuat formasi berbentuk pusaran yang meruncing, tapi sesaat formasinya hilang lagi begitu pun seterusnya. Bak budak-budak yang tunduk menuhankan mulut majikannya, mereka buas, garang, dan haram baginya welas asih hingga mereka berjingkrak-jingkrak, menggelinjang seperti ada yang mencambuki punggungnya. Tak seperti gagak sewajarnya yang individualis, terbang seorang diri. Mereka bergerumul menjadi satu tampak seperti gumpalan hitam yang hendak menghujani manusia di bawahnya. Sungguh pemandangan tak biasa. Mereka mengerang timbulkan satu aba-aba yang terdengar berulang-ulang, amarah mereka terdengar hingga seantero kota, bak kirimkan pesan kematian dari Tuhan, lambaikan salam kehancuran.

Matahari condong keperaduannya. Merah bulat yang tampak pucat, menerangi sela-sela tenda yang di dalamnya terhimpun ratusan insan yang nyaris mati diburu selongsong senapan, yang hampir mati dirundung ketakutan. Semua ada di sana, segala jenis air mata dan duka lara dengan beragam cerita dan bukan sandiwara. Erangan kecil mereka seperti lagu yang bisa diputar kapan saja dan di mana saja, hingga bosan telinga mendengarnya.

Bocah kecil itu meratapi kemalangannya dengan pandangan kosong. Matanya sayu berkantung, bengkak, dan memerah bersarang debu. Jalannya membungkuk lesu, sesekali tubuhnya tumbang dan kakinya gemetar tak mau lagi berpijak. Memang, ia berjalan sendirian di pinggir-pinggir jalan yang sudah bersatu dengan puing-puing bangunan bersama asap yang mengepul di rumah-rumah warga. Ia tersungkur dan terjerembab mencium aspal. Kakinya tersandung mayat-mayat bergelimpangan di pinggiran jalan raya seperti polisi tidur yang menyapa setiap dua meter. Ia menoleh ke belakang, seorang mayat tampak memelas dengan darah-darah yang menutupi warna kulitnya.

Di sana, setiap mayat belasan gagak yang hinggap di tubuhnya. Kerumunannya menutupi lekuk tubuh sang mayat. Ia membentuk gerumulan hitam yang bergerak-gerak, menggeliat penuh kenikmatan menyantap kudapan sore.

Miris mengiris-iris dadanya, sesak terasa menekan paru-parunya. Ada nyeri yang benar-benar menyetrum ulu hatinya. Kakinya sama-sama membeku, pertanda aliran darahnya tak selancar biasanya. Semilir angin sore membangunkan bulu-bulu lengannya yang kemudian mengalirkan ketakutan bersama otot-otot yang mulai mengejang.

Ia bergeming menyaksikan pemandangan itu...

Ia menitikan air matanya..

Ia tenggelam dalam memori gelapnya..

Jabaliya, 19 Desember 2008

“Ayah... Lihatlah aku bawa apa untuk ayah.” Teriakannya memecah keheningan di tengah-tengah keluarga yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

“Duduklah di sini. Tunjukkan pada ayah apa yang kamu bawa.” Dengan sumringah ayahnya menepuk-nepuk pahanya meminta bocah kecil itu untuk duduk di pangkuannya.

Ia masih ingin bercanda dengan ayahnya. Tampak lucu saat ia menyembunyikan selembar kertas yang ia bawa di balik punggungnya agar sang ayah semakin penasaran. Kebersamaan mereka membuat semua anak enggan untuk sehari berpisah dengan ayahnya.

“Ayah.. Ayah harus menebak apa isi dari kertas ini. Kalau ayah salah, ayah harus memberitahu aku apa pekerjaan ayah. Tapi kalau ayah benar, aku janji tidak akan menanyakan pekerjaan ayah lagi. Ayo tebak, ayah. Kali ini tampaknya ayah akan salah.”

Ayahnya tersenyum kecil melihat tingkah kekanakan puterinya yang lugu dan polos. Ia tatap wajah puterinya yang sumringah dan tergambar sedikit keraguan dalam paras cantiknya. Di benaknya, ada rasa tak tega jika ia bisa menjawab pertanyaan gadis kecilnya yang berarti sang puteri harus menabur kecewa di atas kebahaagian yang ia bawa.

“Baiklah.. ayah akan coba tebak. Hmmm... kamu lolos seleksi lomba tilawah ya?”

“Kenapa ayah bisa tahu? Ayah... bukan karena aku lolos seleksi kompetisi tilawah.. bukan itu ayah.. aku hanya ingin memancing ayah agar ayah cerita soal pekerjaan ayah. Maafkan aku yang sering bertanya soal pekerjaan ayah. Ayah... maafkan aku... aku tak bermasud...” gadis itu membenamkan wajahnya di bahu kekar sang ayah.

Ayahnya merasakan benar pilu yang menerkam batin gadis mungilnya. Ahmed Al-Barra, pria paruh baya yang begitu mencintai gadis bungsunya. Ia benar-benar tahu betapa hal sekecil itu membuat puterinya dirundung perasaan bersalah. Air mata sang puteri bak tetesan air sungai dari nirwana, tetap tak tega batinnya meski tak seberapa. Cintanya, tak cukup hanya sekedar cerita-cerita yang fiktif belaka.

Abeeda, gadis yang baru tumbuh dewasa tampak lemah dalam naungan sang ayah. Tak biasanya, ia menangis hingga terdengar begitu menyesakkan dadanya. Berbeda dari anak seusianya yang ringkih dan mudah rapuh, entah sukma apa yang selama ini bersemayam dalam dirinya hingga tak pernah sekalipun jadi lemah di depan semua orang, kecuali sang ayah. Di hadapan pria paruh baya itu, Abeeda tak pernah sekuat apa yang orang-orang ketahui. Bahkan ibu dan kedua kakaknya pun terkadang tak menyadari seberapa lemahnya Abeeda, hingga ia tak sadar bahwa ada selaksa dilema yang menghantui puterinya.

Gadis itu masih saja melekap di tubuh ayahnya. Menguraikan sisa air mata yang ingin segera ia keluarkan bersama penyesalan dalam dirinya. Sesekali, bibirnya lirih mengucap kata maaf kepada sang ayah. Ahmed pun hanya bisa menjawab dengan belaian-belaian kecil mengelus tubuh mungilnya. Lelah batinnya, lelah jua raganya. Perlahan ia merapatkan kedua matanya dan terlelap dipangkan sang ayah. Ahmed paham betapa Abeeda cukup tersiksa karena hasrat keingintahuannya. Abeeda akan tumbuh dewasa dan sudah cukup usia untuk tahu segala yang jadi ganjalan dalam dirinya. Tapi Ahmed tak pernah mampu. Ia selalu saja kalah dengan kecintaannya pada sang puteri.

Abeeda terjaga dari tidur panjangnya. Ia masih lesu dan berat hati untuk beranjak dari ranjangnya. Gadis itu, sepertinya telah terbuai dengan belaian sayang ayahnya.

***

“Bergegaslah sayang. Hari ini kamu ada latihan untuk kompetisi tilawah. Ayo berjuang. Seperti ayahmu yang tak pernah berhenti berjuang...” suara ibu terdengar terpotong. Ada ragu yang menahan ibu untuk melanjutkan kalimat. Ibu tampak bingung dan kemudian berpaling pergi meninggalkan kamar gadisnya.

“Maksud ibu?” Batinnya bergejolak melihat kejadian pagi itu.

Abeeda tak enak hati lalu bergegas menghampiri sang ibu. Pipi mulus ibunya kini basah bak terguyur hujan lebat, sekuat tenaga ia menahan bibir bawahnya untuk terbuka, tangannya mengepal menghujam dadanya yang mungkin sudah terasa sesak. Ibu, apa gerangan yang membuat batin ibu begitu tersiksa, batin Abeeda tak bisa diam. Tapi ternyata, ibu tahu Abeeda di belakang pintu kamar memperhatikan geliat sang ibu. Ibu segera membenarkan diri perlahan-lahan.

“Mengapa kamu berdiri di situ? Ayo segera mandi.”

Abeeda dibuat kaget oleh ucapan sang ibu. Ia mematung memperhatikan sikap ibunya yang aneh pagi itu. Ia, gadis kecil yang punya selaksa tanya.

“Hari ini kamu harus sekolah dan latihan dengan giat. Bukankah kamu selalu ingin punya piala seperti Kak Ameer dan Kak Kashmeer? Abeeda juga ingin melihat ayah dan ibu tersenyum saat Abee membawa piala di panggung, kan? Ayo, nak. Buat ayah dan ibu bangga. Buat ini hadiah pamungkas yang indah. Berjuanglah, sayang. Semoga engkau selamat.” Ibunya mengelus lembut tubuhnya. Ia mencumbui Abeeda, memeluk, dan membelai Abeeda dengan sayang.

Abeeda beranjak pergi ke sekolah. Ia menyisir rute menuju sekolah setengah puing kebanggaannya. Masih seperti kemarin, asap mengepul di mana-mana, orang-orang berlarian terengah-engah tak jelas, itu semua sudah biasa. Ustadzah melambaikan tangannya pada Abeeda. Lambaiannya semakin cepat, mimik wajahnya seperti menyiratkan sesuatu agar Abeeda segera mendekat. Benar memang Abeeda cerdas, ia berlari bersama dengan puluhan anak yang sedari tadi berangkat bersama mendekat ketakutan pada ustadzah.

