Mohon tunggu...
intan rahmadewi
intan rahmadewi Mohon Tunggu... Wiraswasta - bisnis woman

seorang yang sangat menyukai fashion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Radikalisme dan Cara Kita Bersikap

21 Agustus 2021   07:42 Diperbarui: 21 Agustus 2021   07:46 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2020 lalu, Institute for Economic and Peace (IEP) meliris laporan Global Index Terorism (GTI) yang berisi ranking negara terdampak terorisme di dunia. Pada laporan itu Indonesia menduduki peringkat ke 37 dari 163 negara, dengan skor 4.629 untuk skala global . Sedangkan di Asia Pasifik, Indonesia mendapat rangking ke empat. Pengukuran yang dilakukan oleh GTI adalah skala 0 sampai 10. Semakin kecil angka ( mendekati 0) menunjukkan tidak ada dampak dari terorisme. Sedangkan 10 merupakan skala tertinggi yang mencermati nian dampak terparah dari kegiatan terorisme.

Skala yang digunakan GTI pada 0 hingga 10. Angka 0 menunjukkan tidak ada dampak dari terorisme, sedangkan 10 adalah cerminan dari dampak terparah terorisme. Indonesia pernah ada skala 10 yaitu ketika Bom Bali 1 yang terjadi tahun 2001 dengan ratusan korban orang asing dan lokal di Kuta Bali. Peristiwa itu sering dianggap berbagai peristiwa terorisme paling tragis dalam sejarah.

Pada laporan itu, faktor terkuat pendorong terorisme dan radikalisme adalah ekstremisme agama. Ini bisa kita lihat dengan jelas di beberapa negara selain Indonesia yaitu Pakistan, India, Afganistan, dan Filipina. Malah Indonesia dan Filipina punya koneksi jalur khususnya di wilayah Filipina selatan termasuk Mindanao. Kita ingat bahwa pengebom satu gereja di Filipina adalah suami istri dari Indonesia. Mereka punya jalur klasik untuk masuk ke Filipina antara lain dari Manado atau dari Kalimantan Utara.

Pada masa pandemi seperti sekarang ini aparat masih menengarai hubungan antar kelompok terorisme dengan adanya transfer dana antar kelompok itu. Kita tahu bahwa dana sangat diperlukan teroris untuk melancarkan aksi mereka.

Bagaimana radikalisme dan terorisme bisa tumbuh di Indonesia dan nyaris tak pernah surut ?

Memang pada tahun 2011 sampai sekitar 2015 tidak ada peristiwa terorisme yang menonjol, namun pada tahun 2016 kita semua dikejutkan dengan bom Thamrin dan terakhir adalah penyerangan seorang pemudi di halaman Mabes Polri. Ini menunjukkan bahwa mereka masih terhubung oleh satu hal yg yaitu faham radikalisme yang bisa saja disampaikan melalui teknologi berupa gadget dll.

Seorang akademisi politik dari Irlandia yaitu Louis Mary Richardson mengungkapkan bahwa orang-orang dengan paham radikal itu muncul dan menguat karena tiga hal . Pertama,orang-orang yang kecewa karena berbagai sebab. Kedua,kelompok atau pihak tertentu bisa memfasilitasi dan mengorganisir orang-orang kecewa itu dalam satu gerakan atau semangat. Ketiga, ideologi yang membenarkan aksi terorisme. Ada faktor lain yang menjadi pupuk bagi radikalisme yaitu konflik. Tiga faktor kuat dan faktor terakhir inilah yang membentuk formulasi radikalisme dan terorisme.

Runyamnya, agama menjadi pijakan atau pembenar bagi pemikiran dan langkah mereka untuk melakukan kegiatan radikal. Kita bisa melihat hal itu yaitu surat wasiat yang ditinggalkan oleh pelaku bom gereja Katedral Makassar dan penyerangan Mabes Polri.

Sudah 76 tahun kita merdeka, dan seharusnya kita bisa lebih arif dan bijaksana dalam menentukan arah pandangan kita termasuk soal agama dan nasionalisme. Janganlah kita terjebak pada pandangan sempit yang bisa membuat suasana lebih runyam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun