Mohon tunggu...
intan rahmadewi
intan rahmadewi Mohon Tunggu... Wiraswasta - bisnis woman

seorang yang sangat menyukai fashion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ulama Umara, Simbiosis Mutualisme

29 Juni 2024   09:30 Diperbarui: 29 Juni 2024   09:38 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Indonesia merdeka, banyak pihak, baik suku Jawa, Sumatera dll serta mereka yang berkeyakinan berbeda, entah itu Hindu, Budha, Islam Kristen dll mampu bersatu untuk mewujudkan negara yang berdaulat yaitu  yang disebut kemudian Indonesia. Tak sampai di seputar akar rumput, para tokoh agamapun (dari agama manapun) mampu menaruh egonya di dasar hati untuk mewujudkan mimpi besar mereka untuk memerdekakan Indonesia.

Dengan berjalannya waktu tercatat banyak tokoh agama yang masuk dalam politik maupun pemerintahan. Kita tahu pada masa Soekarno, ada tokoh agama seperti M Natsir (Masyumi) , lalu ada Wahid Hasyim, dll. Yang dicatat oleh sejarah sebagai mereka adalah ulma yang baik dan bisa berfikir nasionalis.

Paa masa orde baru kita banayk menemukan beberapa ulama yang masuk atau aktif di politik beberapa diantaranya masuk dalam pemerintahan. Kita bisa melihat misalnya Idham Khalid, dll. Gus Dur adalah tokoh yang memimpin ormas dan awalnya tidak masuk politik. Namun belakangan ketika Soeharto memperlakukan Gus Dur secara tidak adil, ulama besar ini memang cenderung diam saja. Ini tak lepas dari kebijakan beliau untuk bisa memjaga bangsa agar tetap harmoni. Ini memang masuk akal mengingat NU sebagai ormas terbesar Indonesia sangat berpengaruh pada sebagian besar umat pada waktu itu.

Gus Dur amat paham bahwa agama dan negara adalah dua hal yang saling membutuhkan. Para ulama berkarya dalam hal agama butuh rumah yang nyaman dan mampu jadi peneduh bagi semua pihak tanpa kecuali. Saat beliau menjadi presiden, Gus Dur mampu mendangar pihak-pihak yang selama ini teraniaya, semisal umat Kong Hu Chu untuk dijadikan salahsatu agama resmi  di Indoensia.

Ulama yang dikenal sebagai bapak pluralisme ini juga menjadi negara yang sangat demokratis dengan dibebaskannya banyak kanal informasi sehingga warga Indoensia bisa memperoleh informasi secara bebas. Ini juga tak lepas dari momentum era reformasi, segingga demokrasi juga mendapatkan tempat pada kebijakan negara. Ulamalah yang memberi kebijakan itu untuk kenyamanan semua pihak di Indoensia.

Inilah contoh nyata bagaimana ulama dan umara saling bekerjasama untuk mewujudkan cita masing-masing. Negara membutuhkan nilai spiritual yang mereka bawa, sementara para ulama memerlukan "rumah" yang mampu merawat keberlangsungan nilai agama secara aman dan damai. Dalam konteks ini, figur agama (ulama) dan negara (umara) saling berkelindan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun