Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca dua bagian pertama:
Febi menghela nafas panjang. Ia tahu, George bermaksud baik. George meninggalkannya dengan maksud memberinya kebahagiaan.
Tetapi tidak adakah jalan lain yang lebih baik? Kenapa harus perpisahan yang mereka tempuh?
Apakah George kira ia dapat merobek lembaran-lembaran kisah manis mereka yang ditulisnya selama lima tahun, semudah seorang bocah merobek bukunya? Masih adakah kebahagiaan yang akan menyapanya, jika ia melangkah sendiri menyusuri hari-hari panjang yang sepi, tanpa George?
Febi memejamkan mata. Diusapnya mukanya berulang kali. Dicobanya melupakan George barang sedetik.
Tetapi bayangan cowok terkasih itu terus saja mengusiknya. Sedang apakah George sekarang? Membenahi pakaian dan merencanakan terbang ke negerinya besok pagi-pagi?
Apakah tidak berat baginya meninggalkan bumi nusantara dan gadis yang sangat dikasihinya? Benarkah ia akan kembali ke dalam pelukan salju putih yang dingin?
Ah, Tuhan .. benarkah Engkau tidak menghendaki kami bersatu? Lalu, apa sebenarnya kehendakMu?
Febi ingat, pada awal musim bunga mereka, George pernah bercerita.
“Ketika aku mendengar Papa akan ditugaskan ke negaramu, aku sedih sekali, meski aku sudah banyak mendengar tentang keindahan negeri ini, tentang keramahan penduduknya. Tetapi, rasanya tetap ada sesuatu yang mengganjal: dapatkah aku menyesuaikan diri?”
“Tetapi nyatanya kau tidak mengalami kesulitan dalam hal itu, bukan?”