Mohon tunggu...
Intania nh
Intania nh Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

خير الناس أنفعهم للناس

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan dan Mobilitas Sosial

30 November 2022   20:00 Diperbarui: 30 November 2022   20:03 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apa itu Pendidikan?

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keagamaan, pengendalian kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 

(Menurut Anggriawan, Syafril, Oktarina, dan Afrian, 2012) Pendidikan dapat pula diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Pelaksanaan pendidikan di Indonesia telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003, pasal 13 ayat (1), yang menjelaskan bahwa jalur pendidikan dilaksanakan melalui tiga jalur, yakni pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal.

Apa itu Mobilitas Sosial?

Menurut Zamhari (2012), mobilitas sosial ialah gerakan individu dari suatu proses sosial ke posisi sosial yang lain dalam struktur sosial. Mobilitas sosial bisa juga diartikan sebagai proses perpindahan dari kedudukan satu ke kedudukan lainnya yang lebih tinggi atau sebaliknya (Elfahmi, Wahyudi, Yuniati, dan Sari, 2018). Kurniawati dan Lestari (2018) dan Kamilatunnisa (2018), menyatakan bahwa mobilitas sosial merupakan perpindahan seseorang atau kelompok dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang lain.

Proses perpindahan individu-individu tersebut terjadi dari posisi rendah ke posisi yang lebih tinggi, ataupun sebaliknya. Maka dapat disimpulkan bahwa mobilitas sosial adalah perpindahan seorang atau sekelompok orang dari kedudukannya yang satu ke kedudukan lain.

Konsep Mobilitas Sosial

Terdapat dua macam mobilitas sosial, yaitu mobilitas sosial horizontal dan mobilitas sosial vertikal.

  • Mobilitas horizontal. 

Menurut Soekanto (1990) mobilitas sosial horizontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu system atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial.

Kurniawati dan Lestari (2018) membedakan mobilitas sosial horizontal menjadi dua yaitu mobilitas antar generasi, berarti perubahan status yang dicapai seseorang yang berbeda dari status orang tuanya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. 

Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada per pindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya. Dan mobilitas intragenerasi yang berarti perpindahan status yang dialami seseorang semasa hidupnya. Mobilitas intragenerasi terjadi dalam satu generasi yang sama. 

  • Mobilitas vertikal. 

Mobilitas vertikal artinya perpindahan orang berasal golongan sosial yang lain yang lebih tinggi atau lebih rendah/ turun-naik pada warga yang tidak selaras menggunakan sebelumnya (Seknun, 2015). Hal ini senada menggunakan pendapat Musyarifah (2018), yang menyatakan bahwa gerak vertikal merupakan jalur yang menggerakkan kedudukan yang rendah ke kedudukan yang lebih tinggi.

Orang naik atau turun statusnya dalam berbagai sistem status dalam rakyat itu, yang didasarkan atas golongan sosial, kekayaan jabatan, kekuasaan serta sebagainya.

Teori Mobilitas Sosial

  • Teori Martin Lipset dan Hans Zetterber

Teori Lipset dan Zetterberg tentang mobilitas sosial difokuskan pada penyebab dan dimensi mobilitas sosial. Penyebab pertama adalah supply dari posisi status yang tidak terisi, dan kedua adalah terjadinya pergantian peringkat. Dalam pemikiran yang sederhana kita dapat membayangkan bahwa dalam setiap pergerakan mobilitas ke atas pada suatu masyarakat, pasti akan ada pergerakan ke bawah (Kamilatunnisa, 2018).

  • Teori Ralph Turner Telaah Turner

Teori ini mengaitkan sistem pendidikan di Amerika dan Inggris dengan mobilitas vertikal di kedua negara tersebut. Asumsi yang melatarbelakangi pemikiran Turner adalah bahwa sistem kelas yang terbuka, yang ditandai dengan dibukanya sekolah-sekolah umum, membuka peluang bagi lahirnya mobilitas sosial vertikal.

  • Teori Pitirim Sorokin Sorokin

Terkait dengan kesempatan/peluang mobilitas, Sorokin berpendapat bahwa dalam suatu masyarakat tidak semua orang mempunyai kesempatan yang benarbenar sama dengan orang lain untuk dapat berpindah dari satu posisi ke posisi lainnya (Pattinasarany, 2012).

Teori ini mendefenisikan mobilitas sosial secara luas sebagai perpindahan orang dalam ruang sosial. Dalam mempelajari mobilitas sosial, perhatian kita tidak hanya tertuju pada perpindahan posisi sosial individu-individu, tetapi juga pada konsekuensi dari perpindahan tersebut bagi kelompok-kelompok sosial dan struktur sosial secara keseluruhan dimana individu-individu tersebut berpindah.

Sekolah dan Mobilitas Sosial

Pendidikan sebagai saluran mobilitas sosial, pendidikan dipercaya menjadi salah satu faktor yang akan mempercepat terjadinya mobilitas sosial. Fungsi pendidikan sebagai sebuah proses penyeleksian untuk menempatkan orang pada masyarakat sesuai dengan kemampuan dan keahlian. Pendidikan menjadi sinkron dengan tujuan mobilitas sosial karena di dalam mobilitas sosial yang terpenting adalah kemampuan dan keahlian seseorang. 

Era sekarang ini, kemajuan suatu masyarakat, intensitas mobilisasi sosial yang tinggi apabila di dalamnya mutu dan pemerataan pendidikan yang tinggi. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sasaran utamanya membantu peserta didik mengembangkan potensinya dan menjaga dan meng internalisasi nilai-nilai budaya yang positif. 

Dengan demikian, pendidikan dikembangkan sesuai dengan semangat kebudayaan masyarakat setempat (Amin, 2016). Pendidikan secara merata memberi kesamaan dasar pendidikan dan mengurangi perbedaan antara golongan tinggi dan rendah (Musyarifah, 2018).

Konsekuensi dan Dampak Mobilitas Sosial Pendidikan

Adapun konsekuensi atau dampak mobilitas sosial bagi masyarakat, terdapat dampak yang bersifat positif maupun negatif. Dampak yang bersifat positif yaitu dapat mendorong seseorang untuk lebih maju, mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik, serta meningkatkan integrasi sosial. Selain itu, adanya mobilitas sosial juga dapat memberikan motivasi bagi masyarakat untuk maju dan berprestasi agar dapat memperoleh status yang lebih tinggi (Elfahmi et al., 2018). Sedangkan dampak negatifnya yaitu timbulnya konflik, berkurangnya solidaritas kelompok dan timbulnya gangguan psikologis (Kurniawati & Lestari, 2018).

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Elfahmi et al., (2018) dimana mobilitas sosial dalam masyarakat menimbulkan banyak ragam konflik yang mungkin terjadi, seperti terjadinya  konflik antar kelas, antar generasi, antar kelompok dan lain sebagainya. Hal ini akan berakibat pada menurunnya solidaritas baik kelompok atau antar kelompok. Lebih lanjut menurut Seknun (2015), dampak negatif mobilitas sosial  bagi individu seperti timbulnya rasa ketegangan, keangkuhan  dengan memamerkan kekayaan, keguncangan kehidupan keluarga dengan bertambahnya perceraian atau keretakan keluarga.

Sedangkan bagi seseorang yang bermental kuat dan sehat akan dapat menghindari dampak tersebut walaupun ia menanjak dengan cepat dalam kedudukan dan kekayaannya. Secara rinci Horton dan Hunt (1987) mencatat beberapa konsekuensi negatif adanya mobilitas sosial, seperti kecemasan akan terjadinya penurunan status bila terjadi mobilitas menurun, ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkatkan keretakan hubungan antara anggota kelompok primer yang semula karena seseorang berpindah ke status yang lebih tinggi atau ke status yang lebih rendah.

Seseorang karyawan perusahaan yang dipromosikan menduduki jabatan tertentu, misalnya, besar kemungkinan akan menimbulkan rasa iri di antara sesama rekan lamanya dan bukan tidak mungkin akan menjadi bahan pergunjingan, meskipun kenaikan kariernya itu sebenarnya sesuai dengan aturan yang berlaku, mobilitas sosial dapat merenggangkan ikatan sosial yang sudah lama terjalin sehingga memungkinkan pula terjadinya keterasingan di antara warga masyarakat. 

Di lingkungan kelas sosialnya yang baru, seseorang yang baru saja naik status belum tentu diterima dengan tangan terbuka. Seseorang yang kaya mendadak karena mendapat lotre atau warisan hibah, mungkin saja tetap dianggap bukan sebagai bagian dari kelompok elite, karena belum atau tidak memiliki gaya hidup yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun