Meski demikian, saya merasa tertarik, penasaran dan melihatnya sebagai tantangan sekaligus kesempatan. Berpartisipasi dalam kegiatan dialog lintas iman, terlebih yang diselenggarakan dan mayoritas pesertanya adalah umat agama non Islam adalah pengalaman pertama buat saya.
Namun, yang menguatkan saya untuk tetap hadir adalah niat untuk belajar. Belajar memahami sudut pandang agama lain tentang toleransi dan moderasi beragama agar saya tidak salah paham dan mudah buruk sangka pada mereka. Sebab, seiring dengan menguatnya politik identitas selama beberapa tahun ini, saya merasa bahwa kita jadi mudah sekali tersinggung, terancam dan berprasangka buruk pada orang lain yang berbeda agama.
Umat agama minoritas mau membangun rumah ibadah, membantu masyarakat miskin di suatu desa, menjalankan ritual peribadatan sesuai agamanya, dituduh ingin membuat orang murtad alias pindah agama. Padahal kan mereka hanya ingin bisa menjalankan perintah agamanya dengan tenang dan damai. Mengapa harus khawatir?
Saya ingin mengenal dan mengetahui di mana titik-titik temu dari perspektif agama Katolik dan Buddha dengan agama Islam, baik itu mengenai toleransi, moderasi beragama maupun nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Terlebih lagi yang menyampaikan adalah pemeluk agamanya langsung sehingga pengetahuan yang didapat akan lebih valid.
Innamal a'malu binniyat (sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya), kalau kata hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Selama niat saya baik, atau dalam hal ini adalah untuk belajar, saya yakin Allah akan berikan jalan.
Lalu, apa yang saya dapatkan dari kegiatan dialog lintas iman tersebut?
Ada satu pelajaran yang cukup membekas dan layak menjadi permenungan bersama, yaitu tentang beragama dengan kesadaran.Â
Saya ingat waktu itu Romo Bobby sempat melempar pertanyaan mengenai adakah dari para peserta yang orangtuanya berbeda keyakinan dan kemudian beberapa anak menceritakan pengalamannya.
Saya yang tumbuh di keluarga muslim, mulai dari orangtua, kakek nenek, tante om dan sepupu-sepupu. Di lingkungan pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal saya, mayoritas beragama Islam.Â
Dengan demikian, saya bisa dibilang tidak punya pilihan lain selain mengikuti agama keluarga dan lingkungan sekitar saya.
Berbeda dengan mereka yang lahir dari orangtua berbeda agama, bisa jadi mereka lebih mampu beragama dengan kesadaran.