Seyyed Hossein Nasr adalah salah satu intelektual Muslim kontemporer paling penting yang memberikan kontribusi besar dalam memahami hubungan antara agama, spiritualitas, modernitas, dan kehidupan manusia sehari-hari. Lahir di Iran pada tahun 1933, Nasr adalah seorang filsuf tradisionalis yang menganggap agama sebagai titik tumpu kehidupan manusia, baik di level spiritual maupun sosial. Ia menekankan bahwa agama bukan hanya kumpulan aturan dan ibadah ritual, melainkan jalan menuju keselarasan antara jiwa manusia, masyarakat, dan alam semesta. Melalui karya-karyanya, Nasr menyerukan agar umat Islam kembali kepada nilai-nilai spiritualitas Islam yang universal, terutama dalam menghadapi tantangan modern yang sering kali melunturkan inti kedalaman ajaran agama.
Salah satu konsep sentral dari pemikiran Nasr adalah pentingnya keseimbangan antara aspek lahiriah (formalitas agama seperti aturan dan hukum) dengan aspek batiniah (nilai spiritual, kebijaksanaan, dan koneksi kepada Tuhan). Dalam pandangan ini, Nasr percaya bahwa Islam harus dipahami sebagai agama yang tidak hanya menekankan pada kepatuhan hukum agama, tetapi juga merangkul dimensi spiritual yang lebih dalam. Kritiknya terhadap cara pandang modern yang cenderung materialistis relevan untuk dijadikan refleksi dalam berbagai isu kontemporer, termasuk fenomena sosial terkait hijab yang akan dibahas dalam artikel ini.
Masalah Perilaku Sosial dalam Mengomentari Hijab di Indonesia
Hijab, di banyak masyarakat Muslim, termasuk Indonesia, bukan hanya bagian dari pilihan busana pribadi, melainkan sudah berkembang menjadi simbol identitas agama, budaya, dan bahkan sosial. Fenomena ini menjadikan hijab sebagai sesuatu yang tidak pernah luput dari perhatian publik, bahkan sering kali menjadi topik kritik atau komentar yang melibatkan banyak pihak. Di Indonesia, tempat agama memainkan peran penting dalam kehidupan sosial, ada kecenderungan masyarakat untuk mengomentari hijab seseorang, khususnya ketika hijab dianggap "tidak sesuai standar syariah" oleh pandangan mayoritas.
Mengomentari hijab berbeda dengan mengomentari aspek lain dari kehidupan manusia, seperti pekerjaan, gaya hidup, atau pilihan personal lainnya, karena hijab secara langsung dilihat sebagai representasi kepatuhan religius seseorang. Dengan demikian, ketika seseorang tidak memenuhi "standar tertentu" dalam mengenakan hijab---seperti penggunaan bahan yang modis, desain yang dianggap terlalu modern, atau tidak sempurna menutup aurat---maka muncul sebuah ruang bagi individu atau kelompok masyarakat untuk merasa berhak memberikan komentar dengan dalih kewajiban agama.
Sering kali, komentar ini dimotivasi oleh konsep amar ma'ruf nahi munkar (menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran). Namun, permasalahannya adalah bagaimana komentar tersebut disampaikan, terutama di ruang publik atau media sosial. Perilaku ini membuka banyak pertanyaan etis yang hingga kini menjadi kontroversi, seperti: Di mana batas antara menjalankan kewajiban agama dan pelanggaran terhadap privasi individu? Apakah semua komentar digerakkan oleh keinginan tulus untuk berdakwah, atau lebih kepada tekanan sosial untuk menegakkan norma-norma penampilan? Bagaimana perasaan individu yang menjadi sasaran komentar, terutama jika kritik itu dilakukan tanpa pertimbangan empati atau hikmah?
Perbedaan Mengomentari Hijab dengan Hal Lain
Komentar mengenai hijab sering kali lebih menciptakan kontroversi dibandingkan dengan komentar terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya. Ada beberapa alasan utama yang membedakan mengomentari hijab dari komentar lain:
- Kaitannya dengan Agama dan Identitas: Hijab adalah bagian dari syariat Islam yang sangat terlihat secara kasat mata. Berbeda dengan amalan keimanan lain, seperti salat, puasa, atau zakat, hijab sebagai tanda lahiriah lebih mudah menjadi objek penghakiman karena orang lain dapat langsung melihat apakah hijab tersebut "memenuhi standar" atau tidak.
- Norma Sosial dan Tekanan Kolektif: Masalah hijab sering kali tidak hanya dilihat sebagai kewajiban individu, tetapi sering menjadi simbol moralitas komunitas. Ketika seseorang dianggap "melanggar" standar penampilan, tekanan sosial untuk mengingatkan atau mengomentari sering kali menjadi lebih intens dibandingkan hal-hal lain.
- Pemahaman yang Formalistis: Hijab sering dipandang dari sisi hukum (fikih), sementara banyak orang kurang menempatkan hijab ke dalam kerangka perjalanan spiritual. Akibatnya, mereka cenderung menegakkan penilaian hitam-putih terhadap pemakaian hijab tanpa melihat lebih jauh konteks individu yang mengenakannya.
- Ruang Publik dan Media Sosial: Dalam era modern dan digital, kritik terhadap hijab sering kali dilakukan dalam ruang publik seperti media sosial, yang membuat intensitas kritik menjadi lebih besar. Berbeda dengan komentar terhadap gaya hidup yang biasanya menjadi ranah pribadi, penampilan hijab sering dengan mudah menjadi perdebatan terbuka, yang dapat menyulut respon negatif.
Kontroversi di Balik Mengomentari Hijab
Kontroversi terbesar dalam fenomena mengomentari hijab terletak pada cara komentar atau kritik itu dilakukan. Meskipun sebagian besar umat Muslim memahami pentingnya beramar ma'ruf nahi munkar, pelaksanaan nilai ini sering kali tidak diimbangi dengan kreatifitas moral dan empati. Dalam banyak kasus, komentar terhadap hijab dilakukan dengan nada menghakimi, kasar, atau bahkan mempermalukan individu di hadapan publik. Hal ini menciptakan ketegangan sosial dan mengaburkan tujuan utama ajaran agama, yaitu menciptakan harmoni dan kasih sayang.
Di sisi lain, fenomena ini juga memperlihatkan adanya ketidakseimbangan dalam standar sosial terhadap hijab. Laki-laki Muslim jarang mendapatkan perhatian serupa ketika tidak memenuhi standar tertentu dalam berbusana Islami---meskipun ketentuan tentang aurat berlaku untuk keduanya. Ketidakseimbangan gender ini semakin menambah kompleksitas diskusi tentang hijab dan komentar sosial yang menyertainya.