Mudik? Sumpah bin suer deh, aku tuh baru merasakan mudik sejak 3 tahun terakhir. Sejak aku dipersunting (ciee...dipersunting) oleh laki-laki berdarah jawa, aku bisa merasakan budaya mudik ini. Dulu, nggak pernah tuh kepikiran bisa merasakan sensasi mudik yang nano-nano. Mulai dari hunting tiket kereta api 3 bulan sebelumnya, sampai melakukan perjalanan berjam-jam dengan barang bawaan seabreg.
Dulu, sebelum menikah, aku sering bertanya-tanya bagaimana sih rasanya melakukan perjalanan berjam-jam? Tidak hanya itu, kata mudik pasti identik dengan satu kata, macet. Aku membayangkan bagaimana tidak enaknya mudik, udara panas, macet dan tubuh kita sedang berpuasa. Lebih baik tinggal di rumah saja, pikirku saat itu.
Tapi, kita memang tidak pernah tahu jalan hidup ini akan kemana. Karena suamiku berasal dari Kota Lumajang, maka aku pun melakukan mudik pertama kali di tahun 2015. Sebuah pengalaman pertama dan tidak akan pernah terlupakan.
Gimana rasanya? Seperti yang aku bilang tadi, rasanya nano-naon. Apalagi saat itu, aku dalam keadaan hamil. Tidak hanya itu, aku dan suami harus rela tidak makan sahur, karena ketiduran di kereta api.
Oya, aku hanya bisa mengangguk-angguk ketika harus menunggu mobil jemputan dari pukul 7 pagi hingga pukul 2 sore di stasiun. Alasannya cukup klasik, macet. Hufttt...dramanya nggak berhenti sampai disitu. Perjalanan dari Malang ke Surabaya, yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 5 jam, ternyata kami harus menghabiskan waktu 8 jam.
Tapi, yang paling tidak bisa aku dan suamiku lupakan, ialah pada saat arus balik. Ketika kami pulang dari Lumajang ke Bandung, kami dikejutkan satu insiden di kereta api. Saat kereta sedang melaju di daerah Jawa Barat (aku lupa lagi nama daerahnya), ada suara benturan di kereta api. Ternyata ada orang yang melemparkan batu ke arah gerbong yang aku tumpangi itu.
Aku dan juga penumpang lainnya merasa sangat ketakutan. Polisi dan beberapa orang dari PT. KAI segera memeriksa tempat lemparan tersebut. Aku bersyukur karena tidak ada penumpang yang terluka. Kami semua pun untuk menutup gorden jendela, untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan.
Mesikpun ada kejadian seperti itu, tidak membuatku enggan menggunakan moda transportasi kereta api. Menurutku, untuk saat ini, kereta api masih menjadi pilihan moda transportasi yang jauh lebih aman dan nyaman dibanding yang lain. Selain harganya pun lebih bersahabat dengan semua kalangan, moda transportasi ini pun bebas macet.
Tapi, untuk 2 tahun terakhir ini, aku dan suami lebih memilih menggunakan moda transportasi pesawat. Hal itu karena kami ingin memangkas waktu perjalanan. Selain itu, libur cuti bersama yang mendekati Hari Raya, khawatir akan menimbulkan kemacetan. Anak kami yang masih berusia 21 bulan pun menjadi alasan kami memilih menggunakan pesawat.
Perlengkapan si kecil pun menjadi fokus utama kami, mulai dari makanan sampai ke mainan dan buku untuk teman perjalanannya. Selain itu, aku dan suami tidak boleh lengah menjaga si kecil di tengah keramaian. Keamanan dan kenyamanan si kecil menjadi prioritas perhatian kami. Meskipun, menurut pendapatku, Bandara ataupun stasiun masih bisa menjadi tempat bersahabat bagi anak-anak.