Mohon tunggu...
Intanfd
Intanfd Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lama Jam Belajar, Tak Menjamin Siswa Indonesia Berprestasi

27 Januari 2017   12:09 Diperbarui: 27 Januari 2017   12:30 1261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TIMSS (Trend in International Mathematics and Science Study) adalah studi Internasional yang mengukur kemampuan siswa di bidang matematika dan sains. TIMSS bertujuan untuk melihat bagaimana kurikulum yang dicanangkan oleh setiap negara diimplementasikan dan capaian siswa khususnya pada bidang matematikan dan sains. TIMSS diselenggarakan 4 tahun sekali dan dikoordinasikan oleh IEA (the International Association for the Evaluation of Educational Achievement).

Indonesia ikut berpartisipasi pada studi TIMSS sejak tahun 1999. Namun baru tahun 2015 target populasinya kelas 4 SD/MI. Dalam pencapaiannya, siswa Indonesia menempati peringkat ke-45 dari 50 negara dalam bidang matematika dan peringkat ke-45 dari 48 negara dalam bidang sains. Posisi ini menempatkan Indonesia berada di atas dari negara Jordan, Saudi Arabia, Morocco, Afrika Selatan dan Kuwait. 

Secara umum, siswa Indonesia lemah di semua aspek konten maupun kognitif, baik untuk matematika maupun sains. Namun ketika didiagnosa secara mendalam, ditemukan bahwa siswa Indonesia sudah menerima pembahasan materi sesuai standar Internasional tetapi mereka tidak dapat memahaminya dan mengaplikasikannya. Hal inilah yang seharusnya mendapat perhatian lebih ketika guru sedang mengajar di kelas. Siswa tidak hanya dituntut untuk mengerjakan soal saja, tetapi siswa juga harus bisa mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari.

Lantas, apa yang dikuasai oleh siswa Indonesia? Siswa Indonesia lebih cenderung menguasai soal-soal yang bersifat rutin, komputasi sederhana, serta mengukur pengetahuan akan fakta yang berkonteks keseharian. Oleh sebab itu, siswa Indonesia perlu penguatan kemampuan mengintegrasikan informasi, menarik kesimpulan serta menggeneralisir pengetahuan yang dimiliki ke hal-hal yang lain.

TIMSS menemukan bahwa peran orang tua untuk siswa sangat signifikan. Secara umum, siswa yang orang tuanya sering melakukan kegiatan yang menstimulus kemampuan numerasi dan literasi (seperti membacakan dongeng, bernyanyi bersama tentang alfabet, dsb.) mencapai skor 94 poin lebih tinggi daripada siswa yang tidak diberikan stimulus tinggi. Untuk siswa Indonnesia, siswa yang sering diberi stimulus nilainya lebih tinggi 56 poin. Di Indonesia, hanya 27% orang tua siswa yang melakukan aktifitas tersebut. Hal ini dibawah standar rata-rata Internasional yaitu sebesar 44%.

Selain pentingnya peranan orang tua, mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada saat usia prasekolah juga sangat dianjurkan. Secara Internasional, siswa yang mengikuti PAUD selama dua tahun skor matematikanya lebih tinggi 42 poin dibandingkan dengan siswa yang tidak mengikuti PAUD. Perbedaan skor pun terlihat antara siswa yang mengikuti PAUD dengan yang tidak mengikuti PAUD yaitu sebesar 57 poin. Tapi, hanya 46% anak di Indonesia yang mengikuti PAUD selama dua tahun atau lebih. Hingga saat ini tercatat 28% siswa di Indonesia tidak pernah mengikuti PAUD sama sekali.

Menurut studi TIMSS, ketika masuk Sekolah Dasar (SD) hanya ada 20% siswa yang sama sekali tidak memiliki kemampuan membaca dan berhitung. Hal ini menunjukan bahwa kesiapan siswa Indonesia sudah cukup baik. Namun ketika kelas 4 diuji dengan TIMSS, sebanyak 50% siswa masih di level below low dan 30% di level low. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Ada beberapa aspek penting yang mempengaruhi penilaian diatas, diantaranya yaitu pemahaman guru terhadap perubahan kurikulum dan jumlah jam belajar siswa di sekolah. Pemahaman guru terhadap kurikulum berperan signifikan terhadap pencapaian skor di TIMSs. Siswa dengan guru yang paham terhadap perubahan kurikulum memiliki skor 70,14 lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang gurunya mengalami kesulitan (terdapat hingga 12,18% guru di Indonesia). Perbedaan skor di Indonesia ini merupakan perbedaan tertinggi di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa guru di Indonesia tidak siap untuk menghadapi kurikulum yang selalu berubah-ubah.

Jumlah jam belajar di sekolah juga menjadi permasalahan yang pelik untuk dibicarakan. Jika dibandingkan dengan Singapura dan Korea Selatan, Indonesia memiliki jumlah jam belajar yang tinggi. Singapura hanya memiliki jam belajar sebanyak 986 jam per tahun dan Korea Selatan memiliki jam belajar sebanyak 712 jam saja per tahunnya. Sedangkan Indonesia memiliki jam belajar sebanyak 1095 jam per tahunnya. Ironisnya, jumlah jam belajar yang tinggi tidak dapat menjamin siswa Indonesia mampu memahami ilmu yang dipelajari dengan baik dan berprestasi. Sedangkan Korea Selatan dengan jumlah jam belajar yang berbeda jauh dengan Indonesia mampu menduduki peringkat teratas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun