Keduanya terdiam membisu saat duduk di ruang tamu. Risa menundukkan kepalanya menatap tangannya yang terjalin erat di pangkuan.
“Saya jatuh hati kepada Bu Risa dan saya yakin Aya pun selama ini sangat menyayangi Ibu. Bila Allah mengijinkan, saya ingin menjaga dan menyayangi Bu Risa bersama dengan Aya untuk selamanya,” tutur Tio pelan namun dengan nada pasti.
Risa mendongakkan kepalanya dan matanya bertemu dengan mata Tio yang dari tadi menatapnya lekat. Ia pun tersipu dan pipinya memerah jambu.
Risa tak dapat menyangkal bahwa selama ini ia pun jatuh hati pada Tio namun ia tak pernah berani berharap lebih.
“Apakah Bu Risa memiliki perasaan yang sama ?” tanya Tio lembut. “Saya tahu Ibu menyayangi Aya, namun apakah Ibu berkenan menjadi bundanya ?”
Pipi Risa makin memerah mendengar pertanyaan Tio. Ia kembali menunduk sebelum menjawab lirih, “Saya sangat menyayangi Aya dan mengagumi Pak Tio, namun apakah Pak Tio yakin ingin memperistri saya sementara saya tidak bisa memiliki anak ?” tanya Risa.
Tio memberanikan diri menggenggam tangan Risa yang masih terjalin erat di atas pangkuan Risa. Tangan itu terasa dingin menunjukkan kegelisahan hati pemiliknya. Risa mendongak menatap wajah Tio.
“Boleh aku memanggilmu Risa ? Insya Allah aku tidak akan pernah mempermasalahkan hal itu, apabila Allah berkehendak memberi kita anak selain Aya, aku akan sangat berbahagia. Namun, apabila Aya satu-satunya anak kita, aku sangat bersyukur kita memiliki Aya,” kata Tio sambil tersenyum lembut.
Risa terdiam beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk.
“Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah,” ucap Tio sambil mengecup lembut tangan Risa.
***