Mohon tunggu...
Intan Alfiyatur Rizqiyah
Intan Alfiyatur Rizqiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Intan alfiya

Me

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rekayasa Politik, Demokratisasi, dan Nasib RUU KUHP

13 Juni 2022   20:32 Diperbarui: 13 Juni 2022   20:39 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang salah dengan politik hari ini?

Berbicara tentang politik, ini bukan hanya tentang memutuskan siapa yang harus mengambil alih kekuasaan di balik bilik suara, tetapi dalam arti yang lebih luas jika Anda memikirkannya secara konkret. 

Pada dasarnya, kita sudah terlibat dalam politik dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak harus tentang status, tetapi pada kenyataannya politik  terlihat mencari status dan  kekayaan. 

Sungguh ironis bahwa mereka yang naik ke podium dan berteriak di podium menjanjikan kepentingan terbaik rakyat, membujuk mereka untuk mempercayai rakyat, dan menyatakan harapan untuk negara. Semuanya ternyata hanya drama, penemuan, drama, dan akhirnya berujung pada  kekecewaan mendalam yang berujung pada balas dendam. 

Di Indonesia, politik  dicap sebagai masalah kemunafikan dan kotoran. Sebaliknya, kita bisa melihat foto-foto elite politik yang menduduki takhta. Orang yang bisa menjalankan misinya dengan baik dan benar dikatakan cenderung tidak terlihat. Siapa yang bertanggung jawab dalam kasus ini? 

Apakah orang-orang yang salah memilih, atau orang-orang yang dipilih, benar-benar tidak memiliki niat baik untuk negara ini? Ini bukan salah siapa-siapa. Indonesia telah memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Apakah proses demokratisasi di negeri ini berjalan dengan baik? Tentu saja, itu tidak terlalu bagus. Bahkan di ujung yang mustahil untuk berhasil.

Kita dapat melihat negara-negara yang bergerak menuju demokrasi dan gagal di sepanjang jalan, karena tidak ada saluran yang cukup untuk mendukung dan memprediksi pecahnya konflik dan pertumpahan darah dalam proses demokratisasi. 

Padahal, kasus-kasus tersebut bisa dijadikan pelajaran bahwa, jika negara tidak memahami dengan baik bagaimana menerapkan sistem demokrasi, sangat rawan konflik berdarah.

Pada September tahun 2019, indonesia mengalami krisis demokrasi lewat perkara Penolakan RUU yg amat kontroversial. Berbondong warga  menyuarakan ketidak setujuannya terhadap apa yg diputuskan sang para penguasa pemerintahan. Namun, apa istilah mereka? "kami nir butuh lagi masukan berdasarkan publik".

 Menteri Hukum & Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly berkata : "Ini telah dikomunikasikan. Presiden beberapa saat kemudian telah berkata RUU kitab undang-undang hukum pidana itu akan diputuskan dalam periode yg akan datang. Dan ini telah dikomunikasikan menggunakan DPR RI. DPR juga telah setuju," ujar Yasonna usai mendapat registrasi  kepengurusan baru DPP PDIP pada Kantor Kemenkumham, Jakarta, Rabu, 25 September 2019.

 Yasonna jua berkata, sebenarnya pembahasan RUU ini telah melalui pembahasan yg relatif matang menggunakan melibatkan banyak sekali ahli hukum. RUU kitab undang-undang hukum pidana telah didesain semenjak 50 tahun silam sang para ahli hukum, bahkan waktu zaman Presiden Soeharto. Menurutnya, pemerintah & DPR pada membahas & merogoh keputusan terkait RUU ini nir mungkin meminta persetujuan semua warga  Indonesia yg jumlahnya lebih berdasarkan 260 juta.

Sangat kejam! warga  bahkan nir diperkenankan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Mereka yg mati-matian meneriakkan kepentingan warga  poly malah dipercaya menjadi masyarakat  negara yg radikal & nir patuh terhadap pemerintah. Dan sampai detik ini pun belum terdapat kejelasan terkait bagaimana kelanjutan RUU tersebut, lantaran dalam waktu itu ratifikasi RUU hanya ditunda bukan dihapus. 

Begitukah demokrasi? Demokrasi akan terbilang gagal apabila keadaan yang mengarah ke otoriter itu semakin dibudidayakan oleh para penguasa di Indonesia. Kemudian setelah rakyat yang dikuasai, Tuhan dijadikan senjata paling ampuh oleh orang-orang tak bertanggung jawab demi eksistensi mereka dalam politik.

Dari beberapa kasus yang marak di Indonesia, terlihat bahwa banyak sekali oknum yang berlindung dari kelicikannya dibalik kesucian nama Tuhan. Demi simpati dan empati masyarakat, para pejabat negara sudah tidak takut membawa nama Tuhan dibalik kesalahan yang sejatinya bukan hanya akan membohongi publik saja, akan tetapi otomatis Tuhan pun sudah ia dustai.

Lantas, bagaimana negara ini selanjutnya? sistem pemerintahannya, tatanan geopolitiknya, dan terlebih moral masyarakatnya sebagai warga dari negara dengan umat beragama yang besar? Tidak jelas kemana arah dan tujuannya, saat ini politik malah terlihat semakin diwarnai oleh orang-orang individualis yang saling berlomba mencari keuntungan masing-masing.

Ditambah konflik politik antar kelompok yang semakin merajalela di negeri ini yang dilatar belakangi oleh berbagai macam perbedaan, hingga berujung pada perseteruan dan pemberontakan. Problema seperti itu sudah menjadi hal yang substansial didalam persaingan politik. 

Mereka saling melayangkan sumpah serapah, saling menghujat, saling menggugat, saling meruntuhkan dan mematikan. Sikap seperti ini harusnya diamputasi agar tidak menjalar ke setiap penjuru dan semakin akan menghancurkan sistem pemerintahan dan perpolitikan negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun