Gemetar jemariku ketika menulis surat ini, sebab aku merasa tak pantas menyuarakan tentangmu di sini, sedang aku sendiri tidak tahu apakah kau mempedulikanku atau tidak. Malah mungkin kau tak mengerti bahwa di belahan bumi ini ada perempuan sederhana yang diam-diam melangitkan doa kebaikan untukmu.
Apa kabar kau di sana? Sekuat apa pun aku mencari tahu tentangmu, tidak akan bisa memastikan bahwa kau benar baik-baik saja, kecuali kabar itu keluar dari mulutmu sendiri. Namun, bagaimana aku akan mendapat kabar darimu, sedang untuk menyapa saja aku tak mampu.
Kau mungkin baik-baik saja tanpa aku, tetapi di sini aku seperti hampir mati tertikam rinduku sendiri. Sebuah rasa yang semestinya tak ada, sebab bukan hakku untuk merindukanmu. Aku ini siapa? Sekedar orang asing yang nekat mencintaimu, padahal tak ku ketahui hatimu untuk siapa.
Aku berada di ambang kebimbangan, antara harus menyimpan rasa cinta ini dengan resiko menahan sesak sepanjang hari, atau harus ku nyatakan, tetapi dengan resiko yang mungkin jauh lebih menyakitkan, yaitu penolakan.
Meski tak ada salahnya seorang wanita
mengungkapkan perasaan terlebih dahulu, tetapi
harus kuakui nyaliku tak setangguh itu. Hingga
kupikir, kembali menyimpan rasa ini adalah pilihan
terbaik.
Aku meyakini bahwa jodoh di tangan Tuhan. Sejauh apapun jarak antara kita, andai benar kau ditakdirkan untukku, tentu suatu saat nanti kau akan menjadi milikku, Ketahuilah bahwa aku masih dengan harapan-harapan itu.
Saat ini kau boleh saja mengembara. Silahkan sibuk dengan duniamu, kejarlah pendidikanmu, sibuklah dengan karirmu. Namun, jangan bilang bahwa kau sedang sibuk mencintai perempuan lain, sebab hal itu akan terdengar menyakitkan bagiku, meski tak ada sedikitpun hak cemburu.