Pandangan masyarakat yang melihat dari satu sisi mengenai lunturnya nilai keadilan dalam putusan hakim dan ketidakpahaman masyarakat itu memicu terjadinya PMKH, misalnya dengan penghinaan dan menggiring opini melalui media sosial, melakukan perbuatan tidak etis terhadap hakim di persidangan, hingga merusak sarana dan prasarana di pengadilan. Masyarakat tentunya harus memandang dari perspektif yuridis, bahwa hakim dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan pertimbangan hukum.
Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis, kebenaran filosofis, dan sosiologis yang berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang berlaku serta bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan. Kemudian, hakim juga mempertimbangkan berbagai aspek untuk memberikan putusan seadil-adilnya. Hal ini sesuai dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1), bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
PMKH harus ditindak tegas melalui langkah hukum dan/atau langkah lain. Langkah hukum adalah melaporkan orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim kepada penegak hukum dan memantau proses hukum sesuai prosedur hukum yang berlaku. Sedangkan langkah lain adalah tindakan yang dilakukan Komisi Yudisial berupa koordinasi, mediasi, konsiliasi, dan/atau somasi untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Dalam mengatasi PMKH, maka diperlukan kerja sama dari seluruh lapisan mulai dari kerja sama antar penegak hukum, pemerintah, maupun masyarakat. Komisi Yudisial (KY) memiliki peranan penting untuk melindungi dan melakukan advokasi hakim. Regulasi yang ada menjadi upaya preventif untuk mencegah pelanggaran hukum dan pihak-pihak yang berwenang berperan untuk menindaklanjuti para pelaku PMKH. Pemerintah juga harus memberikan dukungan dengan membuat aturan hukum terkait contempt of court untuk menjamin keselamatan hakim selama bertugas di pengadilan ataupun di luar pengadilan.
Menurut saya, kontribusi mahasiswa sangat diperlukan terutama mahasiswa hukum yang sudah lebih dulu mendalami mengenai PMKH. Sebagai mahasiswa, memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan edukasi mengenai etika di pengadilan untuk mencegah terjadinya PMKH di dalam ataupun luar persidangan. Harapannya adalah bisa mewujudkan peradilan bebas dari PMKH serta membangun kesadaran hukum di masyarakat, sebagai wujud bahwa Indonesia merupakan negara yang menjunjung nilai etika, moral, dan juga hukum. Kekecewaan karena hasil putusan tidak dapat dijadikan alasan melakukan kekacauan di persidangan. Selain itu, tindakan PMKH sekecil apapun tidak dapat dibenarkan dan harus segera diadvokasi.
Referensi
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Problematika Hakim dalam Ranah Hukum, Pengadilan, dan Masyarakat di Indonesia: Studi Sosio-Legal, Jakarta Pusat : Pusat Analisa dan Layanan Informasi, 2017.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 23.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_48.pdf
Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim https://jdihn.go.id/files/493/Peraturan_KY_No__8_Tahun_2013_tentang_Advokasi_Hakim.pdf
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/15196/jaga-independensi-hakim-ky-lakukan-advokasi-hakim Diakses pada 10 Juli 2023 Pukul 23.10 WITA.