Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca empat bagian sebelumnya: Terbanglah Camar (I), Terbanglah Camar (II), Terbanglah Camar (III), Terbanglah Camar (IV)
Entah berapa lama kemudian Fanny baru membuka mata. Dilihatnya seorang pemuda seusia Geld, mengenakan jas putih.
Dokter! Fanny tahu, orang ini memiliki obat dan cara untuk menyembuhkannya. Fanny juga tahu, orang ini memiliki obat dan cara untuk menamatkan riwayatnya.
Fanny merasa alternatif yang kedua adalah yang terbaik baginya. Bukankah lebih baik mati daripada hidup sementara kehidupan tidak mau bersahabat dengan kita?
Tetapi dokter yang jahat itu tidak mau menolongnya. Dokter yang sok tahu itu bahkan ingin membantunya menemukan kembali gairah hidup. Bah!
Tidak tahukah dia bahwa gadis malang ini tidak akan menemukan gairah hidup lagi? Tidak tahukah dia bahwa satu-satunya orang yang sanggup membuat Fanny merasa hidup, kini telah mati?
Fanny menghela nafas panjang lalu mengusap matanya yang basah dengan punggung tangan. Ditatapnya langit biru yang cerah itu.
Adakah di sana masih tersembunyi pengharapan baginya? Ah, kalau saja ia masih boleh berharap, maka satu-satunya yang ia harapkan adalah segera mati supaya bisa bertemu dan bersama-sama Geld lagi.
Tetapi dokter yang jahat itu bukan saja tidak mau membantunya menempuh jalan kematian. Dia bahkan memerintahkan suster untuk terus-menerus menjaganya. Fanny benci. Sangat benci!
"Selamat siang."