Mohon tunggu...
Intan Dela Puspitasari
Intan Dela Puspitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa prodi Sosiologi dari fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah Malang.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Keluarga Sebagai Arena Pertarungan Gender di Ruang Tertutup

2 Januari 2025   21:00 Diperbarui: 5 Januari 2025   19:32 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Keluarga seringkali dipandang sebagai institusi sosial yang harmonis dan stabil. Namun, dari sudut pandang sosiologi gender, keluarga dapat dilihat sebagai arena pertarungan kekuasaan dan dominasi yang berlangsung dalam ruang tertutup. Dalam konteks ini, keluarga tidak hanya menjadi tempat reproduksi biologis dan sosial, tetapi juga arena di mana relasi gender dan ketimpangan kuasa beroperasi secara intens.

Perspektif gender dalam menganalisis keluarga menyoroti bagaimana struktur patriarki dan norma budaya menciptakan ketidaksetaraan yang mengakar antara laki-laki dan perempuan. Menurut Connell (1987), konsep hegemonic masculinity seringkali mendominasi interaksi dalam keluarga, memperkuat superioritas laki-laki dan subordinasi perempuan. Hal ini tampak dalam pembagian kerja domestik yang cenderung bias gender, pola pengambilan keputusan, hingga bentuk kekerasan dalam rumah tangga. 

Lebih jauh, Bourdieu melalui konsep habitus dan kapital simbolik menunjukkan bagaimana dominasi gender tidak hanya terwujud dalam tindakan langsung, tetapi juga dalam pola-pola simbolik yang terinternalisasi. Dominasi ini seringkali disamarkan sebagai bagian dari "tatanan alami" keluarga, sehingga sulit untuk dilihat dan dipertanyakan. Dalam hal ini, keluarga menjadi arena yang sangat kompleks di mana ideologi gender dipertaruhkan dan diteruskan lintas generasi.

Dalam perspektif sosiologi gender, keluarga tidak hanya berfungsi sebagai unit dasar masyarakat untuk reproduksi biologis dan sosial, tetapi juga sebagai arena di mana dinamika kekuasaan dan relasi gender dimainkan secara intens. Analisis ini dapat diperdalam melalui konsep-konsep seperti hegemonic masculinity yang diperkenalkan oleh Connell dan teori habitus serta kapital simbolik dari Bourdieu.

  • Hegemonic Masculinity dalam Keluarga

Connell mengemukakan konsep hegemonic masculinity sebagai bentuk dominan maskulinitas yang menegaskan superioritas laki-laki dan menormalisasi subordinasi perempuan serta bentuk maskulinitas lainnya. Dalam konteks keluarga, hegemonic masculinity sering tercermin melalui pembagian peran gender yang tradisional, di mana laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, sementara perempuan ditempatkan dalam peran domestik sebagai pengasuh dan pengelola rumah tangga. Pembagian peran semacam ini tidak hanya membatasi ruang gerak perempuan tetapi juga memperkuat struktur patriarki dalam keluarga. 

Bourdieu memperkenalkan konsep habitus sebagai disposisi yang terbentuk melalui internalisasi struktur sosial dan budaya, yang kemudian mempengaruhi persepsi, pemikiran, dan tindakan individu. Dalam konteks keluarga, habitus terkait dengan norma dan nilai yang mengatur peran gender, yang sering kali diterima sebagai sesuatu yang alami dan tidak dipertanyakan. Selain itu, kapital simbolik, yaitu penghargaan atau prestise yang diakui secara sosial, memainkan peran penting dalam mempertahankan dominasi gender. Misalnya, kepemilikan kapital simbolik oleh laki-laki dalam bentuk status sebagai kepala keluarga dapat memperkuat posisi dominan mereka dalam struktur keluarga.

  • Kekerasan Simbolik dalam Keluarga

Kekerasan simbolik, menurut Bourdieu, adalah bentuk dominasi yang tersembunyi dan sering kali tidak disadari oleh mereka yang terlibat. Dalam keluarga, kekerasan simbolik dapat muncul melalui penegakan norma-norma gender yang membatasi peran dan ekspresi individu berdasarkan jenis kelamin. Misalnya, anggapan bahwa tugas domestik sepenuhnya merupakan tanggung jawab perempuan merupakan bentuk kekerasan simbolik yang mengekalkan ketidaksetaraan gender. 

  • Implikasi terhadap Kebijakan Publik

Pemahaman tentang keluarga sebagai arena pertarungan kekuasaan dan relasi gender memiliki implikasi penting bagi perumusan kebijakan publik. Misalnya, Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga di Indonesia telah menimbulkan perdebatan karena dianggap memperkuat peran gender tradisional yang dapat memperdalam ketidakadilan gender dalam keluarga. Analisis sosiologis gender terhadap kebijakan semacam ini penting untuk memastikan bahwa regulasi yang dibuat tidak memperkuat struktur patriarki, tetapi justru mendorong kesetaraan gender dalam institusi keluarga. 

Jadi kesimpulannya, dalam perspektif sosiologi gender, keluarga tidak hanya berfungsi sebagai institusi sosial untuk reproduksi biologis dan sosial, tetapi juga sebagai arena di mana pertarungan kekuasaan dan dominasi gender terjadi. Melalui pembagian peran tradisional yang menciptakan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, keluarga menjadi tempat reproduksi ideologi patriarki yang mendalam. Konsep hegemonic masculinity yang diperkenalkan oleh Connell dan internalisasi habitus serta kapital simbolik menurut Bourdieu memainkan peran penting dalam memperkuat struktur dominasi ini.

Keluarga, dalam hal ini, dapat dipandang sebagai sebuah ruang tertutup di mana ketidaksetaraan gender terpelihara dan diteruskan secara sistematis. Normatifitas peran gender, di mana laki-laki sering kali diposisikan sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai pengelola domestik, memperlihatkan bagaimana struktur sosial yang lebih luas tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Dalam banyak kasus, kekerasan simbolik yang terjadi di ruang domestik ini, baik dalam bentuk pengabaian terhadap peran perempuan atau dominasi keputusan oleh laki-laki, menjadi bukti kuat bahwa keluarga adalah medan pertarungan kekuasaan yang intens.

Melalui pemahaman ini, penting untuk meninjau kembali kebijakan publik yang berkaitan dengan keluarga agar tidak memperburuk ketidaksetaraan gender yang sudah ada. Reformasi dalam institusi keluarga melalui pendidikan kesetaraan gender dan kebijakan yang mendukung peran aktif perempuan di luar rumah tangga dapat menjadi solusi untuk mengurangi dominasi patriarki dalam keluarga.

Dengan demikian, keluarga sebagai arena pertarungan dalam ruang tertutup menggambarkan bagaimana struktur kekuasaan gender bekerja dalam kehidupan sosial sehari-hari dan bagaimana pemahaman ini dapat digunakan untuk memperjuangkan kesetaraan gender yang lebih adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun