Geld melihatnya. Pemuda itu bertindak cepat. Dia mengejar Fanny, bahkan ikut naik ke mobil dengan paksa.
“Fanny,” katanya terengah. “Dengar dulu penjelasanku.”
“Penjelasan apa?” tanyanya sinis, lalu menghidupkan mesin mobil. “Dia adikmu? Atau sepupumu yang baru datang dari luar kota, dari luar negeri? Alasan usang yang tidak selalu tepat untuk menutupi sebuah perselingkuhan. Karena itu, tidak perlu kamu kemukakan lagi.”
“Dia bukan adikku dan bukan sepupuku,” Geld berkata dengan tenang. “Dia mahasiswi baru dan aku kebetulan asisten dosennya, dan …”
“Dan …?” Fanny menarik bibirnya, membentuk sebuah senyuman sinis. “Asisten dosen yang masih muda dengan mahasiswi baru yang cantik. Kalian begitu akrab, begitu mesra! Pasangan yang sangat serasi, bukan?”
“Fanny, kamu …”
Fanny melarikan mobilnya bagaikan orang kesetanan. Di sampingnya, Geld masih terus mengoceh, memberi penjelasan. Tetapi ia tidak ingin mendengar ocehannya. Fanny muak, dan benci!
Di sebuah tikungan, Fanny tidak menyadari ada sebuah mobil lain yang sedang melaju dari arah yang berlawanan. Dia pun tidak sempat menghindar ketika tiba-tiba dia merasakan gempa bumi yang dahsyat dan kegelapan menyelimutinya.
***
Bersambung ke: Terbanglah Camar (IV)
Siska Dewi untuk Inspirasiana