Seorang akademisi asal Yogyakarta dan sekarang bermukim dan mengajar di Bali baru-baru ini mengungkapkan kekhawatirannya. Dia mengatakan bahwa mungkin pada suatu kali Bali akan menjadi seperti Yogyakarta dalam beberapa dekade. Apa penyebab dan dalam kaitan apa ?
Pemikiran yang diungkapkan di salah satu suratkabar nasional itu bermuara pada mulai seringnya peristiwa intoleransi yang terjadi di Yogya.  Tahun 2014 The Wahid Institute dalam penelitiannya mengemukakan  bahwa Yogyakarta yang dahulu dikenal sebagai kota pelajar yang nyaman, sejak tiga atau empat tahun lalu itu tak dijumpai suasana seperti sebelumnya. Tahun itu lembaga itu menjuluki kota itu sebagai kota paling intoleran kedua di Indonesia.
Sebabnya, terjadi kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama sebanyak 14 kali. Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2015 terjadi lagi pelanggaran kebebasan beragama sebanyak 10 kali. Sebuah media internasional mengemukakan bahwa seringkali terjadi kasus pembubaran diskusi oleh ormas Islam tertentu. Pada banyak kasus, akhirnya forum diskusi harus bubar karena diancam dengan kekerasan oleh para anggota ormas tersebut.
Dalih pemaksaan agar acara itu bubar bermacam-macam. Misalnya dianggap diskusi soal komunisme, forum LGBT dan bahaya penyebaran Syiah. Semuanya dilakukan oleh ormas setempat dan bukan aparat.
Baru-baru ini juga Yogyakarta kembali membuat orang kaget karena pengrusakan makam warga non muslim di kompleks RS Betesda Yogya. Kompleks makam yang memang diperuntukkan bagi pemeluk non muslim itu rusak tanpa diketahui pelakunya. Tapi motifnya jelas bahwa orang yang merusaknya tidak senang dengan keberadaan makan non muslim itu atau sebab khusus lain.Â
Sebelumnya, ada kasus intoleransi yang mirip dengan makan RS Betesda yaitu di makam Kota Gede. Sebuah makam penduduk beragama Kristiani, dipotong salibnya karena menurut mereka itu kesepakatan keluarga dengan masyarakat. Karena desa itu tak punya makam umum yang dapat menampung kubur bagi semua kelompok agama.
Terakhir yang menghebohkan dari Yogyakarta adalah ditolaknya keluarga Katolik yang akan bermukim di satu desa di wilayah Bantul. Desa itu sebelumnya punya kesepakatan bahwa warganya hanya punya satu agama saja yaitu Islam. Sehingga warga non muslim disarankan tidak tinggal diwilayah itu. Segera setelah kasus ini naik ke media massa, Kementrian Dalam Negeri mengurus dan akhirnya sang seniman non muslim tadi diperbolehkan tinggal di desa itu.
Contoh-contoh fenomena mayoritas minoritas dan berada di daerah pariwisata juga terdapat di daerah Bali . Seperti kita tahu Bali punya penduduk mayoritas beragama Hindu dengan minoritas kaum muslim, Kristen dll.
Bisa jadi yang terjadi di Yogya punya akar sama dengan Bali, tetapi punya letupan berbeda. Apa yang menjadi kekhawatiran akademisi itu di dua daerah itu adalah soal ekonomi / investasi yang kurang memikirkan dampak yang mungkin bisa terjadi di masa mendatang.
Kajian soal sosiologi dan sumber daya manusia sangat diperlukan agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang lagi. Atau paling tidak dapat diolah dengan lebih baik karena di negara kita, perbedaan adalah suatu keniscayaan. Kita bermasyakat dengan berbagai golongan etnis, berbagai bahasa dan juga berbagai keyakinan.