“Ada agresi Israel yang akan menyerang daerah barat Jabaliya. Kalian harus masuk sekarang. Cepattt!!”

Semua siswa saling bertubrukan satu sama lain. Semuanya terburu-buru, tak saling menghiraukan. Kali ini suasana tak seperti biasa. Menurut kabar, Israel akan melancarkan serangan ke perbatasan Gaza dan Jabalia. Entah apa lagi motifnya, semua orang di Jabalia menganggapnya serius. Tak luput juga pihak sekolah yang mengamankan seluruh siswa untuk bergegas berlindung di dalam kelas. Nun jauh di sana, mulai terdengar sayup-sayup granat yang sudah mulai kehilangan kuncinya. Mengagetkan telinga-telinga yang rindu kedamaian. Jeritan mengiringi hentakan kaki mereka. Anak seusia mereka, tak selayaknya merasakan ketidaknyamanan itu.

Namun, berbeda justru dirasakan oleh Abeeda. Terbesit dalam benaknya keadaan keluarga di rumah. Ia teringat bahwa rumahnya ada di daerah sekitar perbatasan Jabalia dan Gaza. Dekat sekali, bahkan dua distrik di daerahnya sudah termasuk wilayah Gaza. Ia berbalik. Melawan pergerakan teman-temannya yang menyerbu ruang kelas untuk berlindung. Hentakan kakinya semakin cepat menyentuh bibir gerbang sekolah.

“Mau kemana kamu Abee?” Ustadzah menarik lengan Abeeda dan melotot tajam.

“Abee mau pulang, Bu. Ibu dan kakak di rumah, Abee harus pulang, Bu!” Ia berusaha melepas tangan dari cengkeraman ustadzah.

“Di sana bahaya, nak. Banyak tentara Israel di sana...”

“Tapi Abee mau pulang, Bu! Tolong jangan cegah Abee! Abee justru takut di sini. Lepaskan!” Ia mantap meninggalkan ustadzah. Saat itu juga, ustadzah kebingungan tak karuan. Ia mencoba memanggil ustadz dan ustadzah lain tapi tak ada yang mendengar.

Abeeda berlari sekuat yang ia bisa. Keringatnya mengucur pertanda lelah sudah mengejangkan ototnya. Sesekali ia berjalan terseret-seret, mungkin kakinya sudah lecet. Banyak asap yang mengepul menutupi pandangannya. Matanya pedih, sepedih batinnya yang khawatir dengan keadaan keluarganya di rumah.

Setibanya di jalan terakhir menuju kawasan rumah, keringat dingin mengalir di sela-sela bulu kaki Abeeda. Ia terjatuh, lemas. Jalan Radwan gelap seketika tertutup kabut asap yang keluar bersama api yang menjulur keluar dari fentilasi setiap rumah. Debu-debu menyembul berhamburan memenuhi ruang jalan yang cukup luas itu. Semua itu terjadi serentak bersama suara ledakan granat dan letupan-letupan senapan. Banyak orang di tempat itu. Tapi mulut mereka terkunci, tak satupun yang bersuara. Mereka dibuat takjub oleh pemandangan “biadab” itu.

Di sela-sela debu dan kepulan asap yang menyelubungi jalan itu. Ada sesuatu yang bergerak, yang menyibak kepekatan asap itu. Rentetan tank-tank bersenjata lengkap, diiringi dengan kendaraan perang yang mengangkut belasan tentara yang siap mengakhiri nyawa setiap orang yang coba melawan.

Abeeda melanjutkan perjalanannya dan mengambil langkah seribu untuk segera meraih rumahnya. kekhawatiran benar-benar memberatkan tubuhnya, tak seperti sebelumnya di mana ia begitu kuat berlari beberapa kilo, kini ia tampak tersengal dan cukup lelah untuk meraih rumahnya yang tinggal tersisa beberapa meter saja.

Gadis itu terhenti. Ia diam dan benar-benar diam. Matanya cukup tajam menyorot pemandangan tepat di hadapannya. Ada seseorang yang tengah ditawan di sana. Tampak seorang pria, tapi tak jelas siapa. Dahinya mengernyit, memastikan sosok pria yang ditarik paksa oleh tentara Israel itu.

“Ayah!!!!” Ia berteriak dengan seluruh kekuatan dalam tubuhnya.

Abeeda berlari mendekati ayahnya namun sayang, sepasang senapan kini menempel di leher dan punggungnya.

“Pergi Abeeda! Pergilah sejauh yang kamu bisa. Jangan hiraukan ayah. Jangan hiraukan juga ibu dan kedua kakakmu, mereka sudah istirahat dengan tenang.”

“Apa maksud ayah?? Hei tentara bodoh! Lepaskan ayahku, atau kubunuh kau!”

Perkataan Abeeda membuat tentara Israel itu naik darah. Senapan itu makin rapat menancap di tubuhnya.

“Apa ini anakmu, Ahmed? Lihat, anakmu sudah keterlaluan pada kami. Kalau tahu begitu, sudah kusandera anakmu dan kuancam kau!”

“Jangan! Jangan lakukan itu. Biarkan anakku pergi. Aku mohon. Lepaskan dia”

Abeeda semakin bingung. Ia tak tahu apa yang harus dia lakukan.

“Abee akan pergi sesuai permintaan ayah. Tapi ayah harus jawab pertanyaan Abee. Kenapa ayah ditawan? Dan kenapa ayah juga membawa senapan? Ayah… aku akan pergi setelah ayah menjelaskan semuanya”

“Ohh.. jadi anakmu belum tahu pekerjaan bodohmu itu, Ahmed? Kuberitahu nak, ayah kecintaanmu itu seorang hamas. Dengan bodohnya ia korbankan nyawanya demi tanah kelahirannya. Dasar aneh!! Haha…” semua tentara tertawa serentak dan tersenyum menyindir.

“Hamas?? Ayah, kenapa ayah tak pernah bercerita sebelumnya? Kenapa, yah? Apa Abee bodoh sampai ayah tak mau cerita apapun tentang pekerjaan ayah. Jadi ini… ayah… Abee tak marah. Abee akan pergi sejauh yang ayah mau. Abee pergi ayah. Assalamu’alaikum, ayah.” Abee cukup lantang menyuarakan isi hatinya. Ia berbalik. Ia mencoba melemaskan perlawanan pada tentara Israel. Abee mundur. Kini ia benar-benar pergi, meninggalkan ayahnya dicengkraman lawan.

“Abee maafkan ayah! Ayah tak bermaksud apa-apa, Nak. Benar, pergilah! Sekali lagi maafkan ayah, sayang… doakan ayah, ibu, dan kakakmu” Ahmed benar-benar runtuh. Ia harus melepas gadis kecilnya seorang diri. Kekuatannya lumpuh saat itu, ia lemah seketika.

Abee tak berbalik menyaksikan ayanya. Ia tak sanggup lagi. Air matanya pecah. Ia menangis semampu yang ia bisa. Ia terus berjalan, tak menengok sama sekali. Mungkin nalurinya tak pernah mampu menyaksikan tayangan pilu itu.

“Doooorrrrr!! Dooorrrr!!

Allahu Akbar… Allah…..”

Suara itu menyentak batinnya, memasung kakinya. Ia membalikkan tubuhnya dan kemudian… ia terjatuh saat itu juga.

“Ayaaaaahhhhhhh!!!! Ayaaahhh…!!! Innalillahi wa innailaihi rojiun. Laknatullah kau pasukan biadab Israel. Wallahi! Dengar! Namaku abeeda bin Ahmed bersumpah akan jadi malikat kematian bagi kalian, wahai musuh Allah. Aku akan datang seperti ababil yang tak gentar melawah pasukan Abrahah! Tunggu aku! Kau akan mati di tanganku! Dengar sumpahku, tentara biadab! Tubuhnya mendidih mengalirkan amarah yang meletup disetiap aliran darahnya. Tangannya mengacung symbol ucapan yang tak sekedar gertakan. Amarahnya benar-benar meledak lewat mulut pedasnya.

***

“Aku Abeeda. Buah cinta dari Ahmed Al-Barra dan Humaira. Mengalir dalam darahku sebuah kesetiaan akan tanah kelahiranku. Terpatri dalam sukmaku sebuah keyakinan akan kuasa Tuhan yang nyata. Merekah dalam kepalan tanganku sebuah kesakitan yang tak terbalaskan. Biarpun gemuruh berpadu dengan noda-noda nyata yang hina, Tak gentar aku melawan serangan gagak-gagak bodoh itu. Yang kutahu, gagak adalah makhluk Tuhan yang diberkahi kecerdasan abadi. Tapi gagak-gagak itu bodoh sekali. Bodoh! Dengarlah, haram bagiku mundur bahkan takut menghadapi mereka. Seperti ayahku yang tak sudi dengan kata menyerah pada lawan, ingat sekali lagi namaku. Abeeda bin Ahmed. Akan datang membawa pesan kematian bagi mereka. Akan datang kirimkan salam kehancuran. Akan menjelma menjadi ababil kecil yang akan menumpas kebiadaban. Tunggulah! Ya! Tunggu saja. Nikmati dulu kemenanganmu, wahai gagak bodoh, sebelum kau cium kegagalanmu... nanti..."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun