Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melewati Deru Prahara (II)

7 Oktober 2022   06:00 Diperbarui: 9 Oktober 2022   06:43 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melewati deru prahara | sumber foto: pxhere

Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca bagian sebelumnya: Melewati Deru Prahara (I)

Febi memejamkan mata dengan hati pedih. Mestinya ia tidak mengajak George mengunjungi paman Pedro, adik mama yang dokter itu, ketika George menawarkan sebentuk cincin pertunangan.

Tetapi ia tidak ingin ada sesuatu dalam dirinya, misalnya penyakit, yang tidak diketahui George. Demikian pula sebaliknya. Hanya itu!

Namun, hasil pemeriksaan paman Pedro, meski diucapkan dengan kata-kata dan senyum yang teramat tenang, terasa bagaikan bom yang tiba-tiba meledak di telinga Febi.

“Ada satu hal yang patut menjadi pertimbangan kalian sebelum memasuki jenjang pernikahan. Masalahnya, Rhesus kalian tidak sama. George, hasil pemeriksaan menunjukkan Rhesus-mu positif. Sedangkan Febi negatif. Hal ini berbahaya, terutama bagi keturunan kalian nanti. Biasanya, anak itu akan gugur dalam kandungan. Kalaupun ia sempat lahir dengan selamat, kemungkinan besar daya tahan tubuhnya akan sangat lemah sehingga mungkin sekali meninggal dalam usia muda.”

Febi merasa matanya tiba-tiba berkunang-kunang. Kepalanya berdenyut-denyut, sakit sekali. Hatinya terasa begitu nyeri.

Diliriknya George. Cowok itu juga sedang menatapnya. Tetapi di wajah itu Febi tidak dapat melihat sepasang mata biru yang teduh, yang selalu siap menghibur dan melindunginya.

Baca juga: Angelia

Yang ada hanya sepasang mata yang muram tersapu kabut duka. Semuram wajahnya. Febi tahu, semuram itu pula hati George.

Febi mengerti. George pasti merasa terpukul sekali. Lima tahun ia memberikan cinta, kasih sayang, dan perhatian kepada Febi. Lima tahun ia melangkah di sisi Febi, melindungi dan menghibur Febi. Tetapi sekarang ….

“Tidak apa-apa,” Paman Pedro tersenyum sambil menepuk bahu George. “Apa yang paman uraikan tadi hanya pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia sangat terbatas. Kalau memang Tuhan menghendaki, mukjizat selalu mungkin terjadi.”

Baca juga: [RTC] Rahasia Ayah

George berusaha tersenyum untuk menutupi lukanya. Kemudian diajaknya Febi keluar dari ruang praktek paman Pedro. Mereka melangkah berdua, tanpa kata.

“George,” Febi berbisik memecah keheningan yang tercipta. Dipegangnya tangan George.

George menatapnya. Mata itu … ah, Febi merasa, air bening yang sejuk di kedua telaga itu telah berubah menjadi darah karena sebuah luka yang amat dalam.

“Febi,” George berbisik dengan suara bergetar. “Aku ingin memberikan kasih sayang yang tak berkesudahan kepadamu. Aku ingin terus melangkah bersamamu. Aku ingin membahagiakanmu, selalu, selamanya. Tetapi, kenapa aku harus dihadapkan pada kenyataan bahwa aku tak mampu melakukan semua itu?”

“Kau telah memberi aku sangat banyak kebahagiaan,” Febi berkata tulus, bukan sekadar menghibur George. “Kalau sekarang kita dihadapkan pada kenyataan ini, aku tahu, George, itu bukan salahmu, bukan kehendakmu.”

“Barangkali itu kehendak Tuhan,” George berkata perlahan, seolah ditujukan kepada dirinya sendiri.

“George, kau …” Febi terpana.

“Ya, barangkali Tuhan memang tidak menghendaki kita bersatu. Barangkali aku harus segera kembali ke negeriku.”

Oh, George … Febi merasa sekujur tubuhnya lemas tiba-tiba. Tuhan, jeritnya dalam hati. Ke mana perginya George yang ceria, yang selalu siap melindungiku, selalu siap menghiburku? Kenapa dia …

“Febi, cinta tidak mesti bersatu, bukan? Perpisahan memang selamanya pahit, tetapi kita akan mencoba menelan kepahitan itu kini, demi kebahagiaanmu di kemudian hari. Meski kita berjauhan, cinta kita tak pernah berkesudahan. Ya?”

Febi tak mampu menyahut. Ia pun tak kuasa mencegah ketika George melepaskan genggaman dan melangkah gontai meninggalkannya.

Padahal ia melihat awan hitam di langit, ia melihat benang-benang halus yang mulai turun. Ia tahu, rintik hujan akan segera membasahi tubuh cowok terkasih itu.

Bersambung ke:

Melewati Deru Prahara (III)

Melewati Deru Prahara (IV - Tamat)

Siska Dewi untuk Inspirasiana

Cerpen ini telah dimuat di Album Cerpen “Anita Cemerlang” edisi 159, 18 April 1985

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun