Mohon tunggu...
Intan Anugrah Bathari
Intan Anugrah Bathari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Nasib PSK: Bubar atau Lokalisasi?

5 Maret 2022   17:00 Diperbarui: 5 Maret 2022   17:14 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Perlawanan Sosial (Foto: Dokumen Pribadi Penulis Resensi)

Identitas Buku:

Judul: Perlawanan Sosial Masyarakat Lokalisasi Atas Kebijakan Pemerintah 

Penulis: Prof. Dr. Darsono Wisadirana, MS dan Dr. M. Lukman Hakim, SIP. M.Si 

Penerbit: Inteligensia Media Malang

Tahun: 2015 

Tebal; ukuran: xii+142; 15,5 x 23 cm

 ISBN: 978-602-7263-45-1 

Kebijakan pemerintah selalu melingkupi kehidupan rakyatnya, baik untuk menciptakan model tatanan kehidupan baru, atau hanya sekadar memperbaiki aturan-aturan yang telah ada demi kemakmuran bersama. Lantas dengan adanya tujuan tersebut, apakah kebijakan pemerintah selalu diterima oleh masyarakat? 

Di Indonesia sendiri, nyatanya tidak sedikit dari kebijakan pemerintah yang mendapat kritikan pedas bahkan menimbulkan gejolak kecaman dari masyarakat luas. 

Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah selalu diwarnai dengan isu-isu atau kepentingan politik yang diperparah dengan buruknya kondisi perekonomian masyarakat. Salah satu kebijakan pemerintah Indonesia yang menuai banyak kecaman dan persoalannya tak kunjung mendapati titik terang adalah pemberantasan ataupun pelokalisasian PSK. 

Menurut data Koordinator Nasional Organisasi Perubahan Sosial Indonesia, jumlah pekerja seks komersial (wanita) hingga tahun 2019 telah mencapai kisaran 230.000 orang. Banyaknya angka tersebut belum termasuk PSK pria dan transgender, dengan jumlah peningkatan terbesar berada di Provinsi Jawa Timur. 

Hal ini berarti jumlah PSK mengalami peningkatan yang sangat pesat dibanding pada saat buku ini ditulis, yakni 41.374 orang PSK. Faktor ekonomi menjadi faktor utama pendorong banyaknya orang yang terjerumus dalam lembah hitam dan didukung oleh rendahnya tingkat pendidikan serta minimnya skill yang dimiliki sehingga mereka memilih jalan haram ini untuk mencari uang sekaligus sebagai sarana pemenuhan hasrat seksual. 

Bisa dibayangkan saja, banyak orang yang menyandang gelar sarjana di Indonesia namun, tidak memiliki skill apa-apa dan tidak juga dapat dikatakan ahli di bidangnya. 

Hal ini tentu tidak menutup kemungkinan, bahwa seseorang yang strata pendidikannya lebih rendah akan memperparah keadaan karena pemikiran/ atau pandangan yang minim ilmu dan cupetnya wawasan. Walau dalam hal ini bukan berarti menggaris bawahi bahwa strata pendidikan adalah faktor penentu keberhasilan seseorang.

Melalui buku berjudul Perlawanan Sosial Masyarakat Lokalisasi atas Kebijakan Pemerintah, pembaca akan mengetahui kebijakan lokalisasi dan/ pembubaran PSK oleh pemerintah yang menuai dukungan dan penolakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak. 

Seperti masyarakat sekitar yang mendukung adanya lokalisasi PSK karena lokasi di sekitar bisnis haram tersebut adalah satu-satunya sumber mata pencaharian, serta mereka menolak adanya penutupan lokalisasi yang dianggap hanya sebuah kedok dari sebagian urusan politik pemerintah; masyarakat umum yang menolak lokalisasi karena menimbulkan banyak mudharat dengan adanya bisnis tersebut; serta tokoh-tokoh agama yang menentang keras adanya lokalisasi karena sangat menyeleweng dari nilai-nilai agama, dengan kata lain mereka sangat mendukung kebijakan terkait penutupan/ pembubaran lokalisasi. 

Permasalahan terkait PSK ini sangatlah kompleks, dan jika tidak ditangani secara bijak mau jadi apa Indonesia kedepannya? Namun, dalam menyikapi masalah seperti ini, sebagai masyarakat yang bijak tentunya tidak boleh sembarang mengadili siapapun, baik para PSK atau pemerintah. 

Pertama, bagi para PSK. Orang lain tidak akan tahu-menahu bagaimana dan mengapa mereka terjun ke dunia gelap tersebut, seperti yang tertulis dalam buku ini bahwa banyak dari PSK yang sebenarnya masuk dalam dunia tersebut bukan atas kemauannya sendiri, melainkan akibat dari human trafficking (hlm 10).

Sedangkan bagi pemerintah, hal ini juga tidak dapat dikatakan sepenuhnya kesalahan pemerintah/ lembaga pemerintahan perihal ketidaktegasan memberlakukan suatu kebijakan (yang bisa saja hanya untuk embel-embel politik). 

Terlepas dari alasan itu, pada praktiknya memang sulit bagi pemerintah dalam meyakinkan PSK dan semua pihak yang terlibat mengenai dampak sosial dan kesehatan bagi mereka serta bagi masyarakat luas ke depannya. 

Buku dengan sampul dominan berwarna hijau ini sangat mudah dipahami dan pokok-pokok pembahasan yang dijelaskan secara gamblang membuat "kita" sebagai masyarakat Indonesia sadar bagaimana miris, terbelakang, serta kompleksnya masalah-masalah yang menghinggapi bangsa Indonesia. 

Ketika membaca buku ini, pembaca akan diajak merasakan carut-marut ekonomi, sosial, politik seakan terpampang nyata dalam suatu bingkai kehidupan manusia; pusingnya pemerintah dalam menetapkan suatu kebijakan; kesedihan dan kekecewaan para pekerja seks, germo/ mucikari tukang becak, toko rokok, hingga penjual-penjual di pasar yang hanya akan meraup keuntungan yang besar jika bisnis haram tersebut tetap dilakukan/ dilokalisasi. Melalui buku ini pula pembaca dapat menyelami sejarah munculnya prostitusi PSK di Indonesia yang memang sudah ada sejak masa kolonial dengan sebutan "gundik". 

Hal ini mengingatkan saya pada sebuah buku berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda yang ditulis oleh Reggy Bay, dalam buku ini juga membahas masalah pro-kontra adanya gundik/ PSK dan jenis pergundikan orang pribumi di Hindia Belanda. Selanjutnya pembaca juga akan disuguhkan mengenai pesatnya perkembangan prostitusi PSK di Indonesia, mengulik kehidupan, kondisi psikologis PSK, dan masyarakat sekitar, mulai dari sebelum hingga setelah diberlakukannya lokalisasi. 

Kompleksitas masalah lokalisasi, banyaknya bukti berupa data penunjang yang disajikan, serta formula-formula yang disampaikan penulis di akhir buku merupakan suatu kelebihan buku ini sekaligus sebagai alasan mengapa buku ini tidak hanya patut untuk dibaca, namun juga dapat digunakan sebagai bahan referensi tambahan ketika menulis sebuah artikel ataupun buku baru. 

Sayangnya, dalam buku ini terdapat banyak kata yang penulisan tanda bacanya salah dan terdapat kata-kata yang tidak baku, padahal jika melihat jenis bukunya, buku ini merupakan hasil dari studi kasus lapangan yang seharusnya memakai kata-kata yang baik dan benar. Selain itu, pola-pola pembahasan pada beberapa bab terlihat sama dan kurang pengembangan. 

Terlepas dari sedikit kekurangan yang telah disampaikan di atas, tentu buku berjudul Perlawanan Sosial Masyarakat Lokalisasi atas Kebijakan Pemerintah layak dibaca, malahan sebagai sebuah anjuran yang tepat untuk memilih buku ini sebagai bahan bacaan karena melalui buku ini pembaca dapat menyadari sekelumit permasalahan yang ada di Indonesia, serta dapat membuka mata dan hati pembaca sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, terutama bagi para generasi penerus bangsa agar kelak dapat menjawab pertanyaan "Mau jadi apa bangsa Indonesia kedepannya?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun