Baru-baru ini media sosial Indonesia ramai membahas hilangnya Pororo, seekor kucing yang punya banyak pengikut di TikTok dan medsos.
Pororo adalah kucing yang membantu pemiliknya, Cici Chania, untuk berjualan pakaian kucing, sesuatu yang tren di kalangan pencinta kucing.
Menariknya, sebagian warganet mencibir pemiliki Pororo yang dianggap terlalu lebay atau berlebihan saat kucingnya hilang. Ada yang menganggap si pemilik mencari perhatian dengan menangis di medsos.
Mengapa demikian tanggapan orang atas hilangnya hewan peliharaan yang disayang pemiliknya? Bagaimana ilmu psikologi membahas makna kehilangan hewan peliharaan?
Sebelum melangkah lebih lanjut, kita bersyukur bahwa Pororo akhirnya ditemukan dan sudah kembali pada pemiliknya.
Kehilangan Hewan Peliharaan adalah Kesedihan yang Diremehkan
Dr Kenneth Doka, seorang peneliti kesedihan terkemuka menciptakan istilah "kesedihan yang diremehkan" lebih dari 30 tahun yang lalu.
Kenneth Doka mendefinisikannya sebagai, “Kesedihan yang dialami seseorang ketika mereka mengalami kerugian yang tidak atau tidak dapat diakui secara terbuka, disetujui secara sosial atau ditangisi secara terbuka.”
Mengapa kita tidak mau melihat kehilangan hewan peliharaan sebagai sebuah kesedihan yang layak dianggap serius, sama seperti kesedihan lain dalam hidup kita?
Para peneliti menjelaskan bahwa kesedihan yang terkait dengan kehilangan hewan peliharaan masih relatif tidak dikenali dan kurang dihargai oleh masyarakat. Ini mungkin terjadi karena kurangnya kesadaran dan penghargaan atas kedalaman keterikatan yang dapat dibentuk manusia dengan hewan peliharaan.