Kakak dan adik selalu menikmati waktu bersama, itulah kita. Rasanya kita amat beruntung, bukan? Tidak semua orang memiliki kesempatan ini.
Bayangkan, banyak saudara yang terpisah dari saudaranya selama belasan tahun. Selama itu pula hati mereka diliputi kerinduan akan kasih sayang seorang kakak.
"Hey, jangan berpikir terlalu jauh," katamu.
"Lagipula sebagai saudara, kita bukannya tidak pernah bertengkar, bukan?"
Itu benar. Betapapun kita saling menyayangi, anak-anak seperti kita pasti pernah terlibat adu mulut, menangis, lalu mengadu pada ibu.
Aku terkekeh.
"Kau adik yang cengeng," katamu lagi.
Aku memandangi wajahmu dengan sayang. Kau adalah kakak satu-satunya. Kakak yang dulu sering mengalah karena ibu selalu membelaku. Bagi ibu, aku adalah putri kecil yang selalu butuh dilindungi.
Aku mengingat-ingat, kapan terakhir kita bermain di atas pohon ceri dekat rumah. Rasanya baru kemarin, kita menunggu ayah dan ibu pulang dari kebun.
Kalau mau jujur, aku sangat berhutang padamu. Karena kau banyak mengalah demi adikmu yang manja. Kau rela menolak ajakan teman-temanmu, sebab tidak ada yang menemaniku di rumah, waktu itu.
"Kau masih ingat bagaimana rasa buah ceri?" kau bertanya, seolah menangkap jalan pikiranku. Aku mengangguk, sambil menahan dadaku yang mulai gemuruh.