Mohon tunggu...
intan ajeng sugiarti
intan ajeng sugiarti Mohon Tunggu... -

PAI

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dinasti Fathmyah

21 Desember 2011   06:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:57 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dinasti Fatimiyah mengalami puncak kejayaan pada masa khalifah al-Aziz. Pada masa ini istana dibangun dengan sangat megahnya hingga mampu menampung tamu sebanyak 30.000 orang, demikian juga masjid dibangun dengan megahnya, sektor perhubungan lancar, keamanan terjamin, perekonomian dibangun, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri, sesuai dengan perkembangan teknologi pada masa itu.

Dinasti ini dapat maju antara lain karena: militernya kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil. Namun setelah masa al-Aziz Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran dan akhirnya hancur, setelah berkuasa selama262 tahun.

Kemunduran Dinasti Fatimiyah

Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah al-Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja kristen, termasuk sebuah gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan Suci umat Kristen. Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdûn. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya Perang Salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai.Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H / 991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeretDaulah Fatimiyahdalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hâkim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.

Al-Hâkim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Mukatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Sitt al-Mulûk, yang telah diperlakukan tidak hormat olehnya.

Al-Hâkim kemudian digantikan oleh az-Zâhir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun. Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa az-Zâhir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki. Hal ini menjadi pemicu timbulnya pertikaian antara orang Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zâhir mendapat izin dari Konstantin ke VIII agar namanya disebutkan dimasjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid yang berada di Konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang didalamnya terdapat Kuburan Suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh al-Hâkim.

Setelah meninggal az-Zâhir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir.Mulai masa ini sistem pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zâhir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.

Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat.Sementara di Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abasiyyah. Pada tahun 1052, suku Arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak ke bagian barat dan berhasil menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.

Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kawasan Semenanjung Arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.

Az-Zâhir kemudian digantikan oleh al-Mustanshir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamalî, orang Armenia bekas budak dari kegubernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amîr al-Juyûsî (komandan Perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini.

Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustanshir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada di belakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li karena ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li wafat, al-Amin, anak al-Musta’li yang baru berumur lima tahun diangkat sebagai khalifah.

Al-Amin kemudiandigantikan oleh al-Hafidz. Ketika ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya, az-Zhafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda hingga. Merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara salib ke Mesir.Kemudian kekuasaan az-Zafir direbutoleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Sallar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius. Kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zhafir yang baru berusia empat tahun, sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dn digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembai memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi Perdana Mentri Mesir waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnyapasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.

Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkanmenguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin menghormati dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Fathimy. Namun ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahudin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelengarakan khutbah dengan menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyyah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun