Kontroversi lain juga muncul karena adanya persepsi bahwa komentar tentang hijab sering kali mencerminkan tekanan budaya atau norma sosial lokal daripada motivasi religius sejati. Dengan kata lain, sebagian individunya lebih sering bertindak untuk menegakkan norma masyarakat daripada berlandaskan pada asas-asas spiritual agama, seperti kelembutan, hikmah, dan kasih sayang.
Mengaitkan Pemikiran Seyyed Hossein Nasr dengan Fenomena Ini
Dalam konteks ini, pemikiran Seyyed Hossein Nasr dapat memberikan perspektif yang menarik dan penting. Nasr selalu menekankan bahwa aspek lahiriah agama, seperti hukum dan ritus, harus selalu disandingkan dengan dimensi batiniah agama, yaitu spiritualitas, kebijaksanaan, dan kebajikan universal. Ini berarti bahwa dalam melaksanakan ajaran agama, umat Islam tidak cukup hanya berpegang pada aspek lahiriah seperti mengingatkan orang lain tentang hijab, tetapi juga harus melakukannya dengan cara yang mencerminkan nilai kasih sayang, empati, dan penghormatan.
Nasr berulang kali menyerukan pentingnya "keseimbangan" dalam menjalani ajaran agama. Bagi Nasr, kritik terhadap individu tentang hijab seharusnya tidak hanya mempertimbangkan apakah hijab tersebut sesuai "standar syar'i" atau tidak, tetapi juga apakah bentuk kritikan tersebut dilakukan dengan benar secara moral dan spiritual. Menurutnya, kritik yang bernuansa menghakimi di depan umum justru menjauhkan seseorang dari inti ajaran Islam yang mendorong ikatan batin antara manusia dan Tuhannya.
Selain itu, Nasr juga mengkritik modernitas yang terlalu menekankan pada aspek lahiriah dan material. Dalam kasus hijab, hal ini tercermin melalui tren keberhasilan spiritual yang diukur hanya melalui penampilan luar, seperti apakah seseorang memakai hijab yang dianggap sesuai atau tidak. Nasr menekankan bahwa agama sejati tidak seharusnya menekan individu dengan standar-standar sosial yang kurang spiritual, tetapi justru memberdayakan mereka untuk menjalani hubungan otentik dengan Tuhan.
Kesimpulan
Fenomena kritik terhadap hijab di Indonesia mencerminkan kompleksitas hubungan antara agama, budaya, dan perilaku sosial. Sementara sebagian besar komentar didasarkan pada niat baik untuk menjalankan ajaran agama, cara kritik tersebut sering kali kurang mempertimbangkan aspek empati, privasi, dan spiritualitas. Akibatnya, tindakan ini berpotensi menciptakan jarak antara individu dan esensi ajaran agama.
Melalui pemikiran Seyyed Hossein Nasr, kita diajak untuk merefleksikan kembali bagaimana nilai-nilai agama seharusnya dipraktikkan. Alih-alih terjebak pada obsesi lahiriah, umat Muslim perlu menempatkan nilai spiritualitas, kebijaksanaan, dan kasih sayang sebagai inti dari segala perbuatan, termasuk ketika mengomentari hijab seseorang. Dengan pendekatan yang lebih berimbang dan pengertian yang lebih dalam, kita dapat menciptakan masyarakat yang tidak hanya taat secara ritual, tetapi juga harmonis dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H